sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mafia tanah dan perlindungan hukum terhadap lansia

Generasi baby boomers yang berusia lanjut rentan menjadi sasaran empuk penggelapan aset dan penipuan.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Sabtu, 27 Nov 2021 09:55 WIB
Mafia tanah dan perlindungan hukum terhadap lansia

"Dia seperti parasit hidup bagi ibu saya, menaikkan uang sewa (kontrakan) dari yang seharusnya. Dia hidup dari uang mama saya, banyak," kisah Nirina Zubir saat menceritakan sosok Riri Khasmita dalam channel Youtube TS Media, TS Talks Eps.65 yang diunggah 19 November 2021 lalu.

Dalam talkshow berdurasi hampir 30 menit itu, aktris Nirina Zubir menceritakan kronologi bagaimana Riri Khasmita, yang menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) sang ibunda menggondol aset tanah milik keluarga. Aksi ini bukan dilakukan dalam sekejap mata, namun berlangsung secara perlahan selama bertahun-tahun. Bahkan, aset tanah yang berpindah nama jadi milik Riri yang kini sudah mendekam di penjara terjadi tahun 2017, dua tahun sebelum ibunda Nirina berpulang.

Awalnya, tahun 2010 Riri mengaku 'dibuang' oleh keluarga tirinya. Ibunda Nirina, Cut Indria Marzuki pun menerimanya dengan tangan terbuka karena mempunyai hati yang sensitif dan mudah iba. Riri tinggal dekat dengan sang ibunda, yang memang jauh dari lima orang anaknya, termasuk Nirina.

"Kehadiran dia (Riri) lebih banyak daripada kehadiran anak-anak (mama) yang lain. Dari kos-kosan, kemudian dia mulai minjem uang, menawarkan bisnis pinjam-meminjam uang. Dia ada dengan keluarga sejak 2010 dia sudah profiling keluarga kita, Nirina gimana, anak kedua, ketiga, semua," jelasnya.

Bahkan, lanjutnya, Riri dengan berani mengaku sebagai anak angkat. Di sisi lain, sang ibu yang berusia 69 tahun kala itu tengah menuju demensia sehingga kerap mempunyai halusinasi. Menurutnya, kondisi ini sangat dimanfaatkan oleh Riri yang ternyata memiliki rekam jejak yang buruk di lingkungan rumah tinggal sang ibunda.

Riri, kisah Nirina, menemukan setumpuk berkas surat-surat berharga milik mendiang ibunda termasuk di dalamnya sertifikat-sertifikat tanah. Orang kepercayaan ibundanya itu bahkan mengambil sertifikat tanah yang kemudian ia balik nama menjadi miliknya.

"Dia juga jadi menjembatani seseorang, dia bilang ke ibu saya, aku kenal kok notaris, disitu PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) masuk. Yang tadinya mau bantu surat kembali malah balik nama ke dia," ungkap aktris yang pernah menjadi VJ MTV ini.

Nirina dan keluarga akhirnya menyadari penggelapan aset oleh Riri setelah sang ibu tiada. Dia merasa ibunda mempunyai beberapa aset yang tengah diurus namun tak jelas kelanjutannya. Usut punya usut, Riri adalah dalang dibalik semua penggelapan melalui proses interogasi yang berlarut-larut.

Sponsored

Awalnya, masalah ini ingin diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, Riri dan suaminya tak kooperatif dan sering berkelit. Riri bahkan mengaku bahwa ibunya sendiri yang menyerahkan aset itu kepadanya. Hingga akhirnya, keluarga Nirina memutuskan membawa kasus ini ke ranah pidana. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi Nirina dan keempat saudara kandungnya serta sang ayah.

"Kalau punya orang tua sudah berumur satukan suara dengan keluarga untuk bantu mereka ingat aset-aset yang mereka punya dan bantu urusin," saran ibu dua anak ini.

Ilustrasi Pixabay.com.

