sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penuh tantangan, kebijakan penurunan perokok anak kian terseok

Kebijakan pengendalian tembakau khususnya pada anak-anak terganjal beragam tantangan.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 09 Okt 2023 16:16 WIB
Penuh tantangan, kebijakan penurunan perokok anak kian terseok

Seorang santri cilik asal Kendal, Jawa Tengah viral karena nampak aktif mengisap rokok. Bocah 13 tahun itu merokok 3-4 bungkus dalam sehari. Bahkan, dia juga mendapat jatah 2-3 selop rokok dalam seminggu dari sang ayah. Hal itu merupakan bentuk rayuan si ayah agar dia mau tinggal di pondok untuk mengaji Al-Quran. 

Nek Sampoerna Mild tiga, nek Surya papat, Bapak maringi sangu sak nyuwune kula. Sing penting kula gelem mondok (Kalau Sampoerna Mild 3 bungkus, Surya 4, Bapak memberi uang saku semau saya. Yang penting saya mau mondok),” kata santri asal Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah ini, dalam video yang banyak beredar di WhatsApp Group, dikutip Kamis (5/10).

Jika orang tua santri cilik ini dengan sadar memberikan stok rokok pada anaknya, orang tua Thole (bukan nama sebenarnya) justru sama sekali tak tahu bahwa dirinya merokok elektrik. Karena ketidaktahuan ini juga lah yang membuat dia memilih nge-vape, ketimbang mengisap rokok konvensional.

“Dulu pas SMP kelas VIII pernah ngerokok biasa, tapi baru jalan beberapa hari udah ketahuan sama ortu (orang tua). Terus sempat berhenti. Tapi begitu masuk SMA, dikenalin temen ternyata enak, ada rasanya dan enggak bau. Akhirnya keterusan sampai sekarang,” kata dia, kepada Alinea.id, Jumat (6/10).

Remaja yang baru berusia 17 tahun ini menjelaskan, ketika dia pertama kali merokok tujuannya adalah untuk meredakan stress akibat selalu dituntut oleh orang tuanya untuk mendapatkan nilai dan peringkat bagus di sekolah. Maklum, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), dirinya memang selalu menduduki peringkat atas di kelasnya.

Selain itu, SMP tempat Thole bersekolah pun termasuk salah satu sekolah paling favorit di Purworejo, Jawa Tengah.
Namun, pada saat SMA tujuannya merokok elektrik adalah agar tidak bilang cupu (culun punya-red) oleh teman-teman sepermainannya. Apalagi, lima orang laki-laki lain yang ada di circle-nya seluruhnya merokok konvensional dan/atau merokok vape.

“Aku juga kalau ngeliat orang nge-vape yang sekarang banyak banget di café-café atau di medsos Tiktok, IG (Instagram) itu juga kayaknya keren. Kayak tambah jantan aja kesannya,” jelasnya.

Terlebih, banyak informasi yang didapatkannya dari berbagai media sosial dan media massa bahwa bahaya rokok elektrik (REL) atau vape lebih minim ketimbang rokok konvensional. Karenanya, Thole pun mengaku tidak akan berhenti merokok. Lagi pula, siswa yang saat ini duduk di bangku kelas XII di salah satu SMA terbaik di Purworejo itu dapat memenuhi kebutuhan vaping-nya dengan uang saku maupun tabungannya sendiri.

Sponsored

“Asal enggak ketahuan aja. Lagian nilai pelajaranku juga bagus. Semester-I kemarin juga aku masih di ranking 4,” beber dia.

Kebiasaan merokok konvensional dan elektrik si Santri Cilik dan Thole nampaknya bisa dikatakan sebagai keberhasilan industri rokok yang menyasar anak-anak dan remaja sebagai target pasar mereka. Bahkan, upaya menargetkan anak-anak dan remaja sebagai calon konsumen mereka sudah dilakukan industri rokok sejak dulu.

Ini dibuktikan oleh laporan peneliti Myron E Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Phillip Morris, yang berisi “Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok mulai merokok ketika remaja. Pola merokok remaja sangatlah penting bagi Phillip Morris”. Adapula memorandum Internal Perusahaan Rokok RJ Reynolds tertanggal 29 Februari 1984. 

Ilustrasi. Pixabay.com.

“Perokok remaja telah menjadi faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir. Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok maka industri akan bangkrut sebagaimana masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah”, demikian isi memo tersebut.

Meski dokumen-dokumen itu berasal dari dua perusahaan rokok di luar negeri, namun kini sudah banyak negara asing yang melarang ketat penjualan rokok konvensional dan elektrik kepada anak-anak. Beberapa melakukan pembatasan lebih tegas pada rokok dan produk tembakau lainnya, sebagai upaya membangun masyarakat yang bebas asap rokok. Brazil, Mauritius, Belanda, dan Turki adalah empat negara yang serius mengendalikan konsumsi rokok di negaranya, menurut World Health Organization (WHO).

