close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak anjing. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi anak anjing. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 03 Oktober 2025 15:00

Bawa pulang anak anjing? Jangan kaget kalau hidupmu jadi "berantakan"

Punya anak anjing ternyata tak selalu penuh pelukan manis. Studi baru ungkap banyak pemilik justru kelimpungan dan stres.
swipe

Membawa pulang anak anjing baru mungkin terdengar seperti resep untuk hidup penuh keceriaan. Namun, sebuah studi terbaru yang terbit di jurnal PLOS ONE mengingatkan bahwa memelihara anak anjing juga penuh tantangan: mulai dari gigitan-gigitan kecil, furnitur rusak, hingga jam tidur yang berantakan. 

Dalam studi berbasis survei itu, peneliti mengumpulkan testimoni ratusan orang di Inggris yang mengadopsi anak anjing selama pandemi COVID-19. Bagi sebagian pemilik baru, si bola bulu itu justru membawa stres lebih besar dari yang dibayangkan.

“Kami menemukan lonjakan besar pemilik pertama kali. Banyak yang mencari anak anjing sebagai penopang kesehatan mental, terutama untuk keluarga mereka,” jelas Rowena Packer, dosen senior perilaku dan kesejahteraan hewan di Royal Veterinary College, Inggris, yang memimpin riset tersebut, seperti dikutip dari National Geographic, Jumat (3/10). 

Survei tim peneliti yang dipimpin Packer menemukan banyak pengasuh membiarkan anak-anak berinteraksi dengan cara yang berisiko, seperti memeluk erat, mengganggu saat makan, atau menarik telinga dan ekor mereka. 

Selama pandemi, interaksi negatif ini lebih sering terjadi karena anak-anak lebih banyak di rumah—sering bosan, stres, atau kesepian—dan tanpa sadar melewati batas si anak anjing.

“Kami tahu di seluruh dunia, saat pandemi sempat ada lonjakan kasus anak-anak masuk rumah sakit karena gigitan anjing,” ujar Packer. “Kami tidak ingin anak takut pada anjing, tapi mereka harus diajarkan cara berinteraksi yang aman—baik bagi mereka maupun bagi anjingnya.”

Packer menemukan mayoritas pemilik tetap mencintai anjing pandemi mereka, dan hanya 6 persen yang berpikir untuk menyerahkan kembali. Tetapi, 37 persen keluarga kesulitan beradaptasi, dan 30 persen merasa ada dua atau lebih aspek kepemilikan yang lebih sulit dari ekspektasi.

“Kami hanya ingin menekankan bahwa orang perlu membuka mata sejak awal. Persiapan memang merepotkan, tapi bisa mencegah patah hati di masa depan,” kata Packer.

Meski banyak responden merasa anjing membuat mereka bahagia, sepertiga pengasuh utama justru mengaku kewalahan dengan beban perawatan. Mulai dari jadwal ke dokter hewan, membeli makanan, hingga rutin berjalan bersama anjing—semua butuh waktu. 

Clive Wynne, pendiri Canine Science Collaboratory di Arizona State University menegaskan siapa pun calon pemilik anjing harus realistis. Sebelum mengadopsi anjing, keluarga sebaiknya bicarakan soal pembagian tanggung jawab. 

“Anjing bukan perangkat telpon pintar yang bisa dicabut colokannya lalu ditinggal pergi,” ujarnya. “Tidak adil meninggalkan anjing sendirian berjam-jam.”

Anak anjing. /Foto Unsplash

Karakter berbeda 

Lebih jauh, pola asuh buruk di awal—seperti penelantaran atau trauma—bisa berdampak seumur hidup. Studi jangka panjang pada 4.500 anjing selama hampir 20 tahun menunjukkan: anak anjing yang mengalami kesulitan dalam enam bulan pertama lebih rentan jadi penakut atau agresif saat dewasa.

Meski anak anjing “sangat menggemaskan,” Wynne mengingatkan mereka juga “bisa sangat merepotkan.” Ia menyarankan calon pemilik mempertimbangkan mengadopsi anjing dewasa dari penampungan. Apalagi, anak anjing hadir dalam berbagai ukuran, bentuk, dan warna. 

Setiap ras, menurut Wynne, punya kebutuhan umum soal olahraga, stimulasi sosial, dan pola makan. Tapi tetap saja, setiap anjing adalah individu dengan kepribadian berbeda.

“Kamu harus menerima tiap anjing sebagai individu,” ujar Wynne. Bahkan anjing yang kloningan sekalipun bisa punya karakter berbeda. Dalam bukunya Dog is Love (2019), Wynne menulis tentang seorang pria yang begitu mencintai anjingnya sampai rela mengkloning dua ekor.

“Ketiganya identik secara genetik, tapi perilakunya berbeda,” kata Wynne. “Satu sangat ekstrovert, satunya introvert. Perbedaan kecil dalam pengalaman hidup sejak dalam kandungan bisa menumpuk dan membentuk kepribadian yang unik.”

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan