Cara kita tidur ternyata bisa memberi banyak petunjuk tentang kesehatan kita secara keseluruhan. Selama ini, kebanyakan orang hanya menyoroti berapa lama mereka tidur, tetapi penelitian yang diterbitkan di jurnal Health Data Science pada Juni 2025 menunjukkan, waktu dan konsistensi tidur juga sama pentingnya.
Para peneliti dari China menemukan, orang dengan pola tidur paling tidak teratur berisiko 2,8 kali lebih tinggi terkena penyakit parkinson dan 1,6 kali lebih tinggi mengalami diabetes tipe 2 dibandingkan mereka yang punya jadwal tidur dan bangun yang konsisten.
Temuan ini didasarkan pada data tidur lebih dari 88.000 peserta dalam proyek UK Biobank. Meski hasilnya baru menunjukkan hubungan, bukan sebab-akibat, penelitian ini dapat membuka arah baru bagi studi klinis di masa depan.
Secara keseluruhan, para ilmuwan dari Peking University dan Armi Medical University di China meneliti enam aspek tidur: durasi, waktu mulai tidur, ritme, rentang tidur, efisiensi tidur, serta frekuensi terbangun di malam hari.
Selama masa tindak lanjut rata-rata 6,8 tahun, para peneliti menemukan 172 penyakit yang berkaitan dengan berbagai karakteristik tidur, banyak di antaranya hanya terkait dengan satu aspek tertentu.
Untuk memperkuat hasil penelitian, temuan tersebut diuji ulang menggunakan basis data besar lainnya, yaitu National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), dan hasilnya tetap konsisten.
Dalam kedua analisis, durasi tidur yang diukur dengan sensor menunjukkan hubungan yang relatif lemah dengan risiko penyakit. Padahal, dalam survei, banyak peserta justru lebih khawatir tentang berapa lama mereka tidur dibandingkan bagaimana pola tidur mereka.
Sebaliknya, ritme tidur memiliki hubungan tiga kali lebih banyak dengan penyakit dibandingkan durasi maupun waktu mulai tidur. Bahkan, ritme tidur berkaitan dengan hampir setengah dari 172 penyakit yang diteliti.
Istilah ritme tidur merujuk pada pola siklus tidur dan bangun seseorang setiap hari. Ritme yang lebih teratur tampaknya berhubungan dengan kondisi kesehatan yang lebih baik.
Ahli epidemiologi dari Peking University sekaligus penulis senior studi, Shengfeng Wang menekankan, sudah saatnya kita memperluas definisi “tidur yang baik”. Tidak hanya berdasarkan lamanya tidur.
“Selama ini, penelitian lebih banyak berfokus pada durasi tidur daripada karakteristik lainnya,” tulis para peneliti, dikutip dari Science Alert.
Dalam studi ini, ritme tidur yang paling tidak teratur dibandingkan dengan yang paling konsisten, dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai penyakit, termasuk diabetes tipe 2, hipertensi, penyakit paru obstruktif kronis, gagal ginjal akut, dan depresi.
Hubungan terkuat ditemukan dengan penyakit parkinson, yang sebelumnya juga diketahui memiliki kaitan dengan gangguan tidur. Waktu mulai tidur dan kualitas tidur pun turut berhubungan dengan beberapa penyakit.
Sebagai contoh, mereka yang tidur setelah pukul 00.30 memiliki risiko 2,6 kali lebih tinggi terkena sirosis hati diabndingkan orang yang tidur sebelum pukul 23.30. Selain itu, mereka dengan efisiensi tidur paling rendah menunjukkan peningkatan hampir 1,8 kali lipat dalam risiko gagal napas dibandingkan mereka yang tidurnya paling efisien.
Data penelitian ini berasal dari kombinasi antara pemantauan tidur melalui perangkat yang dapat dikenakan dan laporan subjektif peserta—sebuah pendekatan yang terbukti penting. Menariknya, hampir seperempat dari mereka yang mengaku tidur panjang ternyata hanya tidur kurang dari enam jam per malam.Temuan ini menunjukkan, survei saja seperti yang digunakan pada banyak studi sebelumnya, mungkin tidak cukup akurat.
“Misalnya, beberapa orang yang sulit tidur atau sering terbangun mungkin menghabiskan waktu lama di tempat tidur, tetapi sebenarnya hanya tidur sebentar,” tulis para peneliti.
“Seperti terlihat dari analisis kami, kesalahan dalam memperkirakan durasi tidur ini dapat menimbulkan bias yang signifikan dalam memperkirakan risiko sejumlah penyakit, termasuk strok, penyakit jantung iskemik, penyakit kardiovaskular, serta episode dan gangguan depresi berulang.”