sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Diplomasi Indonesia terkait Natuna kurang gereget

Pengamat menilai bahwa terkait sengketa Natuna pemerintah Indonesia masih memberi respons jangka pendek.

Valerie Dante
Valerie Dante Kamis, 09 Jan 2020 19:39 WIB
Diplomasi Indonesia terkait Natuna kurang gereget

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana menyebut bahwa pemerintah Indonesia perlu mempertegas dan mempertimbangkan opsi-opsi diplomatik lain untuk mengatasi persoalan dengan China di perairan Natuna.

Konfrontasi di perairan Natuna dipicu setelah kapal penjaga pantai China yang mengawal kapal-kapal nelayan Tiongkok memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada 19 Desember, 24 Desember, dan 30 Desember. Indonesia pun melayangkan protes dengan memanggil Duta Besar China di Jakarta.

Evan menyatakan, persoalan yang harus diatasi adalah bagaimana cara pemerintah mencegah agar insiden konfrontasi di perairan Natuna terulang kembali.

"Saya melihat, respons pemerintah sekarang tampaknya hanya untuk menyelesaikan krisis yang ada di depan mata, bukan untuk mencegah terulang kembali di masa yang akan datang," jelas dia dalam diskusi "Legal Update" di Cikini, Jakarta, pada Kamis (9/1).

Pemerintah, lanjutnya, perlu mempertegas dan mengutamakan strategi diplomasi agar menjadi alat utama mengatasi konflik di perairan Natuna.

"Diplomasi perlu dipertegas dan dijadikan solusi dari persoalan yang terus berulang ini," jelas dia.

Evan menyebut bahwa respons pemerintah seperti mengajukan nota protes serta meningkatkan patroli dan kehadiran militer sudah pernah dicoba.

Menurutnya, langkah-langkah Indonesia justru akan menimbulkan eskalasi di lapangan yang susah dikendalikan implikasinya.

Sponsored

"Eskalasi di lapangan itu kan tergantung respons masing-masing pihak dan bersifat dinamis. Tapi, kalau eskalasi diplomatik itu dapat dikendalikan dengan lebih baik. Sayangnya, Indonesia justru belum mengeksplorasi opsi-opsi diplomasi tersebut," lanjut dia.

Evan menyarankan sejumlah opsi, salah satunya adalah menarik Duta Besar RI untuk China jika Tiongkok tidak angkat kaki dari ZEE Indonesia.

"Kalau Beijing tidak kasih jaminan bahwa mereka tidak akan mengulangi pelanggaran ini dan tidak juga kunjung keluar dari ZEE Indonesia, mungkin dapat panggil pulang dubes kita selama satu hingga dua minggu," ungkap dia.

Jika Indonesia sudah mengambil langkah tersebut dan China masih tidak memberi komitmen untuk menghormati ZEE Indonesia, maka menurut Evan, Indonesia dapat meninjau ulang kerja sama dengan Tiongkok.

Opsi tersebut, jelasnya, belum pernah dipertimbangkan Indonesia karena kenyataannya pemerintah sendiri kurang paham dan belum pernah mengidentifikasi seberapa jauh tingkat kerapuhan hubungan Indonesia dengan China.

"Kita hanya bisa bicara secara makro, bahwa Indonesia-China punya kepentingan perdagangan dan investasi, tapi kita tidak tahu titik persis di mana kita sangat tergantung dengan mereka," kata Evan.

Evan mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir bila langkah-langkah diplomasi yang lebih tegas dapat merusak hubungan bilateral dengan China. Pasalnya, hubungan ekonomi dan strategis antara Indonesia-China berjalan dua arah.

"Bukan hanya kita yang butuh China, mereka juga butuh kita. Pasar Indonesia itu sangat besar buat mereka," ujar dia.

Evan mengakui opsi-opsi diplomatik yang dia tawarkan tidak bebas risiko. Namun, menurutnya, jika Indonesia tetap mengulangi langkah-langkah yang sama dalam menangani pelanggaran China di perairan Natuna, maka persoalan tidak selesai karena isu tersebut musiman.

Sekitar Mei-Juni setiap tahunnya, Beijing akan mengeluarkan Chinese Fishery Moratorium yang melarang nelayan-nelayan mereka memancing di perairan China demi memperkecil kemungkinan terjadinya overfishing.

"Oleh sebab itu, pasti akan ada nelayan-nelayan China yang berlayar ke perairan Natuna lagi," jelas Evan. "Indonesia perlu mengambil tindakan diplomasi yang bisa mencegah agar kita tidak mengalami krisis yang sama di tempat yang sama lagi."

Selain eskalasi diplomasi bilateral, Evan mengatakan bahwa ada aspek multilateral yang dapat "dimainkan" oleh pemerintah Indonesia.

Menurut Evan, Indonesia perlu meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan Malaysia dan Vietnam, dua negara yang paling sering berselisih dengan China terkait persoalan kedaulatan di laut teritorial.

"Setelah itu, kita bisa meningkatkan koordinasi dengan negara-negara claimant Laut China Selatan tanpa melalui proses ASEAN. Proses ASEAN biasanya lama, bertele-tele, dan rentan veto karena China punya hubungan dekat dengan Kamboja," ungkap dia.

Lebih lanjut, Evan menuturkan, Indonesia tidak perlu buru-buru berpihak pada Amerika Serikat di tengah konflik dengan China.

Justru, tambahnya, Indonesia harus membina koalisi dengan negara-negara middle power yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan yakni Jepang, India, Australia, dan Korea Selatan.

"Indonesia punya hubungan strategis dengan masing-masing negara itu, tapi tidak ada hubungan dengan empat-empatnya sekaligus. Kita bisa bangun koalisi sendiri, bukan untuk meningkatkan ketegangan, tetapi justru memperluas jejaring diplomasi agar saat ada isu bilateral, kita punya teman," tutur Evan.

Merespons pelanggaran China di perairan Natuna, TNI mengerahkan empat jet tempur F-16 dan sejumlah kapal perang untuk patroli di wilayah yang disengketakan.

Evan menilai bahwa pendekatan pertahanan hanya bersifat sementara dan tidak dapat menimbulkan efek jera jangka panjang.

"Kita dapat saja meningkatkan kapabilitas kapal-kapal milik TNI atau Badan Keamanan Laut RI (Bakamla), tapi itu setidaknya membutuhkan waktu empat hingga lima tahun. Sementara itu persoalan China musiman," kata dia.

Dia menegaskan, Indonesia tidak bisa menganggap opsi militer sebagai jalan keluar terbaik dalam menangani persoalan di perairan Natuna.

"Kapal-kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China yang terus kembali ke perairan Natuna merupakan bukti nyata bahwa efek militer saja tidak cukup," jelas Evan. "Solusinya bukan militer, tapi memang harus jalur diplomasi."

Berita Lainnya
×
tekid