sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Infrastruktur: Masalah laten industri logistik tanah air

Skor indeks performa logistik Indonesia merosot jauh dari urutan 46 ke posisi 63 dari 139 negara.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 13 Nov 2023 19:45 WIB
Infrastruktur: Masalah laten industri logistik tanah air

Industri logistik memiliki peran penting bagi Indonesia, yakni sebagai penopang perekonomian nasional. Sebab, kegiatan logistik dapat meningkatkan produktivitas sektor industri lainnya dan membuat pertumbuhan ekonomi terdongkrak. Pencapaian tingkat kinerja yang tinggi dalam bidang logistik juga bersifat penting untuk profitabilitas dan efisiensi ekonomi nasional dan ekonomi global.

Pada kuartal-III 2023 misalnya, Badan Pusat Statistik mencatat, sektor transportasi dan pergudangan tumbuh hingga 14,74% secara tahunan (year on year/yoy). Membuat sektor ini menyumbang 5,98% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

Meski memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi, bahkan menjadi yang paling tinggi di antara sektor industri lainnya, nyatanya kinerja industri logistik tidak begitu memuaskan. Hal ini pun diamini Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono, dalam acara Peningkatan Kinerja Logistik melalui Utilisasi Layanan National Logistic Ecosystem (NLE) belum lama ini. 

“Masih perlu didorong berbagai inisiatif untuk meningkatkan logistik kita terutama yang berbasis komoditas atau commodity base approach untuk menciptakan berbagai sentra industri dan pertumbuhan ekonomi baru,” katanya. 

Bank Dunia (World Bank) dalam laporannya mencatat, skor indeks performa logistik (LPI) Indonesia sebesar 3 poin dari skala 0-5 pada 2023. Nilai tersebut turun 4,76% dibandingkan pada 2018 yang sebesar 3,15 poin. Skor LPI ini dihitung berdasarkan enam dimensi, yakni bea cukai, infrastruktur, pengiriman internasional, kualitas dan kompetensi logistik, pelacakan dan penelusuran barang, dan ketepatan waktu.

Jika dirinci, Indonesia memperoleh skor sebesar 2,8 poin untuk dimensi bea cukai, dimensi infrastruktur dan pengiriman internasional masing-masing sebesar 2,9 poin dan 3 poin, kemudian dimensi kualitas dan kompetensi logistik Indonesia sebesar 2,9 poin. Sementara, pelacakan dan penelusuran barang serta ketepatan waktu berturut-turut meraih skor sebesar 3 poin dan 3,3 poin.

Dengan skor LPI ini, Indonesia lantas terlempar ke peringkat 63 dari 139 negara. Sebelumnya, pada tahun 2018 lalu Indonesia berada di urutan 46 dari 160 negara.

Kepada Alinea.id, CEO Supply Chain Indonesia Setijadi bilang, turunnya LPI Indonesia ini harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera membenahi masalah-masalah yang ada di industri ini. Sebab, jika masalah di sektor logistik dibiarkan menahun, dikhawatirkan akan menyebabkan masalah yang lebih besar lagi. 

Sponsored

“LPI ini seperti fenomena gunung es. Kalau dibiarkan terus dan indeksnya semakin turun bisa mengindikasikan kalau ada banyak masalah di sektor logistik kita,” katanya, Senin (13/11). 

Sementara itu, LPI memang tidak bisa menggambarkan keseluruhan masalah yang terjadi di industri logistik. Namun, indeks ini bisa menjadi pintu masuk untuk menelaah persoalan di sektor ini. 

Tidak seimbang

Setijadi melanjutkan, selama ini sebenarnya masalah industri logistik selalu berkaitan dengan biaya pengiriman. Menukil data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), rasio biaya logistik Indonesia ialah sebesar 14,29% terhadap PDB pada 2022, naik 0,93% poin dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 13,36%. Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), rasio biaya logistik Indonesia ditargetkan sebesar 8% terhadap PDB pada 2045.

Ilustrasi. Pixabay.com.

“Di sisi lain, hingga saat ini, terjadi ketidakseimbangan volume pengangkutan barang antar wilayah di Indonesia. Secara umum, volume barang yang diangkut dari Kawasan Barat Indonesia (KBI) ke Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih banyak daripada sebaliknya,” beber pengamat industri logistik itu.

Demikian pula, volume pengangkutan barang dari wilayah barat Pulau Jawa ke wilayah timur Pulau Jawa relatif lebih banyak daripada sebaliknya. Ketidakseimbangan ini lantas berdampak terhadap biaya pengangkutan yang mahal karena secara umum operator transportasi akan memperhitungkan kekosongan armadanya dan membebankannya kepada para pemilik barang sebagai penggunanya.

Dengan masalah-masalah itu, pemerintah harus bisa menyiasati kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan 1,92 juta meter persegi daratan dan 3,27 juta meter persegi lautan. Dengan ini ditambah ketersebaran pasokan, permintaan serta komoditas, kondisi geografis Indonesia bisa memberikan tantangan besar dalam proses pengiriman barang. 

Dengan kondisi geografis ini, sistem transportasi yang perlu dikembangkan adalah sistem transportasi multimoda dengan transportasi laut sebagai tulang punggung industri logistik nasional. Meski begitu, hingga saat ini sistem transportasi multimoda tersebut belum efektif karena terkendala oleh kesiapan sistem, seperti pengembangan sistem hub dan spoke; kesiapan infrastruktur peralihan multimoda di simpul-simpul transportasi seperti pelabuhan dan bandara; sistem operasional multimoda, dan transportasi hinterland.

“Pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan secara masif termasuk dalam beberapa tahun terakhir. Namun, permasalahan infrastruktur masih dihadapi dalam proses pengiriman barang berkaitan dengan jumlah, kapasitas, kondisi, penyebaran, dan standardisasi infrastruktur,” jelas Setijadi. 

Masalah selanjutnya yang harus segera dicari jalan keluarnya adalah terkait ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di industri logistik yang handal. Hal ini menjadi penting karena industri logistik merupakan sebuah sistem yang kompleks dengan cakupan yang sangat luas dan beragam. Sayangnya, hingga saat ini pengembangan SDM yang berkaitan dengan jumlah, kompetensi, dan penyebarannya belum banyak dilakukan.

Sementara itu, untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan itu harus dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik pemerintah pusat (melalui kementerian/lembaga terkait) dan pemerintah daerah. Lalu, perusahaan jasa transportasi dan logistik, operator fasilitas/infrastruktur logistik, perusahaan pemilik barang, dan lain-lain, serta dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian terkait yang tidak bisa lepas tangan begitu saja dalam menyelesaikan masalah ini. 

“Pembangunan sistem logistik nasional yang tangguh perlu dilakukan berdasarkan pemetaan pasokan dan permintaan secara end-to-end. Karena pengembangan ini tidak hanya untuk mengikuti pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bisa mendorong kemunculan pusat-pusat pertumbuhan baru,” tutup Setijadi. 

 

Berita Lainnya
×
tekid