Kasus serupa juga pernah menimpa mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal. Bermula dari cuitan Dino di akun twitternya @dinopattidjalal, kasus ini mulai menyeruak ke publik Februari lalu. 

"Sy mohon perhatian Gubernur @aniesbaswedan+Kapolda Metro utk meringkus SEMUA komplotan mafia tanah yg kiprahnya semakin rugikan + resahkan rakyat. Sy juga harap masyarakat agar berani lawan mafia tanah. Para korban mafia tanah agar bersatu melawan mrk #berantasmafiatanah," cuitnya Februari lalu.

Ia menceritakan sang ibunda Dino, Zurni Hasyim Djalal menjadi korban penipuan. Dino menjelaskan bahwa orang tuanya mengetahui telah menjadi korban setelah sertifikat rumah itu berubah nama kepemilikan tanpa adanya proses jual beli. Dalam prosesnya, aparat kepolisian telah menangkap 15 orang sindikat yang disebut sebagai mafia tanah ini.

Modusnya, mengincar target yakni lansia, membuat KTP palsu, berkolusi dengan broker hitam dan notaris bodong, dan pasang figur-figur "mirip foto di KTP". Sosok ini dibayar untuk berperan sebagai pemilik KTP palsu. 

"Satu lagi rumah keluarga saya dijarah komplotan pencuri sertifikat rumah. Tahu2 sertifikat rumah milik Ibu saya telah beralih nama di BPN padahal tidak ada AJB, tidak ada transaksi bahkan tidak ada pertemuan apapun dgn Ibu saya," tulis dalam akunnya.

Setidaknya, sang ibunda telah menjadi korban pencurian sertifikat rumah oleh mafia sebanyak lima kali. Proses pengadilan pun telah memvonis 4 terdakwa dengan hukuman penjara dari dua hingga empat tahun penjara.

Sasaran empuk

Berbeda dengan pemberitaan media massa yang menyebut kedua kasus tersebut mafia tanah, Senior Associate Director Capital Markets Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi justru hanya menyebut kasus tersebut sebagai kejahatan penipuan.

"Itu ada kesempatan, atau merasa diberikan kuasa oleh masing-masing pihak atau merasa diberikan kuasa," katanya saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (25/11).

Baik kasus Nirina Zubir maupun Dino Patti Djalal, sebutnya, memiliki dua kesamaan yakni korban adalah orang tua usia lanjut dan mantan pejabat di Kementerian Luar Negeri. "Artinya, mereka banyak menghabiskan waktu di luar negeri sehingga aset-asetnya di Indonesia diurus orang kepercayaan," sebutnya.

Seperti diketahui, ayah Nirina, Zubir Amin adalah mantan diplomat Indonesia. Sebelum pensiun dari karier diplomatik, Zubir menjabat sebagai Konsul Jenderal (Konjen) RI di Marseille, Prancis. Sementara ayahanda Dino Patti Djalal juga merupakan diplomat Indonesia dan ahli hukum laut internasional.

Aldi menyebut, orang kepercayaan inilah yang mengurus segala administrasi kependudukan, termasuk memegang aset yang bisa saja disalahgunakan. Apalagi, dalam kasus Nirina, sang ibu menuju demensia yang makin mempermulus niat jahat untuk merebut aset.

"Ini yang mau disalahkan siapa seolah-olah pemerintah padahal yang salah penipunya, yang bisa cari cara apa saja termasuk memalsukan surat kuasa jual," sebutnya.

Di samping itu, ia menilai, perlindungan terhadap lansia di tanah air masih sangat lemah. Termasuk bagi para lansia yang memiliki banyak aset. Banyak diantara para lansia yang sudah mengalami gangguan ingatan dan fisik yang tak lagi purna. Para lansia ini juga banyak yang tinggal terpisah dengan anak-anaknya sehingga membutuhkan kehadiran orang lain untuk mengurusnya.

