sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Iuran BPJS Kesehatan naik mulai 1 September

Menteri PMK Puan Maharani memastikan iuran BPJS Kesehatan naik pada 1 September.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 30 Agst 2019 10:25 WIB
Iuran BPJS Kesehatan naik mulai 1 September

Pemerintah resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan tahun ini. Hal ini sebagai upaya menutup defisit keuangan lembaga jaminan kesehatan nasional tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani memastikan besaran iuran baru BPJS Kesehatan akan berlaku September 2019.

"1 September sudah bisa berlaku," katanya di usai rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, Kamis (29/8).

Puan menjelaskan, aturan baru tersebut menunggu ditandatanganinya peraturan pemerintah oleh Presiden Jokowi.

"Presiden sudah setuju, tinggal ditandatangani," ucapnya.

Ia pun mengatakan iuran yang akan diberlakukan sesuai dengan usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi IX dan Komisi Xi.

"Ketentuan (tarif) kan kemarin sudah disampaikan Kemenkeu dan sudah dibahas juga di komisi IX dan XI ya seperti itu," ujarnya.

Namun, Puan memastikan untuk penerima bantuan iuran (PBI) tanggungannya tetap dibayarkan oleh negara.

Sponsored

"Untuk PBI tetap ditanggung oleh negara. Sehingga memang masyarakat yang namanya terdaftar dalam PBI tidak akan kesulitan," lanjutnya.

Berdasarkan usulan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, besaran kenaikan iuran PBPU kelas 1 naik dua kali lipat, dari Rp 80.000 menjadi Rp160.000.

Sementara, untuk kelas 2 kenaikannya diusulkan naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000. Sedangkan untuk kelas 3 Sri menaikan iuran dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Kenaikan juga diberikan untuk penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp42.000 dari sebelumnya Rp23.000.

Kenaikan iuran bukan solusi

Dihubungi secara terpisah, Ketua BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan kenaikan yang dipatok oleh pemerintah berdasarkan usulan Sri Mulyani tersebut tidak akan menyelesaikan masalah defisit anggaran BPJS Kesehatan.

Pasalnya, ujar Timboel, yang seharusnya diperbaiki pertama dari sistem layanan jaminan sosial tersebut adalah kualitas pelayanan dan juga kepastian hukum. 

Menurutnya, dengan menaikkan iuran tanpa perbaikan apapun hanya akan kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.

"Saya sepakat harus naik, tapi ini akan kontraproduktif karena dari sisi pelayanan BPJS belum baik dan penegakan hukum juga belum jalan," katanya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (29/8) kemarin.

Belum lagi, katanya, kenaikan yang diusulkan tersebut terlalu tinggi. Dengan kualitas layanan yang diberikan dan seringnya peserta BPJS tidak mendapatkan kamar inap saat perawatan, hanya akan membuat orang malas membayar iuran.

"Dengan nominal yang seperti kemarin saja iuran peserta sudah menunggak, apalagi sebesar itu," ucapnya.

Lebih jauh, Timboel mengatakan, selama ini tidak ada sanksi yang tegas dari pemerintah bagi peserta yang mengalami tunggakan bayar. Ia menjelaskan, dari temuan BPKP ditemukan tunggakan iuran peserta BPJS mencapai Rp800 miliar.

"Dengan tidak adanya penegakan hukum yang tegas orang hanya akan dengan mudah mengabaikan kewajiban mereka," lanjutnya.

Ia pun meyakini dalam jangka waktu dekat sebelum aturan baru tersebut diberlakukan, akan ada perpindahan kelas peserta BPJS Kesehatan dari kelas 1 ke kelas 2 atau kelas 3.

"Saya yakin, akan ada perpindahan kelas dari kelas 1 dan kelas 2 ke kelas 3. Apalagi sesuai Permen Kesehatan 51/2018 peserta yang sakit dapat naik satu kelas," ucapnya.

Hal ini, lanjut Timboel, hanya akan memperbesar tunggakan iuran peserta BPJS dan malah memperbesar defisit.

"Makanya saya meyakini ini akan kontraproduktif," tegasnya.

Pelanggaran regulasi

Lebih lanjut, Timboel mengatakan, selama ini pemerintah telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Pasalnya, sesuai dengan Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, pekerja PBPU diwajibkan mendaftar paling lambat 1 Januari 2019, jika tidak akan dikenakan sanksi.

Sanksi tersebut tertuang dalam Perpres 82/2013, yang mengatur sanksi administrasi bagi masyarakat yang tidak mendaftarkan dirinya sebagai peserta BPJS Kesehatan. Jika tidak mendaftar sampai dengan waktu yang ditentukan akan dikenakan sanksi tidak diberikan pelayanan publik seperti mengurus Surat Izin Mengendarai (SIM) dan paspor.

"Tapi coba kita lihat orang gampang-gampang saja mengurus SIM dan paspor meski tidak mendaftar. Justru pemerintah kita lah yang melanggar regulasi itu sendiri; kementerian, polisi, dan pemda," tuturnya.

Timboel juga menilai memang harus ada paksaan, agar orang mau memenuhi kewajibannya. Namun, dengan jaminan BPJS Kesehatan memberikan layanan terbaik.

"Kalau infrastruktur pelayanannya baik, naik Rp10.000 mungkin orang akan rela. Tapi jangan kemahalan juga naiknya," katanya.

Selain itu, dia menuturkan seharusnya pemerintah melakukan jajak pendapat terlebih dahulu mengenai pelayanan BPJS Kesehatan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, sebelum memutuskan besaran kenaikan.

"Ajaklah masyarakat bicara, beri ruang jawab, adakan saja survei, minta tanggapan mereka. Jangan berkonteks ria dengan sosialisasi saja," terangnya.

Sebab, menurut Timboel, sosialisasi itu langkah terakhir setelah pemerintah melakukan jajak pendapat dan kajian mendalam terhadap persoalan yang terjadi. Hasil dari keputusan tersebut yang disosialisasikan.

"Berikan hak jawab, jangan sosialisasi dulu. Tampung semua protes dan masukan, setelah itu lakukan kajian lebih lanjut, baru sosialisasi," tuturnya.

Dengan kondisi pelayanan seperti sekarang dan rencana kenaikan iuran yang tinggi, Timboel mengatakan yang berada di kelas 2 dan kelas 3 kemungkinan tidak mampu mampu membayar.

"Saya yakin dia tidak mampu membayar utamanya yang kelas 2 dan kelas 3. Sementara yang kelas 1 mampu, tapi tidak mau (bayar)," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid