Kemampuan kita berkomunikasi dengan anjing adalah fondasi dari ikatan yang terbangun dengan hewan kesayangan itu. Dalam bentuk paling sederhana, manusia perlu bisa memberi sinyal larangan atau dorongan untuk melakukan sesuai kepada para anjing.
Itu seharusnya bisa dilakukan tanpa harus mengandalkan perintah yang dilatih secara khusus.
Sejak 1970-an, peneliti Eugene Morton dari Smithsonian Institution menemukan dimensi suara universal yang digunakan hampir semua mamalia dan burung. Pola vokal itu memberi pesan emosional: apakah seekor hewan ingin orang lain menjauh, atau justru mengizinkan mereka mendekat.
Penemuan itu membuka jalan bagi riset panjang tentang bunyi-bunyi yang dilontarkan hewan dan cara makhluk lain--termasuk manusia--menafsirkannya. Beragam studi menunjukkan ada sejumlah komponen dasar dari suara hewan.
Pitch misalnya: nada rendah seperti geraman anjing biasanya menandakan ancaman, amarah, atau potensi agresi. Sebaliknya, nada tinggi memberi pesan sebaliknya—aman untuk didekati.
Durasi juga penting. Semakin panjang suara, semakin besar kemungkinan itu sinyal yang disengaja. Geraman panjang jelas lebih mengancam ketimbang yang singkat. Frekuensi, atau seberapa sering suara diulang, menandakan tingkat kegembiraan maupun urgensi.
Belakangan, peneliti menyoroti timbre—kompleksitas suara. Suara dengan kualitas melodi, harmonis, dan lembut cenderung mengundang; sementara suara kasar dan serak terasa lebih mengancam.
Pengetahuan umum mengenai komponen suara hewan itu dicoba diaplikasikan oleh tim Anna Gábor di Universitas Eötvös Loránd, Hungaria, kepada anjing peliharaan. Mereka ingin tahu: apakah anjing secara alami bisa menafsirkan suara manusia sebagai sinyal “ya” atau “tidak”?
Riset bertajuk "Cross-species acoustic codes for yes and no in human nonverbal vocalizations" sudah diterbitkan di Jurnal Science Direct, belum lama ini. Selain Gabor, peneliti dalam riset itu ialah Bensaali-Nemes, T Faragó, K Surányi, dan A. Andics.
"Kode akustik lintas-spesies yang dapat dipahami dalam vokalisasi mamalia sejauh ini baru terbukti dalam konteks pemicu keadaan batin yang bersifat self-referential (mengacu pada kondisi diri sendiri). Untuk menguji apakah kode semacam itu berlaku lebih luas, kami mencoba melihat apakah manusia bisa secara sengaja memodulasi suaranya guna memberi sinyal nonverbal kepada anjing mereka," kata Gabor.
Riset ini dirancang seperti permainan anak-anak hot or cold. Pemilik anjing duduk bersembunyi di balik layar, hanya kepala yang terlihat, sehingga tak ada isyarat tubuh yang bisa ditangkap anjing. Pemilik hanya boleh mengucapkan bunyi sederhana mirip suku kata “by” dengan variasi intonasi, panjang, volume, nada, atau pengulangan.
Tugasnya: memandu anjing menuju dirinya, atau ke lokasi lain yang diberi penanda kipas angin dengan pita serta hadiah camilan. Analisis rekaman suara memperlihatkan anjing bisa membedakan sinyal “ya” (lanjutkan) dan “tidak” (berhenti). Menariknya, anjing lebih mudah memahami perintah berbasis “ya/tidak” ketimbang “sini/sana”.
Seperti apa bunyi yang ditangkap anjing sebagai “tidak atau hentikan”? Suara rendah, keras, lebih panjang, dan cenderung kasar ternyata dimaknai larangan oleh para anjing. Adapun bunyi “ya, teruskan” biasanya bernada tinggi, singkat, berulang, lebih lembut, dan melodius.
Yang unik, para pemilik anjing dalam eksperimen ini tidak dilatih untuk menghasilkan pola suara tertentu. Mereka secara naluriah menemukan nada yang tepat, baik lewat pengalaman bersama anjing mereka maupun kebiasaan berbicara dengan sesama manusia.
"Kami menyajikan bukti baru bahwa manusia dapat memberikan instruksi vokal kepada individu lintas spesies untuk menampilkan perilaku tertentu—bukan hanya melalui elemen verbal, tetapi juga lewat kode akustik. Dengan bertumpu pada “bahasa universal” akustik purba, vokalisasi nonverbal memiliki potensi untuk menyampaikan makna spesifik, termasuk instruksi dasar maupun penunjukan lokasi," jelas Gabor.
Mengomentari riset Gabor cs, pemandu acara "Good Dog!" di sebuah stasiun televisi di Kanada, Stanley Coren membenarkan bahwa anjing bisa mengenali jenis suara. Secara khusus, ia selalu mengubah caranya bicara ketika berhadapan dengan anjing.
"Banyak penonton bertanya mengapa suara saya naik satu oktaf dan berubah menjadi bernada nyanyian ketika berbicara dengan anjing. Jawabannya sederhana: anjing lebih memperhatikan nada itu, seolah tahu kapan mereka melakukan hal yang benar," kata Coren seperti dikutip dari Psychology Today.
Riset Gábor, jelas Coren, menegaskan bahwa pola suara yang dimaknai sebagai dorongan atau larangan mungkin sudah tertanam secara genetik pada mamalia, bahkan burung.
"Bisa dibilang, manusia dan anjing sejak awal tidak otomatis paham konsep benar atau salah, tetapi keduanya dilahirkan dengan intuisi universal: mengerti perbedaan antara ya dan tidak,” ujarnya.