Aldi mencontohkan, di Singapura, perlindungan terhadap lansia cukup nyata di mana negara hadir untuk merawat para lansia. Jika para lansia di Singapura memiliki aset, kata Aldi, maka negara akan melikuidasi aset untuk membiayai perawatan mereka terlebih dahulu. Baru kemudian, nilai sisa aset dihitung sebagai warisan untuk para hak warisnya.

"PR-nya pemerintah bukan di masalah BPN (Badan Pertanahan Nasional) tapi di perlindungan orang tua yang jadi sasaran empuk. Orang tua no longer bisa ambil keputusan maka yang ambil keputusan hak warisnya dan enggak bisa ambil keputusan sesuai keinginan dia, harus keinginan bersama," tegasnya.

Lebih lanjut, Aldi menilai kasus penggelapan aset seharusnya mudah ditelusuri dan gampang terlacak. Pada saat terjadi jual beli dalam kasus Nirina misalnya, seharusnya tagihan pajak penjualan yang mengiringi terjadinya akad jual beli menjadi penanda.

Selain itu, dalam proses jual beli notaris pasti melakukan pemeriksaan atas nomor rekening yang digunakan. Bila tidak sesuai dengan nama dalam sertifikat tanah yang dijual, itu seharusnya dicurigai. Menurut dia, proses balik nama dalam sertifikat juga tidak semudah itu.

"Pembeli juga harusnya sadar transaksi dengan pemilik tanah kok atas nama kuasa jual. Setiap transaksi kan generate pajak. Penjual yang enggak tahu dia menjual tiba-tiba ada tagihan pajak 2,5% dari penjualan, harusnya kan nanya kenapa saya harus bayar," contohnya.

Aldi menyatakan tidak mungkin terjadi transaksi jual beli jika sertifikat sudah balik nama. Pasalnya, ada notaris yang bertugas mengecek semua kelengkapan pajak dan lain-lain. Kecuali memang, ada oknum di notaris dan PPAT. Baik itu berupa keluputan dalam pengecekan atau pihak notaris yang ikut 'bermain' dalam kejahatan.

Ia juga mencermati adanya pihak kuasa jual. Menurutnya, kuasa jual tidak diberikan kepada individu melainkan kepada manajemen perusahaan tertentu yang diamanati oleh seseorang untuk menjual atau membeli sebuah aset.

Berantas mafia

Aldi menilai keberadaan mafia tanah bekerja dengan skala lebih luas dan terorganisir secara rapi. Namun, ia mengamini mafia tanah bisa mengincar para orang tua yang merupakan baby boomers yang lahir dalam kurun 1944 -1964.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat saat ini, jumlah lansia sekitar 25 juta orang dan diproyeksikan pada tahun 2050 jumlah lansia akan mencapai 80 juta orang. Termasuk di dalamnya, lansia kelas menengah perkotaan. Mereka, sebagian besar lebih mandiri, mampu mengurus dirinya sendiri, dan dapat mengakses panti werdha atau senior living (retirement home) yang tersedia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sementara itu, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin menyatakan mafia tanah memang merajalela di tanah air. Pada kenyatannya banyak orang yang dirampas tanahnya dan sertifikatnya tumpang tindih. Ada pula memang persekongkolan praktik atau permufakatan jahat.

"Aktornya orang-orang pertanahan bekerjasama dengan dinas-dinas di daerah misal tata ruang, RT/RW, kepala desa, bahkan PPAT dan notaris. Ini persekongkolan besar, karena tanah adalah aset ekonomi yang nilainya terus meningkat," sebutnya dalam channel Youtube Haris Azhar yang diunggah Maret lalu.

Praktik mafia tanah paling ringan, kata dia, adalah calo yang membeli harga murah lalu disimpan dalam waktu sebentar dan kemudian menjual dengan harga tinggi. Namun, ada praktik lain yang lebih kejam dengan merampas aset dengan melakukan pendudukan. Iwan pun memandang kondisi ini tak lepas dari keterlibatan oknum yang bisa memproduksi dokumen palsu yang disahkan. 

Menanggapi banyaknya laporan mafia tanah, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah sejak tahun 2018.

Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) Kementerian ATR/BPN, R.B. Agus Widjayanto menyatakan kolaborasi satgas hingga saat ini telah menangani lebih dari 80 kasus pertanahan terindikasi mafia tanah.

Agus pun mengakui ada oknum-oknum di jajaran internal Kementerian ATR/BPN yang terlibat dalam praktik mafia tanah. Namun, tindakan tegas sudah pasti dilakukan Kementerian ATR/BPN jika ada jajarannya yang ikut terlibat.

"Sudah ada lebih dari 100 dari pegawai kita yang diberikan punishment," sebutnya beberapa waktu lalu.

Dia juga mengakui tidak mudah bagi BPN untuk mengantisipasi proses balik nama. Karenanya, kata dia, perlu upaya dari pemilik tanah melakukan upaya-upaya pencegahan. Misalnya akan berikan kuasa, pelajari dulu dokumen surat kuasanya yang dibuat. 

"Serta jangan mudah menyerahkan sertifikat kepada orang lain," tegasnya.

Lebih lanjut, dalam kasus balik nama sertifikat tanah ini perlu dilihat, apakah ada kekurangan atau cacat karena tidak melalui prosedur. Jika ada cacat administrasi maka dapat juga dibatalkan proses balik namanya.

Adapun PPAT sebagai kepanjangan tangan dari Kementerian ATR/BPN harus memastikan pihak-pihak yang melakukan jual beli benar. "Para pihak yang melakukan jual beli itu harus bersama dihadapan PPAT ketika membuat akta, dibacakan aktanya. Dengan demikian, para pihak benar-benar yakin kepada pihaknya," pungkas dia.

Adapun modus kejahatan mafia tanah yang banyak ditemui antara lain pemalsuan dokumen (alas hak), pendudukan ilegal, dan lain sebagainya. 

Menuju digitalisasi

Di saat yang sama, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil menegaskan pihaknya telah berkomitmen untuk menjadi kantor digital. Ia meminta agar masyarakat tidak membiarkan tanah sebagai aset tak bergerak jadi terlantar.

Karenanya, BPN bertransformasi digital dimulai dengan pelaksanaan pelayanan pertanahan secara elektronik sejak tahun 2020, antara lain Hak Tanggungan Elektronik (HT-el), Informasi Zona Nilai Tanah (ZNT), Pengecekan Sertipikat Tanah, serta Pembuatan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Dengan layanan elektronik ini, antrean di kantor pertanahan berkurang sampai dengan 40%," katanya beberapa waktu lalu.

Selain itu, pihaknya juga meluncurkan fitur Loketku di aplikasi Sentuh Tanahku. Melalui aplikasi ini juga, pemilik tanah bisa mengetahui letak tanah yang ada dalam sertifikat. Hingga saat ini, sebutnya, pihaknya menargetkan pendaftaran sejumlah 126 juta bidang lahan. 

Pasalnya, jika tanah sudah terdaftar maka potensi konflik dan sengketa bisa dikurangi. Hal ini juga sejalan dengan komitmen Kementerian ATR/BPN untuk memerangi mafia tanah.

"Kita telah mendigitalkan dokumen pertanahan lebih dari 2,8 miliar dokumen yang tersebar di seluruh kantor pertanahan di Indonesia," ujarnya.

Namun lagi-lagi, proses digitalisasi ini disorot oleh Aldi Garibaldi. Ia meyakini proses ini akan sangat mengurangi praktik curang akibat pemalsuan dokumen fisik. Namun, bagi kalangan lansia proses ini tentu tidak mudah.

"Karena itu, lansia harus selalu didampingi oleh anak-anaknya dalam proses ini," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid