sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Standar ganda Uni Eropa sikapi dukungan AS atas pemukiman Yahudi

Uni Eropa disebut terpecah dalam menyikap isu pemukiman Yahudi.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Jumat, 29 Nov 2019 18:53 WIB
Standar ganda Uni Eropa sikapi dukungan AS atas pemukiman Yahudi

Pengumuman Amerika Serikat baru-baru ini bahwa pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki tidak lagi ilegal memicu respons langsung internasional, termasuk dari Uni Eropa (UE).  

Beberapa jam setelah pengumuman AS tersebut, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Federica Mogherini merilis pernyataan yang menegaskan posisi pihaknya jelas dan tidak berubah, yaitu "seluruh aktivitas pemukiman (Israel) ilegal menurut hukum internasional dan ... mengikis kelangsungan hidup solusi dua negara."

Mogherini pun menyerukan Israel agar mengakhiri seluruh aktivitas pemukiman.

Dalam perkembangan terpisah, beberapa hari sebelum pengumuman AS, Mahkamah Masyarakat Eropa (ECJ), telah memutuskan bahwa produk yang berasal dari pemukiman ilegal Israel yang dibangun di atas tanah Palestina yang diduduki harus disertai keterangan demikian sehingga konsumen dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

Menteri Transportasi Israel Bezalel Smotrich memuji pengumuman AS dan menggambarkannya sebagai respons yang layak terhadap ECJ.

"Kami meningkatkan pengakuan internasional atas proyek pemukiman," kata dia.

Kontradiktif

Meski menentang isu pemukiman Yahudi, Uni Eropa memiliki relasi bilateral yang kuat dengan Israel dalam bentuk perjanjian ekonomi, penelitian akademis dan kerja sama keamanan. Belakangan, kerja sama disebut semakin erat, sementara Uni Eropa tetap mengkritik sejumlah kebijakan terkait pemukiman, termasuk ekspansi pemukiman dan pembongkaran rumah-rumah warga Palestina.

Sponsored

"Kecaman Uni Eropa terhadap kebijakan Israel tidak cukup," kata Aneta Jerska, koordinator European Coordination of Committees and Associations for Palestine (ECCP). "Uni Eropa sangat terlibat dalam pelanggaran Israel terhadap hukum internasional dan hak-hak Palestina dengan mendanai entitas Israel yang sama yang dikritiknya."

Jerska mengutip pendanaan Uni Eropa bagi sejumlah universitas Israel, di mana kampus-kampus berlokasi di wilayah-wilayah pendudukan, pendanaan bagi perusahaan air minum Israel Mekorot, dan bahkan pembiayaan bagi program penelitian bagi perusahaan-perusahaan senjata Israel.

Di lain sisi, Uni Eropa juga telah menjadi penyumbang dana cukup besar untuk mendukung dan mempertahankan Otoritas Palestina (PA), yang mengelola sebagian dari Tepi Barat. PA sangat bergantung pada pendanaan eksternal agar tetap bernapas.

Dalam sebuah wawancara dengan Arab News, perwakilan khusus Uni Eropa untuk proses perdamaian Timur Tengah Susanna Terstal mendeskripsikan pihaknya sebagai salah satu donor terbesar bagi Palestina. Menurut dia, selama 15 tahun terakhir, Uni Eropa telah menghabiskan US$11 miliar.

"Kami memanfaatkan uang tersebut untuk membuat solusi dua negara menjadi mungkin," ujar Terstal.

Martin Konecny, direktur European Middle East Project (EuMEP), sebuah think-tank yang berbasis di Brussels, mengatakan bahwa terlepas dari dorongan Uni Eropa bagi solusi dua negara, kebijakan mereka telah mendorong elemen-elemen yang dipandang merupakan hambatan mencapai itu.

"Uni Eropa terus berdagang dengan pemukiman," kata Konecny kepada Al Jazeera.

Dia mencatat bahwa impor Uni Eropa 15 kali lebih banyak berasal dari pemukiman ilegal dibanding wilayah Palestina yang diduduki.

Sementara itu, perpecahan politik di tubuh Uni Eropa dilaporkan terjadi. Blok tersebut disebut berjuang untuk menemukan pandangan bersama soal isu pemukiman.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam beberapa tahun terakhir disebut memperkuat hubungan dengan sejumlah pemerintah Eropa Timur yang ultranasionalis. Itu dinilai sebagai bagian dari upaya untuk lebih lanjut memecah belah blok itu terkait isu Israel.

Hongaria dilaporkan memblokir upaya untuk membuat ke-28 negara anggota Uni Eropa merilis pernyataan bersama yang mengutuk perubahan kebijakan AS soal pemukiman. Ada pun parlemen Belanda meloloskan mosi tidak mengikat yang menentang keputusan ECJ tentang pelabelan produk pemukiman, yang kemudian ditolak pemerintah Belanda.

Kontras dengan itu, Luksemburg justru menyerukan agar Uni Eropa mengakui Palestina atau deklarasi yang dibuat menjelang pertemuan Dewan Keamanan PBB pekan lalu oleh Inggris, Prancis, Jerman, Belgia, dan Polandia bahwa seluruh aktivitas pemukiman ilegal di bawah hukum internasional.

Komitmen seperti yang ditunjukkan oleh Luksemburg menandai adanya peluang bagi Palestina.

"Peran Eropa sangat vital mengingat pemerintahan Trump merobek-robek hukum internasional," ujar Nadia Hijab, ketua dewan think tank Al Shabaka kepada Al Jazeera.

"Fokusnya harus pada negara-negara yang cenderung mendukung, seperti Swedia, Irlandia, Belgia, Spanyol, serta negara-negara yang peka untuk menegakkan hukum, terutama Prancis, yang mengambil sikap pada pelabelan yang mengarah pada putusan ECJ, dan juga Jerman."

Nadia menambahkan, "Kuncinya adalah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan PA harus memiliki sikap bersama. Jika mereka tidak mendorong, seperti yang dilakukan Israel, maka ini akan menjadi kesempatan emas lain yang terbuang sia-sia." (Al Jazeera)

Berita Lainnya
×
tekid