sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib pemagang: Kerja layaknya karyawan tanpa hak kesejahteraan

Pemagang seringkali dibebani pekerjaan seperti pekerja tetap namun tidak mendapat hak kesejahteraan.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Rabu, 14 Jul 2021 15:39 WIB
Nasib pemagang: Kerja layaknya karyawan tanpa hak kesejahteraan

Sejak dua bulan terakhir, Umam (21) menjalani pemagangan di kawasan Bandung, Jawa Barat. Selama enam sampai delapan jam sehari, dia bertugas sebagai supervisor di sebuah pabrik kabel mesin perakitan.  

"Saya memantau produksi, juga memperbaiki mesin kalau maintenance (pemeliharaan)," ujar Umam kepada Alinea.id, Selasa (13/7). 

Umam masih tercatat sebagai mahasiswa akhir jurusan elektro di salah satu universitas negeri di Bandung. Saat perusahaan tempatnya magang mendatangi kampusnya beberapa waktu lalu, ia pun mengajukan diri. 

Tidak ada surat perjanjian (kontrak) apapun yang ditandatangani oleh Umam maupun perusahaan kala ia memutuskan magang. Dia hanya mendapatkan semacam Kerangka Acuan Kerja (TOR) yang memuat jam kerja yang disepakati.    

"Minggu-minggu awal kayak training pengantar gitu, kayak dijelasin kerjanya di bidang apa, pabrik kerjanya ngapain, leadernya dan kepala produksi siapa," jelasnya. 
 
Selama magang, Umam mendapatkan jatah makan siang sekali dalam sehari. Namun, dia tidak mendapatkan insentif lainnya seperti uang pengganti transportasi, uang saku ataupun fasilitas keselamatan dan kesehatan. 

"Kalau sakit, pagi bilang ke advisor ataupun dirutnya. Bilang via WA (WhatsApp), enggak ada konsekuensi," kata lelaki asal Jawa Tengah tersebut. 

Pabrik tempat Umam magang termasuk subkontraktor yang tidak terlalu besar yang terafiliasi di Bandung dan Subang, Jawa Barat. Jumlah karyawannya ratusan orang. Namun saat pandemi, shift kerja diberlakukan sebanyak maksimal 50%. Ilustrasi Pixabay.com.

Pengalaman magang juga dituturkan Salis (25). Dia mengaku tugas magang yang dijalankan di sebuah pabrik industri pakan ternak di Semarang Jawa Tengah itu selayaknya tugas pekerja.

Sponsored

"Harusnya ke pengawasan dan perencanaan, ini malah disuruh terjun ke lapangan kayak surveyor dan warehouse gitu," ujar Salis kepada Alinea.id, Selasa (13/7).

Dia melakoni tanggung jawab di perusahaan itu kala menjadi mahasiswa semester akhir beberapa tahun lalu. Tak hanya tugas yang relatif berat, lelaki asal Jawa Timur ini juga magang dengan waktu yang berlebih. Mulai dari jam kerja 15 jam sehari, mengerjakan proyek tambahan, hingga tak diberi libur dalam seminggu. 

"No rest karena target. Liburnya pintar-pintar atur waktu saja, kebanyakan ya alasan sakit atau izin pulang kampung," katanya. 

Tiga bulan Salis menjalani aktivitas magang tersebut. Tidak ada surat kontrak tertulis mengenai hak-hak pekerja ataupun batas pekerjaan magang yang dikerjakan. Termasuk, tidak ada jaminan keselamatan kerja. 

Meski datang dari luar daerah, perusahaan juga tidak menyediakan tempat tinggal. Alhasil, Salis mesti menyewa kamar kos seharga Rp750.000 per tiga bulan dan memenuhi sendiri kebutuhan makanannya. 

"Zaman itu belum ngerti duit, ya kerjain aja. Pas akhir-akhir untuk 3 bulan itu dikasih Rp1,9 juta," katanya. 

Sementara itu, Dila (26) pernah menjalani magang di industri kreatif media pada sekitar tahun 2016 hingga 2017. Magang pertamanya, pada sebuah koran harian cetak di Jakarta. 

Selama menjalani magang, dia mengaku tidak pernah menandatangani surat perjanjian kontrak dan tidak ada insentif apapun. Padahal kala itu, penugasan liputan yang dia kerjakan sudah selayaknya seorang reporter. Kondisi itu dia jalankan selama 4 bulan di sela-sela waktu kuliah akhirnya. 

"Agenda bisa setengah satu sampai paling malam jam 11 malam. Ada juga piket malamnya," kata Dila kepada Alinea.id, Selasa (13/7). 

Bahkan, dalam situasi tertekan karena pekerjaan, Dila mengatakan tidak ada jaminan kesehatan yang diberikan perusahaan. "Izin sakit enggak apa sih (fleksibel), tapi (yang tidak menyenangkan) didesak ditekan buat buru-buru itu," kata dia. 

Di akhir masa perkuliahan, Dila juga sempat mengambil semester tambahan untuk mengerjakan skripsi. Sambil menggarap tugas akhir itu, ia kembali magang di salah satu perusahaan media lainnya yang berbasis majalah di Jakarta.

Untuk kedua kalinya, lulusan jurnalistik di IISIP Jakarta itu juga tak mendapat insentif dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja. Namun, ini masih lebih baik karena ia mendapat insentif berupa reimburse akomodasi jika dinas ke luar kota. 

"Masuk anggaran (perusahaan)," imbuhnya. 

Di perusahaan kedua ini, Dila mengatakan perusahaan masih cukup memperhatikan pelatihan dan pengembangan diri pemagang seperti pelibatan riset, liputan hingga sharing pematerian. Meski, dari sisi kesejahteraannya minim. 

"Lebih dari ekspektasi untuk ilmu dan pengalaman," katanya. 

Wacana tahun magang 

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, baru saja mencanangkan tahun 2021-2022 bakal menjadi The Year of Apprenticeship alias Tahun Magang. Hal ini merespons kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi di tengah produktivitas perusahaan yang menurun selama pandemi Covid-19.

Ida menilai pemagangan merupakan konsep belajar sambil bekerja (learning by doing). Proses magang ini berguna untuk mengajarkan peserta magang membiasakan diri mengikuti proses pekerjaan yang biasa dilakukan dan yang akan dilakukan. 

Melalui magang juga, para peserta tidak hanya melihat dan mendengarkan teori. Mereka juga harus melakukan pekerjaan yang mempunyai mental 'siap kerja'. 

"Dengan magang yang diperoleh oleh pencari kerja bukan hanya skill teknis (hardskill), tapi juga soft skill (etos dan disiplin kerja). Magang adalah paket komplit pelatihan," katanya mengutip keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (1/7).

Maka dari itu, Kemenaker juga melibatkan pemilik perusahaan atau para pengusaha yang utamanya tergabung dalam JJC (Jakarta Japan Club) dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) untuk menyukseskan program pemagangan pemerintah ini. 

"Kami juga harapkan adanya komitmen dari disnaker dan bupati yang selama ini menjadi krusial," ujarnya. 

Dalam kesempatan audiensi virtual yang disaksikan oleh Anton Supit dan Bob Azam dari Apindo, penandatanganan buku Manual Magang oleh Menaker Ida Fauziyah juga dilakukan.

Buku Manual Pemagangan tersebut, disusun berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemagangan Dalam Negeri yaitu mengenai pentingnya perusahaan penerima Magang untuk mempunyai aturan dasar (basic rule) program pemagangan di setiap perusahaan. Misalnya program tentang peningkatan kedisiplinan, pelaksanaan 4R/5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, (Rajin)

Presiden JJC, Takuji Konzo, menyatakan kesiapannya untuk membantu Pemerintah Indonesia mensukseskan pemagangan di seluruh perusahaan yang tergabung dalam JJC. 

"Kami juga meminta dukungan Kemnaker untuk mengatasi persoalan-persoalan di lapangan," katanya di kesempatan sama. 

Menyoal pemagangan, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar menilai sebetulnya secara konsep pemagangan memiliki manfaat bagi ketenagakerjaan. Utamanya soal pelatihan keterampilan kerja agar tak sebatas pada teori. 

"Kalau dia ada kesulitan dia juga bisa tanya dan ngelihat orang (pekerja) lainnya, langsung melihat suasana kerja," ujar Timboel kepada Alinea.id, Selasa (13/7). 

Keuntungan lainnya, menurut Timboel, adalah kesempatan bagi peserta magang dan perusahaan untuk proses rekrutmen. Sebab, pemagang yang berkinerja baik akan mempunyai kesempatan untuk bisa melanjutkan bekerja setelah masa magang selesai.

"Kalau dia berprestasi, ada kesempatan direkrut," katanya. 

Celah pelanggaran magang

Meski begitu, Timboel menekankan, bahwa pemagangan memang mesti memenuhi aturan yang berlaku seperti pada Permenaker RI No 6 tahun 2020. Untuk menyelenggarakan pemagangan, perusahaan memang mesti memiliki unit pelatihan, program pemagangan, sarana dan prasarana hingga pembimbing/ instruktur. 

"Memang pada praktiknya ada perusahaan yang memanipulasi pekerja magang jadi buruh murah. Itu ekses dalam sebuah sistem dan kebijakan ada memang," ujarnya. 

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz menambahkan, selama ini masih pula ditemukan perusahaan yang tidak memberikan pembekalan yang layak bagi pemagang. Ada pula pemagang yang diperlakukan dengan beban karyawan perusahaan. 

