close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto berpidato dalam sidang tahunan MPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Agustus 2025. /Foto Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Prabowo Subianto berpidato dalam sidang tahunan MPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Agustus 2025. /Foto Instagram @prabowo
Bisnis
Sabtu, 16 Agustus 2025 17:00

Mungkinkah target defisit nol pada 2027 ala Prabowo tercapai?

Presiden Prabowo menargetkan defisit APBN nol pada 2027.
swipe

Presiden Prabowo Subianto memaparkan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 dengan target defisit sebesar 2,48% terhadap produk domestik bruto (PDB). Pemerintah juga menargetkan defisit nol pada 2027 atau 2028.

Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan komitmen memberantas korupsi dan kebocoran anggaran, termasuk menyelamatkan Rp300 triliun APBN yang dinilai rawan diselewengkan. Ia menyebut langkah itu penting demi menjaga amanat konstitusi serta melindungi kekayaan negara dari aliran keluar yang tidak produktif.

APBN 2026 juga memuat alokasi Rp335 triliun untuk memperluas program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang ditargetkan menjangkau 82,9 juta anak sekolah, pelajar, serta ibu hamil dan menyusui. Program ini menjadi salah satu prioritas sosial yang akan mulai digulirkan tahun depan.

“Per hari ini, sudah ada 5.800 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi di 38 provinsi di Indonesia. MBG telah menciptakan 290.000 lapangan kerja baru di dapur-dapur, dan melibatkan 1 juta petani, nelayan, peternak
dan UMKM. MBG mendorong pertumbuhan ekonomi di desa-desa,” katanya dalam pidato kenegaraan, di Gedung DPR, Kamis (15/8).

Ekonom dan pengamat kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai arah kebijakan fiskal tersebut perlu diimbangi dengan reformasi penerimaan negara. Menurutnya, membiayai program sosial berskala besar dan agenda pembangunan tidak cukup mengandalkan pemangkasan kebocoran anggaran.

“Pipa pajak harus diperkuat. Reformasi pajak, integrasi data, digitalisasi perpajakan, hingga pengenalan pajak karbon dan pajak ekonomi digital wajib dijalankan. Tanpa itu, keberlanjutan program sosial hanya akan menambah beban utang,” kata Achmad saat dikonfirmasi Alinea.id, Kamis (15/8).

Ia mengingatkan posisi utang pemerintah yang telah menyentuh Rp10.269 triliun atau setara 40% PDB, dengan rasio pajak yang stagnan di kisaran 9–10%. Kondisi ini berpotensi menciptakan tekanan fiskal, di mana beban bunga utang menyedot ruang belanja pembangunan.

Achmad juga menyoroti pentingnya disiplin fiskal untuk menjaga kredibilitas pasar keuangan dan kepercayaan investor. Target defisit nol, menurutnya, realistis asalkan reformasi struktural dilakukan sejak awal pemerintahan.

“Jika sumber pembiayaan tidak dibenahi, APBN akan terganjal pembiayaan utang jangka pendek berbunga tinggi. Ini bisa mengganggu stabilitas ekonomi,” ujarnya.

Achmad menilai target ambisius APBN 2026 juga berpotensi memicu tekanan pada sektor perbankan. Jika pembiayaan utang jangka pendek terlalu agresif, bank akan terjebak pada portofolio surat utang berbunga tinggi. “Ini bisa memicu crowding out kredit ke sektor riil, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat,” jelasnya.

Menurutnya, stabilitas perbankan harus dijaga melalui koordinasi erat antara Kementerian Keuangan, OJK, dan Bank Indonesia. “Pasar modal dan perbankan itu sangat sensitif terhadap persepsi risiko fiskal. Begitu pasar melihat beban utang tak terkendali, imbal hasil obligasi naik, bunga pinjaman ikut terdongkrak,” kata Achmad.

Ia juga mengingatkan pasar modal akan membaca dua sinyal sekaligus: optimisme politik Prabowo dan beban fiskal yang membayang. Investor portofolio cenderung cepat bereaksi terhadap rencana belanja besar tanpa dukungan penerimaan yang kuat. “Itu sebabnya reformasi pajak digital, karbon, dan integrasi data wajib dilakukan dari tahun pertama,” tegas Achmad.

Meski begitu, ia menilai rencana defisit nol tetap bisa tercapai bila pemerintah mengombinasikan efisiensi belanja, penguatan basis pajak, dan manajemen utang yang cermat. “Kuncinya ada di execution. Angka APBN di kertas tidak akan berarti jika tidak ada keberanian membongkar pos-pos belanja yang tidak produktif,” tutupnya.
 

 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan