sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Komisi VII DPR sebut enggak bisa sekonyong-konyong tinggalkan energi fosil

Indonesia dinilai belum siap dari aspek pengembangan dan ketersediaan dari sumber energi yang terbarukan.

Anisatul Umah
Anisatul Umah Rabu, 23 Mar 2022 14:45 WIB
Komisi VII DPR sebut enggak bisa sekonyong-konyong tinggalkan energi fosil

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah merampungkan Rancangan Undang Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Akan tetapi RUU EBT ini mendapatkan kritik dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

Masuknya sumber energi baru disebut-sebut, akan menghambat penurunan gas rumah kaca. Selain itu IESR juga menyebut DPR mengakomodasi kepentingan industri batu bara.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno pun angkat bicara. Dia membenarkan batu bara masih menjadi salah satu elemen yang ada di dalam UU EBT, karena DPR mendukung hilirisasi batu bara yang menghasilkan energi bersih dan energi baru.

Eddy menyebut, DPR mendorong proses transisi energi, karena transisi energi diperlukan dalam rangka mencapai bauran energi terbarukan yang maksimal.

"Kita tidak mungkin sekonyong-konyong meninggalkan energi fosil begitu saja. Karena kita belum siap dari aspek pengembangan dan ketersediaan dari sumber energi yang terbarukan," ungkapnya kepada Alinea.id, Rabu (23/3).

Oleh karena itu, kata Eddy, dalam rangka melaksanakan proses transisi energi energi yang tersedia akan dimaksimalkan. Sumber energi gas juga akan dimanfaatkan dalam proses transisi, meski bukan energi terbarukan, namun gas merupakan energi bersih.

"Jadi kita akan berjalan ke depannya dalam rangka mengembangkan energi baru terbarukan," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, porsi batu bara yang kemudian dilakukan hilirisasi bertujuan untuk menghasilkan energi bersih.

Sponsored

"Kita kembangkan gas sebagai energi transisi dan energi terbarukan yang saat ini sedang dikembangkan masif, mulai dari bayu, surya, geothermal, air, dan lain-lain," ucapnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, di dalam RUU EBT tidak hanya energi terbarukan yang dibahas, tetapi juga energi baru. Hal tersebut dinilai membuat tidak efektif dan rancu.

Masuknya produk turunan batu bara, seperti batu bara tergaskan (coal gasification), batu bara tercairkan (coal liquefaction), dan gas metana batu bara (coal bed methane) sebagai sumber energi baru berpotensi menghambat penurunan gas rumah kaca.

Dia menjelaskan, emisi gas rumah kaca dari proses gasifikasi batu bara jauh lebih tinggi tinggi dibandingkan energi terbarukan. Ini, menurutnya, menunjukkan ketidakpahaman DPR atas kebutuhan pengembangan energi dalam rangka transisi energi.

"DPR juga mengakomodasi kepentingan industri batu bara yang ingin tetap mendapatkan pasar di saat pasar batu bara untuk pembangkitan listrik turun," paparnya dalam keterangan resminya, Selasa (22/3).

Fabby menyebut, masuknya teknologi energi baru, seperti hilirisasi batu bara, bakal membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.

"Sementara, masuknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) justru akan menghambat akselerasi transisi energi yang membutuhkan pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat," paparnya.

Berita Lainnya
×
tekid