"Jam kerjanya pemagang, sama persis dengan mereka yang di perusahaan tersebut," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (13/7). 

Para pemagang, menurutnya, juga mendapatkan tingkat kesejahteraan yang ala kadarnya. Misalnya saja, peserta pemagangan hanya mendapatkan uang saku, namun beban kerjanya sama dengan pekerja perusahaan. 

Praktik pemagangan menurutnya bahkan lebih buruk dari outsourcing. Buruh outsourcing masih berhak mendapatkan upah minimum dan jaminan sosial. Tapi dalam pemagangan, lanjutnya, tidak ada istilah upah, melainkan hanya mendapatkan uang saku yang besarnya ditentukan perusahaan.

Riden khawatir, pencanangan tahun pemagangan di tengah banyaknya buruh ter-PHK akibat pandemi ini, bakal memperburuk keadaan, yaitu posisi buruh yang ter-PHK akan digantikan dengan peserta magang.

“Perusahaan akan cenderung mempekerjakan peserta magang. Tidak lagi merekrut karyawan,” ujarnya.

Memperkuat pengawasan 

Riden menilai persoalan mendasar yang sampai saat ini belum terselesaikan Menaker justru lemahnya pengawasan. Dus, setiap aturan perburuhan rentan terjadi pelanggaran namun tidak ditangani dengan optimal. 

"Hal-hal yang normatif saja banyak dilanggar, apalagi ini yang sifatnya seolah-olah dibenarkan oleh pemerintah," kata Riden. 

Sependapat, Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar mengatakan hal mendesak yang harus segera dibenahi adalah sistem pengawasan pada ketenagakerjaan termasuk soal pemagangan. 

Dia menilai, pengawasan yang ada selama ini masih lemah dan tidak responsif pada permasalahan ketenagakerjaan yang ada. Sebab, seringkali masih harus 'digedor' agar bisa tanggap. 

"Komite pengawas job desknya enggak terlampau jelas. Hanya sekadar lip of service," kata Timboel. 

Sistem pengawasan dari kalangan eksternal yang berkomitmen dan berintegritas pada ketenagakerjaan, menurut Timboel perlu digalakkan. Ini berguna untuk mencegah 'kongkalikong' pengawasan di internal.

"Pengawas eksternalnya juga harus fit and proper. Dorong pengawas ketenagakerjaan eksternal, supaya pengawas tidak main-main terus," imbuhnya. 

Soal pemagangan dia menyampaikan, pengawasan bisa diintegrasikan dengan pengawasan ketenagakerjaan yang lain. Peran serikat pekerja di sini menurutnya, juga termasuk menjadi pendorong agar perusahaan bisa memperhatikan nasib para pemagang. 

"Bagian dari hubungan industrial, sekalian saja, biar langsung diawasi sekalian," katanya.

Perbedaan antara pemagangan nasional, praktik kerja industri dan internship. (Sumber: International Labour Organization)
  Pemagangan nasional Praktik kerja industri Internship
Status Pencari kerja Pelajar Mahasiswa/pelajar/umum
Dasar hukum Ada Ada Tidak ada
Standar kompetensi Ada Ada Tidak ada
Perjanjian pemagangan Antara industri dan peserta magang Antara industri dan sekolah Mungkin
Uang saku Ada Mungkin Mungkin
Praktik kerja 75% +/- 40% 100%
Off the job training Ada Ada Tidak ada
Struktur pelatihan Ada Ada Tidak ada
Sertifikat keahlian Ada Ada Tidak ada
Jangka waktu Maksimal 12 bulan 3-4 bulan Maksimal 12 bulan

Koordinator Project Nasional di Indonesia Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Dede Shinta Sudono berpendapat bahwa pemerintah memang sudah relatif baik dalam membuat aturan dan kebijakan soal pemagangan. Namun, dia menekankan implementasi kebijakan tersebut harus dievaluasi secara periodik. 

"Kala ada kebocoran misalnya, serikat pekerja ada sistem komplain enggak? Gimana mekanisme komplain dan pengaduannya kemana?" ujar Dede kepada Alinea.id, Selasa (13/7).

Selain pengawasan ketat dan proporsional, Dede mengatakan bahwa sosialisasi dan peningkatan kapasitas soal ketenagakerjaan utamanya pemagangan memang harus lebih ditingkatkan.

Kaitannya dengan ini, ILO sebagai salah satu stakeholder dalam ketenagakerjaan juga telah menerbitkan buku panduan bagi perusahaan, serikat pekerja hingga kalangan muda yang berkaitan dengan hak-hak pemagangan. 

"Pemagangan bukan hanya berbasis industri tapi juga pendidikan," pungkasnya. 
       

Berita Lainnya
×
tekid