Excessive daytime sleepiness (EDS) atau rasa kantuk berlebihan di siang hari tak hanya memengaruhi produktivitas, tetapi juga diketahui dapat meningkatkan risiko diabetes, obesitas, bahkan penyakit jantung. Selama ini, kondisi tersebut sering dipandang sebagai masalah psikologis atau dianggap sebagai gejala dari gangguan tidur lainnya.
Namun, kini para peneliti dari Brigham and Women’s Hospital dan beberapa institusi lainnya, menemukan jawabannya. Penelitian mereka dipublikasikan di jurnal Lancet eBioMedicine baru-baru ini. Para peneliti menemukan, rasa kantuk berlebihan di siang hari dipengaruhi oleh proses internal tubuh seperti kadar hormon dan faktor eksternal seperti pola makan.
"Studi kami menunjukkan bahwa pola makan dan genetika mungkin memiliki pengaruh besar terhadap EDS," kata pakar gangguan tidur di Brigham and Women’s Hospital, Tariq Faquih, dikutip dari Science Daily.
"Dengan memahami apa yang terjadi secara biologis, kita bisa mengetahui alasan di balik terjadinya EDS, mengenali tanda-tanda awalnya, dan menentukan langkah yang tepat untuk membantu pasien."
Para peneliti menganalisis 877 jenis metabolit—molekul alami dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pola makan dan hormon. Mereka menggunakan sampel darah dari 6.000 partisipan yang tergabung dalam Hispanic Community Health Study/Study of Latinos (HCHS/SOL)—sebuah studi jangka panjang yang disponsori National Institutes of Health sejak 2006.
Selain itu, mereka juga memanfaatkan data dari kuesioner yang menilai seberapa sering seseorang tertidur di siang hari dalam berbagai situasi. Untuk memperkuat hasil penelitian, temuan ini kemudian divalidasi lewat Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis (MESA) serta beberapa studi di Inggris dan Finlandia.
Hasilnya, para peneliti mengidentifikasi tujuh metabolit utama yang berhubungan dengan rasa kantuk berlebihan di siang hari. Di samping itu, mereka juga menemukan tiga metabolit tambahan yang efeknya berbeda, tergantung pada jenis kelamin.
Studi ini mengungkap, asam lemak omega-3 dan omega-6, yang banyak terdapat dalam makanan khas pola makan Mediterania, berkaitan dengan risiko EDS yang lebih rendah. Sebaliknya, tiramin—senyawa yang ditemukan dalam makanan fermentasi atau makanan yang terlalu matang—justru dikaitkan dengan peningkatan rasa kantuk, terutama pada pria.
Menurut Daily Mail, selain memicu kantuk di siang hari, tiramin juga berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk di malam hari, termasuk kesulitan tidur dan tidur yang tidak nyenyak, yang pada akhirnya memperburuk rasa kantuk di siang hari.
Selain itu, metabolit steroid seks seperti progesteron juga ditemukan memiliki kaitan dengan proses biologis yang memengaruhi tidur—termasuk produksi melatonin—hormon yang mengatur siklus tidur.
Para peneliti menyebutkan, temuan ini berpotensi membuka jalan bagi pengobatan baru untuk rasa kantuk berlebihan di siang hari. Mereka menilai, perubahan pola makan maupun terapi medis dapat menjadi langkah penting untuk meningkatkan penanganan kondisi ini.
Namun, mereka juga menekankan adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Salah satunya adalah tantangan dalam menginterpretasikan kadar metabolit secara akurat. Selain itu, penelitian ini mengandalkan kuesioner tidur, bukan pengujian langsung di laboratorium tidur, sehingga data yang diperoleh mungkin kurang mendalam.
“Langkah selanjutnya yang penting adalah melakukan uji klinis,” kata Faquih, dikutip dari Daily Mail.
“Dengan begitu, kita bisa mengetahui apakah omega-3 dan omega-6 yang diperoleh dari makanan benar-benar dapat menurunkan risiko EDS.”