sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terlilit utang pinjaman fintech

Calon pengguna fintech agar berhati-hati dan memastikan hal-hal, seperti fintech-nya terdaftar dan diawasi OJK.

Annisa Saumi Nanda Aria Putra
Annisa Saumi | Nanda Aria Putra Selasa, 19 Feb 2019 20:38 WIB
Terlilit utang pinjaman fintech

Sekarang, zaman yang serba mudah. Perkembangan teknologi ikut membuat hidup serba praktis. Tak terkecuali dalam hal pinjam-meminjam daring, atau yang dikenal dengan teknologi finansial (financial technology/fintech).

Setidaknya, beberapa tahun belakangan, fintech menjadi alternatif anyar untuk orang-orang yang membutuhkan pinjaman cepat, tanpa proses administrasi rumit. Tinggal klik di telepon seluler masing-masing, uang meluncur ke dalam rekening.

Ocit—bukan nama sebenarnya—merupakan salah seorang pengguna jasa fintech peer to peer lending. Ketertarikannya menggunakan pinjaman berbasis aplikasi ini, mulanya hanya sekadar coba-coba.

“Karena prosesnya gampang dan enggak perlu ketemu orang, jadinya keterusan,” katanya saat dihubungi, Jumat (15/2).

Bank Indonesia mengklasifikasikan fintech ke dalam empat kelompok. Peer to peer (p2p) lending merupakan salah satu di antara empat kelompok tersebut. Bila diartikan, peer to peer lending mirip marketplace. Kelompok fintech ini mempertemukan antara pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman, dalam satu platform.

Tiga kelompok fintech lainnya, yakni market aggregator, yang punya kemampuan menghimpun data finansial untuk disajikan kepada penggunanya; risk and investment management, yakni pengguna diarahkan produk investasi mana yang cocok untuknya sesuai preferensi; dan payment, settlement, dan clearing, yang bergerak di bidang pembayaran.

Crowdfunding dan p2p lending masuk dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan payment, settlement, dan clearing ada dalam ranah Bank Indonesia. Dua kelompok lainnya, akan masuk kewenangan Bank Indonesia, bila memberlakukan sistem pembayaran.

Gali lubang, tutup lubang

Ocit mengatakan, karena proses yang mudah melakukan peminjaman dan pencairan dana yang bisa dilakukan dalam hitungan menit, ia mencoba lebih dari 20 aplikasi fintech, sejak 2017. Besaran pinjaman pun beragam, mulai dari Rp500.000 hingga Rp1.500.000.

“Saya minjam di banyak aplikasi. Kalau ditotal, semua pinjaman saya di aplikasi itu bisa sampai Rp20 juta lebih,” kata dia.

Dengan jumlah pinjaman sebesar itu, Ocit seringkali mengalami kendala ketika melakukan pengembalian. Mirip lingkaran setan, ia melakukan peminjaman dari satu aplikasi untuk membayar pinjaman di aplikasinya lainnya.

“Awalnya saya gali lubang tutup lubang. Tapi lama-lama saya enggak bisa bayar lagi pinjaman yang sudah diproses,” katanya.

Ocit tercekik bunga pinjaman yang besar. Karyawan salah satu bank swasta ini menuturkan, bunga yang ditetapkan penyedia jasa fintech ini lebih besar ketimbang bunga bank. Menurutnya, Bank Indonesia saja hanya menetapkan bunga untuk kartu kredit sebesar 2,25%.

“Sementara aplikasi ini bisa lebih tinggi dari itu,” ujar Ocit.

Ia mengatakan, bunga pinjaman masing-masing aplikasi berbeda. Besarnya antara 5% hingga 6%. Ocit mengaku, kerap dikejar-kejar penagih utang, karena pengembalian yang macet untuk beberapa aplikasi. Ia pun mengaku pernah mendapatkan intimidasi dan persekusi. Seluruh kontak yang ada di telepon selulernya, diakses oleh penagih utang.

“Mereka sering nagih ke teman-teman kantor sampai keluarga saya. Tapi, saya cuek saja, sudah kejadian mau diapain lagi,” kata dia.

Ocit pun kerap melawan saat ada intimidasi melalui sambungan telepon. Menurutnya, tindakan mereka sudah sewenang-wenang. “Kalau saya ditagih saya lawan saja. Saya pernah ajak mereka ketemu atau datang ke kantor, tapi sampai sekarang enggak pernah datang tuh,” katanya.

Pihak fintech ini, bagi Ocit, agak rumit. Ia mengatakan, saat orang mengembalikan peminjaman pertamanya, mereka akan memberikan penawaran untuk melakukan peminjaman yang lebih besar.

“Nah, pas mereka kasih pinjaman kedua ini yang nilainya lebih besar, saya enggak bayar lagi,” kata dia.

Ia melanjutkan, saat ini sudah sulit mengajukan pinjaman lagi ke pihak fintech. Ocit menduga, namanya sudah masuk daftar hitam, karena melakukan banyak peminjaman di sejumlah fintech, dan tak mengembalikan pinjaman itu.

 

Jengkel dengan perlakuan pihak fintech, yang menurutnya di luar batas kewajaran, Ocit sengaja melakukan peminjaman untuk tak dikembalikan. Bahkan, ia pernah nekat memalsukan identitasnya.

“Saya pernah bikin KTP baru untuk minjam di aplikasi itu. Tapi cuma di dua aplikasi sih, kan lumayan duitnya,” katanya.

Ocit tak ingat 20 fintech yang ia pakai untuk meminjam uang. Ia hanya menyebut lima nama fintech. Namun, dari lima nama tersebut, hanya tiga yang terdaftar dalam situs resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dua lainnya, tak ada. Di dalam situs resmi OJK sendiri, per 1 Februari 2019, ada 99 perusahaan fintech yang sudah terdaftar.

Sinta—bukan nama sebenarnya—juga menjadi korban nahas fintech. Ia terjebak dalam pusaran utang dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya, hingga terpaksa harus berhenti dari tempatnya bekerja.

Ia dikejar-kejar penagih utang, dengan cara ditelepon, di-chating, didatangi ke rumah dan kantornya. Bahkan, ia sempat diancam akan dipermalukan di depan umum dengan memberi tahu ke tetangga soal utang yang tak bisa ia bayar.

Beberapa pihak fintech pun mengakses kontak personal teman-temannya. Oknum fintech itu ada pula yang membuat grup khusus berisi teman-temannya, dan menyebarkan jumlah utang Sinta.

Mulanya, pada 2018, Sinta tertarik meminjam uang daring, karena terdesak kebutuhan sehari-hari. Gajinya sebagai seorang karyawan di salah satu yayasan swasta di Jakarta tak cukup. Belum lagi, ia harus membayar uang studinya di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Tak tanggung-tanggung, ia mengakses 14 aplikasi fintech. Dari 14 aplikasi itu, total pinjamannya mencapai Rp20 juta. Bunganya pun beragam.

"Bunganya enggak ingat berapa. Tapi rata-rata, misalnya untuk minjam Rp500.000 pengembalian sekitar Rp600.000-Rp700.000. Kalau Rp1 juta, pengembalian bisa sampai Rp1,5 juta," katanya saat dihubungi, Selasa (19/2).

Ada pula fintech yang ia pinjamkan mengenakan bunga hingga 100%. Sistem gali lubang dan tutup lubang, membuat Sinta makin terperosok dalam lilitan utang. Belum lagi, kata dia, ketika melakukan pinjaman di aplikasi lain yang macet, kemudian membuatnya tak bisa melunasi utang pada pinjaman aplikasi sebelumnya. Hal ini membuat tagihan utang bertumpuk.

Tak tahan dirundung teman-teman sekantornya, Sinta memilih berhenti bekerja. Lantas, ia pun melaporkan kasusnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), karena terus menerus mengalami intimidasi.

Kemudian, bersama pihak LBH, Sinta melayangkan surat kepada OJK, termasuk kepada fintech yang ia pinjamkan, untuk meminta keringanan pembayaran tunggakan. Namun, pihak fintech terkesan mengabaikan.

Hingga kini, Sinta masih mengalami intimidasi dan dikejar-kejar penagih utang. Ia pun berusaha mencicil utangnya, yang masih belum lunas di sejumlah aplikasi fintech.

Perlu dicatat, Sinta menyebutkan 9 fintech tempat ia meminjam uang. Dari 9 fintech tersebut, 5 fintech terdaftar di situs OJK. Empat lainnya, tidak ada.

Rentetan korban

Ocit dan Sinta, bukanlah satu-satunya korban terlilit utang pinjaman fintech. Menurut rilis yang dikeluarkan LBH Jakarta, per November 2018, sudah ada 1330 pengaduan pinjaman daring, yang terserak di 25 provinsi.

“Setidaknya, terdapat 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban,” tulis rilis LBH Jakarta, yang dikeluarkan 9 November 2018 itu.

Pelanggaran itu, berupa bunga yang tinggi, mengakses kontak personal di telepon seluler korban, ancaman, fitnah, pelecehan seksual, dan penyebaran foto serta informasi pribadi. Beberapa pelanggaran, menurut pihak LBH Jakarta, diduga karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman daring.

“Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto, KTP, dan foto diri peminjam. Bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online,” tulis rilis LBH Jakarta itu.

Sementara, menurut pihak LBH Jakarta, aplikasi pinjaman daring yang kerap melakukan pelanggaran tersebut, di antaranya bahkan dilakukan aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukkan, terdaftarnya aplikasi itu tak menjamin minimnya pelanggaran yang muncul.

Cara terhindar dari fintech nakal

Di sisi lain, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menyebut, pihaknya tidak akan mengatur fintech seketat perbankan, dengan bunga yang harus sekian persen, minimum, dan sebagainya.

Dia mengatakan, di dalam Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan, semua fintech p2p lending yang terdaftar di OJK, harus menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

"AFPI inilah yang berkoordinasi dengan kami, menyampaikan berbagai kajian. Termasuk kajian bunga 0,8% yang jadi code of conduct (kode etik) dan harus dipatuhi oleh anggota," kata Hendrikus saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (14/2).

Dia melanjutkan, dalam kode etik tersebut, AFPI sudah mengatur tingkat bunga maksimum, batas penagihan yang hanya 90 hari, dan tingkat bunga yang tak boleh lebih dari 100%. Setelah 90 hari peminjam tak bisa membayar, tak boleh ditagih lagi. Jika ditagih, Hendri mengatakan, segera laporkan ke OJK.

"Enak dong? Betul dia enak, tapi datanya itu dipindahkan masuk ke pusat data p2p lending. Dia tercatat sebagai orang yang tercela, pernah meminjam dan tidak membayar. Setelah itu, dia tak bisa lagi meminjam di industri keuangan apapun, kecuali dia lunasin dulu," ujar Hendri.

Hendri menegaskan, fintech p2p lending yang terdaftar sebagai anggota AFPI dan OJK, wajib mengikuti aturan tersebut. Bagi OJK, kata Hendri, yang paling penting adalah perlindungan konsumen.

"Pertama, pastikan uang lender (pemberi pinjaman) tak hilang, kedua pastikan data pribadi tak bocor, dan ketiga pastikan hidupnya si borrower (penerima pinjaman) menjadi tidak lebih susah setelah menggunakan fintech lending," ujar Hendri.

Sementara itu, melihat banyaknya pelanggaran yang dilakukan fintech kepada konsumen, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira Adhinegara mengatakan, pengawasan harus dilakukan oleh pemangku kepentingan dengan melibatkan OJK, Kemenkominfo, dan kepolisian.

Menurut dia, pihak OJK memiliki otoritas yang sangat besar untuk melakukan pendataan seluruh fintech yang beroperasi di Indonesia. OJK dapat melakukan pemblokiran seluruh layanan aplikasi dan situs penyedia layanan, jika tak mematuhi aturan yang ditetapkan OJK.

“Namun, jika fintech ilegal sudah memakan korban, ranah kepolisian untuk melakukan penindakan hukum,” katanya.

Peer to peer lending mirip marketplace. Kelompok fintech ini mempertemukan antara pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman, dalam satu platform.

Di samping itu, Bhima menuturkan, calon pengguna fintech agar berhati-hati dan memastikan hal-hal, seperti fintech-nya terdaftar dan diawasi OJK. Kedua, sebelum mengunduh aplikasi fintech, pastikan mempelajari syarat-syaratnya, termasuk mengenai privasi data.

Ketiga, pelajari soal kontrak pinjaman dan model bisnisnya. Terakhir, kata Bhima, bandingkan tingkat bunga yang diberikan antar-fintech.

“Bunga tinggi bukan berarti untung tinggi, bisa jadi risiko gagal bayarnya juga tinggi. Wajib untuk dilaporkan ke OJK jika ada fintech ilegal. Ada hotline khusus di satgas waspada investasi OJK,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid