sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Antara “The Internationale” dan Genjer-genjer

Peringatan Hari Buruh tanggal 1 Mei membutuhkan sebuah lagu pembakar semangat. Coba simak alternatif kedua lagu berikut.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Sabtu, 28 Apr 2018 17:11 WIB
Antara “The Internationale” dan Genjer-genjer

Apa yang melengkapkan revolusi? Sebuah lagu pembakar semangat. “The Internationale” dikumandangkan orang-orang di persimpangan kiri jalan. Lagu yang diciptakan Eugene Pottier pada Juni 1871 itu bahkan tak pernah absen menyesaki hari-hari para kelas pekerja Eropa kala itu. Termasuk dinyanyikan di Kongres Partai Komunis Tiongkok dan beberapa acara budaya seperti “Belok Kiri Fest”, yang sempat dicekal pada 2016 lalu.

Selebrasi hari buruh yang jatuh pada 1 Mei mendatang juga butuh lagu penggenap. “The Internationale” bisa dijadikan pilihan. Sebab lagu berbahasa Perancis yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia oleh Ki Hajar Dewantara ini, mengusung semangat yang relevan dengan perjuangan buruh.

Lagu ini menyerap semangat Marx dan Engels yang melawan penindasan kapital. Dalam salah satu penggalan liriknya tertulis, “Stand up, all victims of oppression. For the tyrants fear your might. Don't cling so hard to your possessions. For you have nothing, if you have no rights. Let racist ignorance be ended. For respect makes the empires fall. Freedom is merely privilege extended. Unless enjoyed by one and all.”

Dari penggalan tersebut tersimpan pesan bagi seluruh korban opresi, termasuk opresi sistem yang melahirkan kelas pekerja, untuk berdiri dan bersatu melawan tanpa ketakutan. Sejarah penciptaan lagu ini sendiri memang tak bisa dilepaskan dari momentum pendirian Asosiasi Buruh Internasional (International Workingmen’s Association, IWA).

Organisasi ini dilansir dari MilitanIndonesia, mendapuk Karl Marx sebagai pemimpin yang mengorganisir kerja-kerja buruh. “Marx dan Engels memahami pentingnya bekerja di dalam sebuah arena yang luas dengan akar-akar massa di dalam kelas pekerja. Dalam artian ini, partisipasi serikat-serikat buruh Inggris, secara khusus menjadi penting,” tulisnya.

Untuk pertama kalinya IWA melengkapi serikat buruh dengan kerangka kerja umum yang di dalamnya memperdebatkan ide-ide revolusioner untuk nasib mereka. Meski sempat dihadang kesulitan karena pengaruh ide liberal dan demokratik borjuis masih sangat dominan. Namun dengan kerja keras keduanya, Internasionale berhasil membangun akar-akar yang dalam untuk perjuangan kelas buruh di negeri-negeri utama Eropa dan Amerika.

IWA adalah kampiun, sementara “The Internationale” adalah salah satu obat perangsang semangat buruh kala itu. Lagu ini menyerukan pesan pada buruh dan petani sedunia untuk bersatu, seperti tampak pada lirik, “and Internationale, unite the world with song.”

Lagu ini menurut Francesco Hugo dari Indoprogress, menjadi penyatu bagi buruh-buruh yang tengah berjuang. Senada dengan ajaran Marxisme yang mengatasnamakan kelas pekerja sedunia melawan penindasan. Sebuah lagu menurut analisisnya bisa menjadi penyatu, sama seperti banyak lagu di dunia yang kemudian membuat warga di belahan dunia bisa saling terhubung.

Sponsored

Nah, alternatif kedua yang bisa digunakan sebagai penyemangat saat hari buruh nanti adalah lagu “Genjer-genjer” buatan Muhammad Arief, seniman asli Banyuwangi. Lagu ini sebetulnya tak langsung menyebut soal perjuangan buruh. Namun hanya bercerita soal para ibu yang memanen sayur genjer di petak sawah, lalu dibawa ke pasar untuk dijual. Itu tampak dari lirik berikut:

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler Genjer-genjer nong kedokan pating keleler Emake thulik teka-teka mbubuti genjer Emake thulik teka-teka mbubuti genjer Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih Genjer-genjer saiki wis digawa mulih.”

Lagu ini sendiri menjadi terkenal di medio 1960-an karena dianggap tepat memotret nasib petani saat itu, laiknya era penjajahan Jepang. Saat itu harga pangan meroket, ekonomi tak stabil, warga lapar, penindasan buruh, dan penghilangan orang adalah pemandangan biasa. Peneliti sejarah Fandy Hutari menyebut neneknya melihat ibu-ibu membawa sayur genjer—yang kala itu dipandang sebagai makanan orang ketika sengsara—untuk dijual ke pasar.

Lagu ini merupakan adaptasi bebas dari lagu rakyat bertajuk “Tolong Alak Getak”, yang begitu popular hingga Bing Slamet dan Lilis Suryani menyanyikan ulang lagu itu. Lagu tersebut juga digemari oleh mereka yang aktif di LEKRA, organisasi sayap kesenian PKI. Pegiat PKI Njoto bahkan menganggap lagu "genjer-genjer" memiliki lirik yang sangat menyentuh dan pesan yang kuat.

Saat peristiwa penculikan sejumlah Jenderal terjadi pada 30 September 1965, Orde Baru melarang keras lagu ini dinyanyikan. Soeharto bahkan menciptakan rumor, lagu ini menjadi pengiring penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Propaganda Soeharto yang dilegitimasi lewat film wajib yang ditonton siswa selama puluhan tahun itu rupanya melekat di benak sebagian orang. Bahkan menimbulkan trauma hingga saat ini.

Orang yang menyanyikan lagu “Genjer-genjer” dianggap sebagai orang Komunis atau PKI. Sementara PKI saat ini masih dikekalkan sebagai hantu yang bisa mengancam stabilitas negara. Padahal semangat lagu ini sekali lagi bukan untuk menggoyang suatu rezim. Namun bentuk penghayatan atas nasib para petani yang menderita, hingga harus menjual sayur genjer di pasar, demi menyambung hidup.

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler. Genjer-genjer nong kedokan pating keleler.”

Berita Lainnya
×
tekid