close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Salah satu momen aksi unjuk rasa di Nepal, September 2025. /Foto Instagram @onepieceuniversity
icon caption
Salah satu momen aksi unjuk rasa di Nepal, September 2025. /Foto Instagram @onepieceuniversity
Peristiwa
Kamis, 25 September 2025 15:05

Bagaimana Jolly Roger jadi simbol protes gen Z di seluruh dunia

Bendera Jolly Roger “One Piece” menjadi simbol perlawanan baru di Asia. Dari Jakarta hingga Kathmandu dan Manila, generasi muda mengibarkan bendera bajak laut ini bukan sekadar gaya, melainkan transformasi ikon budaya populer menjadi lambang perlawanan, solidaritas, dan harapan untuk perubahan politik.
swipe

Sebuah spanduk yang aneh dan mencolok muncul di tengah aksi protes di Paris, Prancis; Roma, Italia, hingga Jakarta, Indonesia. Dengan pipi cekung, senyum lebar, dan topi jerami berhias pita merah, sosok ini langsung dikenali. Ia diangkat tinggi-tinggi oleh para demonstran muda yang menyerukan perubahan.

Di Kathmandu, Nepal, tempat kemarahan terhadap pemerintah memuncak pada September 2025, bendera ini menjadi citra paling menonjol ketika api berkobar di gerbang Singha Durbar—kompleks istana nan megah sekaligus pusat kekuasaan Nepal.

Gambar ini, biasanya menghiasi bendera berlatar belakang hitam, berasal dari “One Piece”, manga Jepang yang sangat digemari. Dalam anime yang dirilis perdana pada 1997 itu, bendera ini dibawa kru Bajak Laut Topi Jerami yang menentang penguasa korup dan represif—makna yang kini melintasi batas negara.

Terbaru, bendera Jolly Roger juga menyeruak di tengah lautan massa yang memenuhi Taman Luneta Manila, Filipina, Ahad (21/9). Unjuk rasa--mayoritas digawangi anak-anak muda--itu digelar untuk memprotes dugaan penggelapan dana proyek penanggulangan banjir oleh pejabat pemerintah setempat. 

"Meski kita punya bahasa dan budaya yang berbeda, kita berbicara bahasa penindasan yang sama,” kata Eugero Vincent Liberato (23), lulusan baru yang ikut mengorganisir protes di Manila, ibu kota Filipina, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (25/9). 

“Kami melihat bendera ini sebagai simbol pembebasan dari penindasan … bahwa kita harus selalu memperjuangkan masa depan yang pantas kita dapatkan.”

One Piece, karya Eiichiro Oda, memegang rekor dunia sebagai seri komik dengan cetakan terbanyak oleh satu penulis, yakni 500 juta eksemplar di seluruh dunia. Serial ini telah diadaptasi menjadi tayangan live-action di Netflix, film animasi, dan permainan kartu.

Bendera One Piece dipakai luas oleh demonstran di Indonesia menjelang peringatan HUT RI pada 17 Agustus lalu dan memicu kegusaran pejabat. Seorang anggota DPR menyebutnya upaya memecah persatuan nasional. Bahkan, ada yang menyebut pengibaran bendera itu bisa dianggap pengkhianatan.

Di Filipina, anak muda pun menggabungkan budaya pop dengan humor tajam. Situs berita Rappler mencatat “humor sarkastik” para demonstran muda di tengah aksi, misalnya, lewat poster bertuliskan: “Kami bukan ikan, tapi kenapa kami hidup di air?”, merujuk pada skandal dana banjir.

Meski tuntutan spesifik di tiap negara berbeda, pesan yang mendasarinya senada dan simbol seperti One Piece melintasi batas negara. “Anak muda sangat kreatif dalam mengorganisir dan punya begitu banyak ide segar,” kata Ruben Gabas (20), seorang aktivis muda di Manila.

Khusus di Asia Tenggara, Jolly Roger bukan satu-satunya simbol protes yang dipakai gen Z. Di Thailand dan Myanmar, misalnya, salam tiga jari ala Hunger Games dipakai dalam sejumlah aksi protes untuk menentang militer dan memperjuangkan demokrasi di kedua negara tersebut selama beberapa tahun terakhir. 

Pada 2020, pengunjuk rasa Thailand bahkan menggunakan referensi Harry Potter dalam aksi melawan monarki yang dilindungi undang-undang lese majeste yang ketat. Ketika itu, sejumlah pengunjuk rasa mengenakan kostum ala murid Hogwarts, lengkap dengan syal dan dasi bertema Gryffindor serta Slytherin. Semuanya memakai masker wajah.

Mereka membawa poster bertuliskan “penyihir trans adalah penyihir” serta serta menyatakan bahwa mereka sedang “melancarkan mantra Patronus untuk melindungi demokrasi.” Ada juga demonstran juga mendandani sebuah boneka jerami menyerupai Voldemort, penyihir jahat paling kuat di cerita Harry Potter. 

Mantra Patronus adalah mantra pertahanan sihir tingkat lanjut dalam dunia Harry Potter. Mantra tersebut--diucapkan dengan kata "Expecto Patronum"--berfungsi untuk melindungi penyihir dari makhluk kegelapan seperti Dementor dan dapat juga digunakan untuk mengirim pesan antar penyihir.

Ilustrasi anime populer. /Foto Unsplash

Kenapa Jolly Roger?

Adapun One Piece mengisahkan tentang Monkey D. Luffy dan krunya, Bajak Laut Topi Jerami, yang menantang pemerintah dunia yang korup sembari mengejar kebebasan dan petualangan. Bagi para penggemarnya, bendera “One Piece” bukanlah hiasan biasa, melainkan lambang perlawanan dan ketangguhan. 

Kemampuan Luffy untuk merentangkan tubuhnya melampaui batas fisik setelah memakan buah ajaib telah menjadi metafora yang kuat tentang ketahanan, sementara tekadnya yang tak tergoyahkan untuk meraih kebebasan di tengah rintangan yang tampak mustahil selaras dengan perasaan anak muda yang harus menghadapi lingkungan politik penuh korupsi, ketidaksetaraan, dan ekses otoritarian.

"Penyebaran Jolly Roger Bajak Laut Topi Jerami—yang telah melintasi halaman manga hingga berkibar di alun-alun protes—sebagai contoh bagaimana Generasi Z sedang membentuk ulang kosa kata kultural dalam gerakan perlawanan," tulis Nuurrianti Jalli, pengajar ilmu komunikasi di Oklahoma State University, AS, dalam sebuah analisis di The Conversation. 

Menurut Nuurrianti, kecepatan penyebaran bendera Jolly Roger hingga lintas batas negara mencerminkan cara Gen Z dibesarkan di era digital. Gen Z, kata dia, ialah angkatan pertama yang tumbuh sepenuhnya di dunia daring, tenggelam dalam meme, anime, dan waralaba hiburan global. 

"Komunikasi politik mereka bertumpu pada apa yang oleh para akademisi disebut networked publics– komunitas yang terbentuk dan bergerak melalui platform digital alih-alih organisasi formal," tulis perempuan yang juga pernah jadi dosen tamu di Universitas Paramadina itu. 

Yang terpenting, menurut Nuurrianti, protes dengan membawa simbol One Piece bukan sekadar peniruan. Di Nepal, bendera itu dikaitkan dengan kemarahan atas pengangguran anak muda dan kemewahan mencolok dinasti politik yang dipamerkan secara daring.

Di Indonesia, Jolly Roger mencerminkan kekecewaan terhadap ritual patriotik yang terasa hampa di tengah korupsi. Dalam kedua kasus, bendera Jolly Roger bekerja layaknya kode sumber terbuka—mudah diadaptasi secara lokal, tetapi tetap terbaca jelas di tempat lain.

"Ketika para demonstran di Jakarta, Kathmandu, atau Manila mengibarkan bendera Jolly Roger, mereka bukan sedang bermain peran, melainkan mengubah sebuah ikon budaya menjadi lambang perlawanan yang hidup," tuturnya. 
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan