close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi unjuk rasa./Foto TyliJura/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi unjuk rasa./Foto TyliJura/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 09 Oktober 2025 18:00

Apa yang mendorong gerakan protes gen Z global?

Gerakan-gerakan di berbagai negara itu memiliki beberapa kemiripan.
swipe

Akhir September lalu, Presiden Madagaskar Andry Rajoelina mengumumkan pembubaran pemerintahannya usai generasi Z menggelar demonstrasi besar-besaran di negara itu. Pemicu unjuk rasa besar-besaran itu terkait krisis air dan listrik. Peristiwa tersebut, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 100 orang lainnya.

Protes itu pecah tak lama setelah huru-hara besar di Nepal. Awal September, protes besar yang dipimpin anak muda menentang korupsi dan pelarangan media sosial berhasil menggulingkan pemerintah Nepal.

Time menulis, aksi protes generasi Z beberapa bulan terakhir melanda berbagai negara di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Gerakan ini dipicu beragam keluhan terhadap para pemimpin pemerintah.

Di Maroko, menurut Time, protes antipemerintah meletus karena kemarahan publik terhadap keputusan pemerintah yang lebih fokus menyiapkan Piala Dunia 2030 ketimbang memperbaiki layanan publik. Aksi ini berlangsung sejak akhir September hingga awal Oktober.

Gerakan protes di Maroko dipelopori kelompok yang menamakan diri Gen Z 212—mengacu kode telepon negara itu. Salah satu seruan yang populer dari para pengunjuk rasa adalah, “Stadion ada di sini, tapi di mana rumah sakit?”

Di Peru, bentrokan antara demonstran dan polisi pecah di Kota Lima akhir September lalu, ketika anak muda bergabung dengan pengemudi bus dan taksi untuk memprotes memburuknya kondisi ekonomi dan keamanan.

Menurut Time, aksi protes dimulai pada 20 September, setelah pemerintah mengesahkan undang-undang yang mewajibkan anak muda membayar iuran dana pensiun swasta. Di sisi lain, para sopir menuduh pemerintah gagal melindungi mereka dari pemerasan geng.

Di Filipina, pada akhir September lebih dari 200 orang ditangkap usai puluhan ribu warga turun ke jalan memprotes dugaan korupsi dalam proyek bantuan banjir bernilai miliaran dolar. Meski tuntutan dan dampaknya berbeda-beda, protes serupa yang dipimpin anak muda juga muncul di Indonesia, Serbia, Kenya, dan Paraguay.

“Saya rasa ini menandai munculnya kembali budaya protes. Dan kali ini bersifat global,” kata Ketua O’Donovan untuk bidang komunikasi di University of Waterloo yang juga meneliti media sosial dan budaya digital, Shana MacDonald kepada CBC News.

Munculnya gerakan protes generasi Z di berbagai negara, seakan meruntuhkan stereotip yang melekat pada anak muda kelahiran 1997-2012 itu, yang kerap dicap apatis dan tidak peduli pada politik.

“Gerakan ini belum pernah terjadi sebelumnya, terutama karena sifatnya yang sangat horizontal, spontan, dan terdesentralisasi,” kata profesor ilmu politik di Universite Catholique de Madagascar sekaligus Wakil Ketua Transparency International, Ketakandriana Rafitoson, dikutip dari France24.

“Berbeda dengan mobilisasi sebelumnya yang biasanya dipimpin oleh partai politik, serikat pekerja, atau tokoh karismatik, gerakan ini muncul dari kemarahan kolektif yang tumbuh secara organik, terutama di ruang digital, tanpa satu pemimpin tunggal.”

Kekuatan media sosial

Asisten profesor komunikasi di Brock University, Michelle Chen mengatakan, benang merah dari semua gerakan ini adalah kekecewaan terhadap tata kelola yang buruk, kurangnya kesempatan, dan ketimpangan sosial yang parah.

“Di banyak tempat di dunia, Gen Z adalah kelompok yang sedang mengalami tekanan berat,” ujar Chen kepada CBC News.

Generasi Z tumbuh dalam masa yang penuh ketidakstabilan politik, polarisasi sosial, kesenjangan ekonomi yang melebar, dan pasar kerja yang rapuh.

Di sisi lain, generasi Z adalah generasi pertama yang benar-benar tumbuh di era internet. Mereka sangat akrab dengan dunia digital, dan berhasil menggerakkan massa di berbagai negara lewat tagar, gambar hasil olahan AI, dan video pendek bernuansa sarkas. Gelombang protes ini digerakkan generasi muda melek teknologi yang muak terhadap ketimpangan, terlihat sebagai bagian dari fenomena global.

Semisal, dikutip dari France24, di Maroko gerakan protes dimulai dari ribuan anak muda yang aktif di platform pesan Discord. Menurut Chen, gerakan-gerakan ini bisa menyebar dengan begitu cepat ke negara lain menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam memobilisasi massa.

“Media sosial punya kemampuan untuk menyatukan dan menghubungkan beragam suara serta pengalaman, dan hal itu sangat penting dalam membangun sebuah gerakan,” ujarnya kepada CBC News.

Media sosial juga memungkinkan anak muda melihat pengalaman mereka terhadap ketidakadilan sebagai bagian dari pengalaman kolektif. Di Madagaskar, menurut France24, para aktivis muda juga mengaku terinspirasi oleh gelombang protes di Asia, terutama Nepal.

“Ada keterhubunan antar-generasi Z di negara-negara selatan dunia,” ujar sosiolog di Sciences Po Rabat-UIR, Mehdi Alioua, dikutip dari France24.

“Orang tua mereka dulu memimpin revolusi dekolonisasi, tapi kini muncul kesenjangan generasi karena kaum muda merasa janji-janji kemerdekaan, yakni membangun negara yang adil, belum pernah terpenuhi.”

Menurut Ketakandriana Rafitoson, kesamaan di antara gerakan-gerakan ini sangat mencolok, mulai dari tuntutan yang senada hingga metode aksi yang mirip, seperti kampanye viral, slogan sederhana dan inklusif, serta penolakan terhadap hierarki tradisional.

“Di semua negara itu, kaum muda menjadi barometer dari krisis yang tengah dialami masyarakatnya,” ujar Rafitoson dalam France24.

Menariknya, simbol perlawanannya pun menunjukkan keterhubungan global, yakni bendera bajak laut dari serial manga Jepang One Piece.

“Generasi Z mungkin belum memiliki agenda politik formal. Namun, mereka telah mengubah arah perdebatan, dari sekadar bertahan hidup dalam sistem yang gagal menjadi keinginan untuk mengubahnya secara mendasar,” tutur Rafitoson.

“Ini bukan pemberontakan sesaat, melainkan perubahan generasi yang mendalam yang sedang berlangsung. Mungkin kita memang sedang menyaksikan titik balik sejarah yang sedang terjadi di seluruh dunia.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan