sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siasat meramu bank digital

Era internet mendorong perbankan mengembangkan digitalisasi bahkan membentuk bank digital.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Rabu, 03 Feb 2021 17:05 WIB
Siasat meramu bank digital

Proses transformasi bank digital kian terpacu bersamaan dengan momentum pandemi Covid-19. Berbagai pembatasan sosial dan mobilitas masyarakat menuntut layanan keuangan harus lebih fleksibel dan praktis.

Hanya dalam waktu yang relatif singkat, satu persatu pemain bank digital mulai bermunculan. Perlahan namun pasti perbankan umum bertransformasi menjadi bank digital. Ada pula bank digital hasil bentuk kolaborasi dari pelbagai pelaku industri keuangan digital.

"Seharusnya, kalau diperkirakan 5 tahun lagi, ternyata lebih cepat. Pandemi ini, transaksi digital naik. Sekarang banyak bank yang mulai mempersiapkan investasi itu (bank digital)," ujar Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani kepada Alinea.id, Senin (1/2). 

Dia menambahkan pemicu hadirnya bank digital ini juga tak lepas dari industri keuangan yang semakin gencar membangun ekosistem digitalnya. Tujuannya tak lain untuk membangun jaringan yang lebih kuat.  

Posisi perbankan saat ini, menurutnya, tak dimungkiri relatif terjepit. Pelaku industri financial technology (fintech) tumbuh subur di kalangan pemodal kecil. Sementara pemodal besar 'bermain' ke pasar modal, terlebih dengan banyaknya insentif yang ditawarkan. 

"Jadi, bank kan mau tidak mau harus berkolaborasi (bank digital)," katanya. 

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menambahkan kehadiran bank digital di masa kini menjadi sebuah keniscayaan. Perbankan juga mesti adaptif di medan laga digitalisasi ini. Terlebih, maraknya layanan keuangan dan pembiayaan berbasis teknologi menjadikan pangsa pasar bank makin terkikis. 

“Sebuah keharusan bagi bank mampu melakukan transformasi digital, agar mereka tetap bisa bersaing,” ujar Piter kepada Alinea.id, Rabu (3/2).

Sponsored

Fenomena pengembangan bank digital saat ini, menurut Piter, bisa terjadi secara penuh (full speed) dan juga bertahap sesuai kemampuan. Bagi perbankan besar yang memiliki modal dan kapasitas keuangan cukup maka akan mengembangkan bank digital sendiri. Misalnya saja, anak usahanya dialihkan menjadi bank digital. 

Namun, lanjutnya, ada pula bank digital yang dikembangkan dari proses akuisisi bank-bank kecil oleh perbankan yang lebih besar termasuk dengan sokongan pemodal besar. 

“Ini masih akan berkembang sekali, tapi arahnya ke situ,” imbuhnya. 

Dalam menjalankan bisnisnya, bank digital ini menurutnya juga tidak hanya mengumpulkan Dana Pihak Ketiga (DPK). Namun, juga bisa melakukan kredit dan berkolaborasi di ekosistem digital. Di sisi lain, kata dia, bank digital juga memiliki karakteristik tersendiri yang relatif berbeda dengan startup. Misalnya, dalam hal strategi pemasaran.

“Dia harus memenuhi semua regulasi yang sangat ketat dari OJK terkait dengan operasi (layaknya) bank umum yang memang sudah diatur sangat hati-hati. Sehingga, enggak mungkin melakukan ‘bakar duit’,” kata dia.  

Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menambahkan, sasaran target bank digital ini notabene memang menggaet kalangan melek digital. Seperti para milenial yang telah lekat dengan fleksibilitas transaksi keuangan. 

“Milenial menjadi pasar target (market target) untuk bank digital. Itu merupakan peluang bisnis yang gurih, karena milenial lah yang lebih dulu mampu atau akrab dengan IT,” terangnya.  

Geliat bank digital

Secara umum, konsep bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan secara digital. Mulai dari administrasi rekening, transaksi, pengelolaan keuangan, pembukaan dan penutupan rekening hingga pelayanan produk keuangan lainnya yang sesuai dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Artinya, layanan digital tidak hanya sebatas layanan seperti m-banking, e-banking dan layanan berbasis internet lainnya. Digital banking pun lebih terbatas sebagai digitalisasi produk dan layanan perbankan yang bisa diakses mandiri melalui ponsel pintar. Fiturnya antara lain transaksi pembayaran, pembelian, transfer hingga penarikan tunai tanpa kartu di mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM). 

Salah satu bank digital yang menuju kelahiran adalah Bank Digital BCA. Bank digital ini merupakan hasil konversi dari PT Bank Royal Indonesia yang diakuisisi oleh bank milik Grup Djarum, PT Bank Central Asia (Tbk), pada April 2019 lalu. 

Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F Haryn menyebutkan Bank Digital BCA rencananya akan diluncurkan sebelum semester I tahun 2021 ini. 

Menara BCA di Jakarta. Foto Reuters/Darren Whiteside.

Bank yang menjadi strategi BCA untuk melakukan penetrasi di segmen digital ini nantinya akan mengusung konsep branchless. Sehingga, pelayanannya bakal dilakukan dalam satu genggaman aplikasi berbasis ponsel pintar. 

Ia melanjutkan, hingga saat ini, tim internal BCA sedang berkoordinasi dan berkomunikasi untuk memastikan proses pengembangan dan infrastruktur Bank Digital BCA berjalan dengan baik. 

"Jika proses ini telah usai, kami akan menyampaikannya kepada publik," ujar Hera kepada Alinea.id, Minggu (31/1). 

BCA, kata dia, akan mengacu pada kebijakan dan aturan dari OJK sebagai otoritas perbankan. Seiring dengan pengembangan Bank Digital BCA ini, lanjutnya, perseroan saat ini juga tengah menggenjot inovasi di ekosistem digital. 

Hera menjelaskan, dana belanja modal atau capital expenditure (capex) BCA pada tahun 2021 mencapai sekitar Rp5,2 triliun. Dana ini sebagian besarnya akan dialokasikan untuk infrastruktur teknologi informasi (IT), digitalisasi perbankan, dan pengembangan jaringan kantor cabang.

“Selain inovasi digital, keamanan merupakan prioritas utama kami. BCA berkomitmen  tinggi untuk melakukan pemutakhiran dan menjaga security system dalam aktivitas operasional bisnis yang kami lakukan,” jelasnya.

Seperti halnya BCA yang mengusung Bank Digital BCA, Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengikuti arus digitalisasi ini. Bank pelat merah ini akan mengubah bisnis anak usahanya, yaitu PT BRI Agroniaga Tbk (AGRO), menjadi bank digital.

"Tentang bisnis digital, mungkin bagaimana BRI Agro kami gunakan sebagai kendaraan bisnis digital. Kami ada ke arah sana," ujar Direktur Utama BRI Sunarso, usai RUPS-LB, Kamis (21/1) lalu.

Menurutnya, bisnis BRI Agro yang terbilang cukup lincah, membuatnya lebih adaptif jika sewaktu-waktu masuk ke ekosistem digital.  

Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan BRI memiliki aspirasi untuk menjadikan salah satu perusahaan anak sebagai Bank Digital (Digital Attacker). Blueprint transformasi ini, bahkan sudah disiapkan selama 5 tahun ke depan dan telah disampaikan kepada regulator (OJK). 

"Bank Digital dibentuk untuk dapat berkompetisi dengan startup atau fintech dan memperluas penetrasi nasabah ke segmen dengan ticket size yang lebih kecil serta sebagai komplemen bagi digital agenda BRI Group," ujar Aestika kepada Alinea.id, Senin (1/2). 

Untuk menguatkan ekosistem bank digital di perseroan, Aestika menyebut saat ini BRI sedang menggencarkan beberapa inovasi layanan digital. Sebut saja KUR (Kredit Usaha Rakyat) Digital, Pasar.id,  BRImo, hingga BRIbrain.

Dia melanjutkan, anggaran pembelanjaan modal teknologi informasi atau Capex IT juga dialokasikan sebagian besar untuk mempersiapkan next generation infrastruktur IT BRI. Sebagai informasi, capex IT yang disiapkan BRI yaitu sekitar Rp3,5 triliun pada tahun 2021. 

"Untuk menopang pertumbuhan inisiatif Digital BRI," ujarnya. 

Berbagai inisiatif Digital BRI ini sebetulnya, kata dia, merupakan bagian dari transformasi yang telah disiapkan sejak tahun 2016. Salah satu fokusnya adalah transformasi digital.  

Sementara itu, PT. Bank Neo Commerce Tbk (Bank Neo Commerce/BNC) yang sebelumnya dikenal sebagai Bank Yudha Bhakti, juga tengah memantapkan diri menjadi bank digital di Indonesia. 

Salah satu fokus yang kini tengah digarap Bank Neo Commerce adalah peningkatan berbagai infrastruktur digital. Utamanya, dalam mengantisipasi pertumbuhan nasabah secara eksplosif namun tetap mengedepankan faktor keamanan dan kerahasiaan data nasabah. 

Terkait hal itu, pada November 2020 lalu, Bank Neo Commerce telah menggandeng Tencent Cloud sebagai salah satu penyedia layanan digital. Perusahaan layanan komputasi awan (cloud) asal China ini diharapkan dapat mengatasi tantangan transformasi digital dalam industri keuangan. Termasuk arsitektur data dan frekuensi transaksi.

Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan mengatakan kerja sama Neo Commerce dengan Tencent Cloud tersebut, menegaskan keseriusan untuk memberikan layanan produk yang mumpuni secara teknologi. 

"Kami paham bahwa keamanan dan privasi seluruh data memegang peranan sangat penting bila bergerak di ranah digital," ujar Tjandra dikutip dari keterangan resmi perusahaan yang diterima Alinea.id, Selasa (2/2).

Kecanggihan teknologi dalam bank digital yang diusung Neo Commerce, nantinya akan dilengkapi dengan penerapan TDSQL sebagai arsitektur database terbarukan. Melalui kerja sama ini penerapan TDSQL itu dapat memetakan database secara distributed dan scalable.

Berbagai permasalahan yang akan dibantu oleh TDSQL diantaranya terkait kurangnya arsitektur data yang baik. Begitu juga dengan transaksi dalam jumlah besar, respons sistem yang lambat, hingga berbagai risiko keamanan.

"Pertama kali bagi kami membawa TDSQL diimplementasikan di luar Tiongkok dan kami yakin kehadirannya dapat membantu Bank Neo Commerce untuk semakin kuat dalam menerapkan keamanan data secara digital di Indonesia," kata Vice President Tencent International Business Group, Poshu Yeung dalam keterangan resmi tersebut.

Bank Neo Commerce sebelumnya juga telah menjalin berbagai kerja sama dengan beberapa perusahaan digital global, diantaranya dengan Huawei dan Sunline. 

Kemudian, sejak tahun 2019, Akulaku juga mulai menjadi pemegang saham Bank Neo Commerce (BNC) ini. Lalu tahun 2020, BNC bertransformasi menjadi bank digital, dimulai dengan Pergantian nama Bank. BNC juga masuk dalam jajaran Bank BUKU 2 oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK).

Butuh infrastruktur dan regulasi 

Ekonom dari INDEF Aviliani tak memungkiri, pengembangan bank digital di Indonesia saat ini memang masih banyak tantangannya. Dia mencontohkan, bank digital di Singapura sudah mengaplikasikan konsep Neo Bank

Terkait ini, lembaga jasa keuangan bank sudah mampu menjalankan bisnis perbankan seperti menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kredit melalui platform digital. Neo bank, bahkan mampu menjalankan fungsi intermediasi tanpa perlu membuat kehadiran fisik di daerah operasionalnya.   

"Jadi buka bank pun, pakai virtual. Nah kelihatannya, bank di Indonesia itu belum ke arah sana," ujar Aviliani. 

Ilustrasi. Pixabay.com.

Dia melanjutkan, pengembangan bank digital di Indonesia hingga kini masih belum maksimal. Sebab, dalam prosesnya masih ada yang butuh dilakukan secara manual. Selain itu, izin untuk bank digital dan bank umum menurutnya juga perlu dibedakan secara spesifik. 

"Yang saya lihat kan, ini masih pada proses," ujarnya. 

Untuk pengembangan bank digital ke depan, Aviliani pun berpendapat kolaborasi memang dibutuhkan. Di samping juga integrasi dari berbagai produk layanan keuangan yang dijalankan oleh bank digital. Namun tak kalah penting, mesti ada pengaturan soal konglomerasi. 

Dia menilai kolaborasi di kalangan pelaku bank digital menjadi keniscayaan karena investasi teknologi di sektor keuangan tak murah. Selain itu, pihak satu sama lain juga dapat menopang dan saling melengkapi dengan sinergi produk keuangan.

"Selama konsumen tidak dirugikan sebenarnya enggak apa-apa. Tapi, jangan sampai memonopoli," tegasnya.

Dia juga menekankan, agar regulator dalam pengembangan bank digital ini mengatur di ranah perilaku pelaku usaha (market conduct) dan standar akuntansi berbasis prinsip (principle based).

Menurut Aviliani, pengaturan sebaiknya bersifat di lingkup yang besar saja. Sehingga, tidak terlalu detail karena perkembangan di sektor digital ini akan begitu dinamis. 

"Karena perubahan sekarang enggak bisa 10 tahun, tapi 2-3 tahun berubah," imbuhnya. 

Menyoal aturan bank digital, hingga saat ini regulator memang belum mengatur secara spesifik. Pasalnya, aturannya masih menginduk pada Peraturan OJK (POJK) tentang Bank Umum yang masih dalam proses pembentukan.

"Secara umum, terkait digital ada di draft POJK bank umum yang sedang meminta pendapat publik," ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat kepada Alinea.id, Senin (1/2). 

Dalam rancangan POJK tentang Bank Umum tersebut, salah satunya membuka pintu bagi bank untuk 100% beroperasi di dunia maya tanpa harus memiliki kantor cabang fisik. 

Bank digital saat ini, juga masih mengacu ke pengaturan aktivitas sebagai digital bank. Hal ini tersemat dalam POJK Manajemen Risiko Teknologi Informasi (MRTI). 

Teguh masih enggan menyebut kapan tenggat aturan tersebut dirampungkan serta detail rancangannya. Namun yang jelas, saat ini pihaknya mengaku fokus pada proses pengkajian POJK bank umum, yang bakal memiliki POJK turunan lainnya. 

"Ya masih proses diskusi dari pendapat publik, rapat dengar pendapat dan lain-lain," pungkasnya. 

Berita Lainnya
×
tekid