sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Membendung dominasi aset kripto dengan mata uang digital

Bank Indonesia menjajaki penerbitan mata uang digital untuk membendung perkembangan mata uang kripto yang sangat pesat.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Jumat, 05 Mar 2021 15:27 WIB
Membendung dominasi aset kripto dengan mata uang digital

Perubahan lanskap sistem pembayaran semakin tak bisa dihindari. Munculnya berbagai perusahaan teknologi besar (big tech) dan teknologi keuangan (fintech), menjadi sinyal kuat perkembangan pesat layanan keuangan. 

Pertumbuhan ekosistem digital pun, tak dimungkiri kian melesat di tengah pandemi Covid-19. Kebutuhan penggunaan transaksi non-tunai yang semakin meningkat, turut memicu tren penggunaan uang digital.

Inisiatif penggunaan uang tak kasat mata ini pun dijajaki bank sentral di beberapa negara. Tak terkecuali, Bank Indonesia yang menjajaki penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC).

Survei Bank for International Settlement (BIS) menjelaskan sebanyak 80% dari 66 bank sentral melakukan pendalaman CBDC. Tercatat, 40% bank sentral diantaranya telah menjajaki tahap eksperimen (proof of concept) dan 10% bank sentral mulai maju ke tahap pengembangan (pilot project). 
 
Adapun Bank Indonesia juga mengaku tengah menjajaki kemungkinan implementasi CBDC atau uang digital BI. Otoritas moneter ini menyatakan CBDC merupakan representasi digital dari uang fisik yang diterbitkan bank sentral.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono, mengatakan penelitian dan eksperimen tentang CBDC saat ini sedang berlangsung. Baginya, hal tersebut penting dipersiapkan secara memadai.

"Agar tepat diterapkan di Indonesia dan implikasinya (bisa berdampak) pada sektor publik dan swasta," ujar Erwin kepada Alinea.id, Kamis (4/3).

Dalam kajian yang dilakukan BI, lanjut Erwin, pihaknya ingin mempertimbangkan dengan matang potensi serta manfaat mata uang digital BI dikaitkan dengan kondisi di Indonesia. Mulai dari perbedaan desain hingga arsitektur CBDC yang akan dipilih. 

"Tak terkecuali, mitigasi risikonya," imbuhnya. 

Sponsored

Penyusunan desain dan arsitektur CBDC sendiri, katanya, juga harus menimbang pada tiga aspek penting. Pertama, mendukung kebijakan moneter, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan sistem pembayaran BI.

Lalu kedua, meliputi fitur CBDC yang mempromosikan digital dan efisiensi. Ketiga, CBDC co-exist dengan uang kartal dan jasa sistem pembayaran yang inovatif dan fleksibel.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga sempat menyinggung, perumusan BI untuk CBDC tidak lepas untuk membendung maraknya penggunaan mata uang digital yakni kripto seperti bitcoin.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Foto Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana.

JP Morgan memberikan perkiraan bahwa bitcoin masih akan terus bersaing dengan emas sebagai mata uang alternatif. Target jangka panjang untuk harga Bitcoin dari JP Morgan adalah US$146.000. Pada perdagangan Kamis (4/3), harga bitcoin bertengger di level USD$46.675 atau setara Rp692,71 juta.

“Sejak awal kami tegaskan, bitcoin tidak sebagai alat pembayaran yang sah demikian juga mata uang selain rupiah,” ujar Perry dalam acara yang bertajuk Indonesia Economic Outlook, Kamis (25/2).

Dia melanjutkan, CBDC akan diedarkan melalui perbankan maupun fintech dengan mekanisme wholesale maupun secara ritel. 

Ditinjau dari aspek akses dan penggunaannya, CBDC memang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu wholesale dan retail CBDC. Wholesale CBDC digunakan oleh pihak yang lebih terbatas seperti bank dan lembaga keuangan lainnya. 

Sedangkan CBDC ritel, dapat diakses baik secara langsung maupun tidak langsung melalui financial intermediaries kepada end-user (masyarakat dan merchant).

“Kami juga melakukan kerjasama dengan bank-bank sentral lain, kami antara bank sentral saling study untuk menyusun dan mengeluarkan itu (CBDC) InsyaAllah ke depannya,” kata Perry.
 
Perkembangan CBDC  

CBDC merupakan bentuk digital dari uang, berdenominasi mata uang nasional, yang diterbitkan oleh bank sentral. Sama halnya dengan uang kartal, CBDC menjadi bagian dari kewajiban moneter BI serta menjadi simbol kedaulatan negara atau sovereign currency. 

Saat ini, bank sentral memiliki kewajiban moneter berupa uang kartal berbentuk fisik (uang kertas dan uang logam) dan rekening giro pihak ketiga.

Kini, perusahaan teknologi keuangan pun gencar bermunculan. Termasuk dengan lahirnya private digital currency (uang digital swasta), berupa bitcoin serta rencana penerbitan global stablecoin Facebook Libra. 

Ilustrasi bitcoin. Foto Reuters/Dado Ruvic.

Puncak perhatian terbesar global pada CBDC pun menjadi semakin intens. Ini terjadi ketika bank sentral China atau People's Bank of China (PBoC) mulai memutuskan mempercepat inisiatif Digital Currency Electronic Payment (DC/EP) di tahun 2019. 

PBoC juga mengamandemen Undang-undang (UU) bank sentral, supaya dapat menerbitkan uang bank sentral berbentuk digital. Di berbagai negara, penerbitan CBDC bisa berbeda-beda. Misalnya saja di negara-negara maju, penerbitan CBDC lebih didorong untuk kebutuhan mendukung keamanan pembayaran serta stabilitas keuangan. 

Sementara, bagi negara-negara berkembang penerbitan CBDC dipengaruhi oleh faktor efisiensi sistem pembayaran domestik. Selain itu, langkah ini demi inklusi keuangan dan memitigasi shadow banking atau praktik perantara keuangan yang tidak terawasi. 

Melansir Zipmex, bank sentral yang sebetulnya mengawali penelitian CBDC adalah Bank of England (BOE). BOE kemudian menjadi pelopor yang memulai proposal CBDC. Jejak BOE lantas diikuti oleh PBoC. Aksi ini yang kemudian banyak dikenal sebagai momentum awal ramainya CBDC diperbincangkan.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira bahkan menyebut, pengembangan CBDC di China ini sebagai pelopor. Animo masyarakat soal CBDC, menurut Bhima, juga cukup besar di China. Di sisi lain, pemerintah China pun melakukan pelarangan aset kripto sehingga CBDC bisa semakin populer.

Ilustrasi mata uang kripto. Pixabay.com.

"China dengan yuan digital dan sudah di uji coba di beberapa daerah," ujar Bhima kepada Alinea.id, Kamis (4/3). 

Kemudian, dia melanjutkan, pemerintah Venezuela juga sempat memancing perhatian dengan menerbitkan uang digital bank sentralnya. Tujuannya, sebagai salah satu cara menarik investasi asing. Nama mata uang digital Venezuela ini adalah Petro yang diluncurkan sekitar tahun 2018 lalu. 

"Petro dibackup dengan cadangan minyak dan hasil tambang Venezuela. Petro diciptakan juga sebagai cara untuk menghindari sanksi finansial yang diberikan kepada pemerintah Venezuela," terang Bhima.  

Di periode yang relatif sama, selain Venezuela, pengembangan CBDC juga dilakukan oleh Rusia. Negara Beruang Merah ini, membuat program bertajuk Crypto-ruble yang diumumkan secara langsung oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. 

Selain itu, ada pula uang digital bank sentral yang dikembangkan oleh Bank of Canada (BoC), bank sentral Uruguay, Thailand, Swedia, Korea Selatan, dan Singapura. 

"Yuan digital yang paling dikenal (dari semua CBDC)," kata Bhima. 

Proyeksi CBDC di Indonesia 

Bhima berpendapat, Indonesia sebaiknya mengadopsi strategi bank sentral China dalam implementasi CBDC. Dia menilai, model pengembangan keuangan digital China dan Indonesia memiliki banyak kemiripan.

"Pemainnya juga banyak dari China yang investasi di Indonesia. Misalnya di China, penetrasi QR Code untuk pembayaran tinggi, kemudian kita adopsi dengan QRIS versi BI," ujarnya. 

Indonesia menurutnya, juga memiliki tujuan yang relatif sama dengan China pada awal pengembangan CBDC yaitu untuk menarik minat pegiat aset kripto, yang sebelumnya bahkan masuk ke aset ilegal. 

"Ini tujuan yang sama antara PBoC dan BI," ujarnya.

Untuk memacu BI memiliki uang digital, Bhima menekankan, penting untuk membangun infrastruktur sistem digital bank sentral yang juga memadai. Di sisi lain, perlu juga memastikan kapabilitas dari suatu produk atau sistem (interoperabilitas) yang mudah aksesnya untuk semua platform digital.

Sistem keamanan seperti perlindungan data pengguna uang digital serta menutup celah masuknya hacker dalam sistem juga tidak bisa diabaikan. 

"Untuk infrastruktur utama, tentunya kecepatan internet dan coverage jaringan jadi poin utama," kata peneliti INDEF itu. 

Senada, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan uang digital BI yang berencana diterapkan di Indonesia, bisa mengikuti model e-Yuan (elektronik Yuan) di China. 

Pada akhir tahun 2020 lalu, Telisa menyebut, kota Suzhou China telah membagikan voucher senilai 20 juta Yuan (US$3 juta) ke warganya dalam bentuk e-CNY dan sudah bisa dibelanjakan dalam e-commerce JD.com.

Mengikuti model dari e-Yuan dengan pilot project itu, maka menurutnya Indonesia dapat menerapkan uang digital bank sentralnya dalam e-commerce, seperti JD.com. 

“Kemungkinan rupiah digital dapat digunakan di platform e-commerce terlebih dahulu," ujar Telisa kepada Alinea.id, Kamis (4/3). 

Anggota tim riset akademik yang dilibatkan BI dalam kajian CBDC ini juga menegaskan terdapat kriteria kebutuhan utama untuk CBDC yang perlu diperhatikan. Merujuk BIS, kriteria itu diantaranya, privasi, mudah digunakan, serta aman seperti layaknya uang tunai. 

"Juga memiliki akses universal, dapat melakukan cross border payment, dan memiliki kegunaan peer to peer," tulis hasil riset yang dilakukan Telisa, dikutip Alinea.id. 

Mimpi Indonesia untuk memiliki CBDC tentu menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Seperti kata Bhima dari INDEF, Indonesia akan diuntungkan jika bisa mengambil porsi perkembangan uang digital, yang saat ini tengah diramaikan aset kripto seperti bitcoin.

"Keuntungan lain, CBDC (Indonesia) dapat digunakan untuk mempercepat inklusi digital khususnya dalam menopang pengembangan jasa keuangan digital," tegas Bhima. 

Menurut The Economist dalam artikelnya yang terbit pada Februari 2021 lalu, CDBC memang memiliki sejumlah keuntungan. Salah satunya, memperkokoh posisi bank sentral di tengah menjamurnya tren masyarakat menggunakan alat pembayaran digital milik swasta. 

Pada jangka panjang, CDBC juga bisa menjadi uang berbasis digital yang lebih efisien sebab tidak perlu dicetak secara fisik dan didistribusikan. Cara ini justru akan lebih bisa merata untuk daerah terpencil. 

Selain itu, aspek keamanan dengan mudahnya pelacakan secara digital atas tindak kejahatan juga bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi CDBC. 

Meski demikian, The Economist juga menggarisbawahi risiko CDBC yang tetap ada. Misalnya soal perlindungan dari aksi peretasan yang masih bisa dibobol hingga potensi keringnya likuiditas perbankan akibat masyarakat lebih menggemari uang digital.

Implementasi belum jelas

Hingga saat ini, Erwin Haryono dari BI belum bisa memastikan target pasti kapan CBDC akan siap diimplementasikan di Indonesia. Sebab, saat ini masih dalam proses kajian yang membutuhkan proses tak sembarang. 

BI juga mengaku akan sangat hati-hati dalam persiapan penerapan CBDC nantinya, supaya tidak menimbulkan disrupsi kepada sistem keuangan. Kendati demikian, pihaknya pun menegaskan, penelitian teknis dan eksperimentasi akan terus dilakukan. Termasuk, kemungkinan penggunaan platform blockchain sebagai persiapan ke depan.

"Diskusi dengan bank sentral lain dan juga dengan organisasi internasional juga terus diperkuat," pungkas Erwin. 

Berita Lainnya
×
tekid