Asa pengendalian rokok

Indonesia, di sisi lain, memang sudah melakukan pengendalian terhadap konsumsi produk tembakau sejak lebih dari sedekade terakhir. Beberapa diantaranya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Selain itu, pemerintah juga sudah memberlakukan pungutan cukai hasil tembakau (CHT) dengan harapan dapat menekan konsumsi rokok sekaligus menambah pendapatan negara.

Teranyar, pemerintah berencana memfokuskan upaya pengendalian rokok dan produk tembakau lainnya, termasuk vape dan shisha pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di mana aturan turunan dari beleid berupa Rancangan Peraturan Pelaksanaan ini tengah digodok oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

“RPP dari UU Kesehatan hendaknya menjadi peluang bagi pemerintah untuk pada akhirnya memiliki regulasi yang benar-benar berdampak pada penurunan prevalensi perokok dengan menetapkan aturan-aturan yang menekan faktor pendorong orang dewasa maupun anak-anak merokok,” kata Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Senin (2/10).

Kini, RPP Kesehatan jadi satu-satunya harapan pengendalian konsumsi rokok pada anak maupun orang dewasa. Tidak hanya itu, aturan turunan dari UU Kesehatan yang berbentuk omnibus law ini juga sekaligus dapat menunjukkan seberapa kuat tekad pemerintah untuk menekan laju jumlah perokok anak.

Wajar saja, dengan bertambahnya tahun, jumlah perokok di tanah air semakin mengkhawatirkan. Bahkan mirisnya Indonesia juga dikenal luas sebagai baby smokers country, karena jamaknya jumlah perokok balita atau anak.
Baby smokers country nyatanya bukan sekadar julukan belaka, Riset Kesehatan Dasar yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 2018 lalu merangkum kenaikan prevalensi perokok anak dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau 3,2 juta anak di 2018. Di sisi lain, prevalensi perokok elektronik dalam survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) juga naik sepuluh kali lipat dalam satu dekade, dari 2011 sebesar 0,3% menjadi 3% pada tahun 2021.

“Penyebab anak-anak mulai merokok pada dasarnya didorong oleh beberapa faktor mendasar. Di antaranya pemasaran, yaitu iklan, promosi, dan sponsor (IPS) yang mempengaruhi perilaku, minat, keberpihakan, dan intensi pada rokok dan memulai merokok,” jelas Hasbullah.

Petani tengah merawat tanaman tembakau. Pixabay.com.Ihwal IPS rokok, pemerintah memang telah mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dari beleid ini, untuk melindungi anak-anak dari keterpaparan iklan rokok, pemerintah juga membatasi jam tayang iklan rokok di televisi.

Namun, kini anak-anak sudah tidak lagi menonton televisi untuk memenuhi hiburan mereka, media komunikasi kaum muda pun telah beralih ke internet. Hal ini lantas menjadikan media sosial sebagai media komunikasi sekaligus pemenuhan kebutuhan akan informasi dan hiburan bagi anak-anak zaman sekarang.

“Ternyata ini juga disertai dengan naiknya angka iklan rokok di internet. Menurut survey GATS 2021, iklan rokok di internet naik dari 1,9% pada tahun 2011 menjadi 21,4% pada tahun 2021,” kata Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Manik Marganamahendra, dalam keterangan resminya, yang diterima Alinea.id, Kamis (5/10).

Sementara itu, masifnya iklan rokok di berbagai platform media tak lain dapat terjadi karena intervensi industri rokok yang semakin tinggi juga terhadap kebijakan pemerintah. Ini, tentu saja memberikan dampak besar pada upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Bahkan membuat penurunan prevalensi perokok anak yang ditargetkan Presiden Joko Widodo menjadi 8,7% pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 sulit tercapai.

“Akar masalah dari naiknya prevalensi perokok anak, tingginya penggunaan tembakau itu bukan hanya urusan kesehatan masyarakat, tapi juga karena ada campur tangan industri,” beber Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) Mouhamad Bigwanto, dalam Peluncuran Laporan Indeks Gangguan Industri Tembakau Tahun 2023 di Indonesia, Jumat (29/9).

Tingginya campur tangan industri terhadap kebijakan pemerintah dapat dilihat melalui Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index), yang mana menurut laporan hasil survei RUKKI, skor TII pada 2023 mencapai 84. Skor ini sebelumnya pernah dicapai Indonesia pada 2015 silam, kemudian berturut-turut berada di skor 81 (2016), 79 (2017), 75 (2018), 82 (2019), dan 83 (2020).

Bahkan di global, pada tahun 2020 Indonesia menempati peringkat kedua paling tinggi, dengan skor Global Tobacco Index mencapai 33. Tepat di bawah posisi Jepang, yang mendapat skor Global Tobacco Index sebesar 34.
“Untuk 2023 ini kita menemukan at least 11 Kementerian teridentifikasi sangat permisif dan ramah terhadap industri rokok,” lanjutnya.

Bigwanto menyebutkan, hubungan mesra antara industri rokok dan pemerintah dapat dilihat dari banyak Kementerian/Lembaga (K/L) yang menerima bantuan dari industri dalam bentuk bantuan sosial (bansos), terutama pada periode pandemi Covid-19. Selain itu, diwujudkan pula dalam bentuk kebijakan yang memberikan insentif pada industri atau yang mendukung kebijakan industri rokok.

Ilustrasi. Pixabay.com.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengungkapkan, campur tangan industri rokok dalam kebijakan pemerintah terlihat jelas melalui rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau tahun 2023-2027 yang tengah dimatangkan pemerintah dan ditargetkan untuk disahkan sebelum 2023 berakhir. Padahal peta jalan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau di Indonesia.

“Perpres ini sebenarnya telah diinisiasi sejak tahun 2019 dan time line prosesnya hampir berbarengan dengan wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif yang enggak jelas keberlanjutannya. Tapi kalau rancangan Perpres ini mendapatkan karpet merah,” beber Lisda.

Jalan mulus calon Perpres Industri Hasil Tembakau (IHT), lanjut perempuan yang karib disapa Bunda Linsa ini, dimulai sejak Presiden Joko Widodo memberi amanat kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menyusun peta jalan ini. Amanat ini disampaikan pemimpin negara dalam rapat terbatas (Ratas) pada 31 Desember 2021.

“Substansi Perpres ini hampir sama dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau yang sudah dicabut melalui Keputusan Mahkamah Agung (MA) di tahun 2016. Dibatalkan dan tidak bisa diberlakukan,” jelasnya.

Perlu diketahui, Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau ini, di antaranya bertujuan untuk: meningkatkan kesejahteraan petani, menjaga keberlangsungan usaha IHT, mengoptimalkan kontribusi positif IHT terhadap perekonomian nasional, mendorong peningkatan ekspor hasil tembakau, dan melestarikan IHT sebagai salah satu warisan budaya bangsa.

Selain itu juga menjaga kelangsungan hajat hidup masyarakat sepanjang rantai pasok IHT nasional, memperkuat struktur perekonomian IHT nasional dari hulu-hilir, optimalisasi penggunaan bahan baku dan produk IHT dalam negeri, dan optimalisasi penerimaan negara dari pemungutan cukai dan kebijakan penggunaan DBHCHT (dana bagi hasil cukai hasil tembakau). Dari segi pengendalian konsumsi rokok, peta jalan ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun.

“Rancangan Perpres ini mencerminkan adanya konflik antara dua kepentingan yang tidak mungkin dipertemukan (unreconciled of interests). Kepentingan industri tembakau yang ingin meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau, dengan kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya menurunkan prevalensi konsumsi produk tembakau,” paparnya.

Dengan mulusnya pembahasan Rancangan Perpres ini, Lisda melihat adanya campur tangan dan partisipasi industri produk tembakau. Hal ini menjadi penghambat upaya pengaturan yang ketat terhadap industri tembakau.
Eratnya hubungan pemerintah dan industri membuat regulasi-regulasi yang mengupayakan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia menjadi lemah. Kepentingan investasi dan ekonomi nasional selalu menjadi nomor satu dan mengabaikan kesehatan masyarakat yang sudah jelas merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Padahal, dalam RPJMN juga jelas, dalam hal (pengendalian) rokok, konsumsi zat tembakau itu didasarkan pada pertimbangan kesehatan, bukan ekonomi. Sekarang, logikanya dibalik, kesehatan mengikuti ekonomi,” sesal Program Director Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani.

Dasar ini lah yang kemudian membuat tidak tercapainya target RPJMN 2015-2019 dan RPJMN 2020-2024. “Sekarang saya tanya, negara mana yang RPJMN-nya dua kali gagal, tapi tidak ada intropeksi?” tanyanya.

Untuk itu, agar target RPJM tercapai dan jumlah perokok anak turun, Fanani bilang, pemerintah harus menerapkan batasan yang tegas pada industri, sehingga tidak akan ada lagi intervensi dari mereka. Jika kemesraan antara pemerintah dan industri terus berlangsung dan kemudahan-kemudahan untuk dunia usaha terus diberikan untuk menggenjot produksi rokok dan produk hasil tembakau lainnya, masyarakat jelas akan menjadi korban.

“Karena ease of doing business is killing people (kemudahan berusaha membunuh manusia). Dan is killing people-nya ini yang tidak disebutkan pemerintah maupun industri,” imbuh dia.

Hal ini pun diamini Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra. Menurutnya, regulasi yang kuat dan tegas sangat dibutuhkan, khususnya untuk memberikan perlindungan kepada anak dari dampak rokok dan target pemasaran industri rokok. Dengan nihilnya campur tangan industri rokok dalam pembuatan kebijakan, dia optimistis target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024 bisa tercapai.

Hal lain yang juga penting, pemerintah dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) harus berkomitmen untuk menolak segala bentuk campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia.
“Karena regulasi akan kokoh membentengi anak dari berbagai faktor yang mempengaruhinya untuk menjadi perokok pemula. Salah satunya dari paparan iklan, promosi dan sponsor rokok yang masif," tegas Jasra.

 

Berita Lainnya
×
tekid