close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi unjuk rasa./Foto TyliJura/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi unjuk rasa./Foto TyliJura/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 03 September 2025 09:31

Dari kuning sampai hijau: Warna-warna simbol protes dan solidaritas

Beberapa warna di sejumlah negara menjadi simbol gerakan sosial.
swipe

Warna merah muda atau pink dan hijau belakangan—seiring aksi unjuk rasa di berbagai kota—menjadi simbol solidaritas warganet di Indonesia. Banyak orang mengganti foto profil menjadi nuansa pink dan hijau, lalu menyebarkannya di X, Instagram, WhatsApp, dan TikTok. Fenomena ini dimudahkan dengan generator khusus yang memudahkan siapa saja ikut gerakan ini.  

Warna pink yang disebut brave pink dipakai sebagai simbol keberanian warga. Simbol ini terinspirasi dari seorang ibu dengan kerudung berwarna merah muda yang melawan barisan aparat dengan membawa bendera merah putih saat demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta beberapa waktu lalu.

Sementara, warna hijau yang disebut hero green dipakai sebagai simbol harapan dan perjuangan. Simbol ini diambil dari pengemudi ojek daring bernama Affan Kurniawan yang tewas setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) milik Brimob pada 28 Agustus 2025 lalu.

Warna kerap menjadi ikon dalam aksi protes, tak hanya di Indonesia. Berikut ini beberapa gerakan sosial yang menggunakan warna sebagai simbol protes, dikutip dari Associated Press News.

Revolusi Kuning di Filipina pada 1986

Pada 21 Agustus 1983, pemimpin oposisi Filipina, Benigno “Ninoy” Aquino Jr., memutuskan pulang setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan. Ribuan aktivis pro-demokrasi menyambutnya dengan lautan warna kuning: kemeja, gaun, topi, hingga pita yang terikat di mana-mana. Pilihan warna itu terinspirasi dari lagu populer tahun 1973, “Tie a Yellow Ribbon Round the Ole Oak Tree,” yang bercerita tentang seorang mantan narapidana yang ragu apakah dia masih diterima kembali di rumah.

Namun, harapan itu seketika berubah jadi tragedi. Aquino ditembak mati setibanya di bandara Manila. Pembunuhan tersebut memicu gelombang kemarahan rakyat. Protes besar-besaran pun berkobar, menyalakan api perlawanan yang akhirnya bermuara pada pemberontakan damai “kekuatan rakyat” tiga tahun kemudian.

Dengan dukungan militer, gerakan itu berhasil menggulingkan pemimpin otoriter Ferdinand Marcos. Karena warna kuning menjadi simbol persatuan jutaan rakyat dari berbagai lapisan masyarakat, revolusi bersejarah itu pun dikenang sebagai “Revolusi Kuning.”

Revolusi Oranye di Ukraina pada 2004

Oranye menjadi simbol perlawanan di Ukraina pada Pemilihan Presiden 2004. Warna itu dipakai oleh calon presiden pro-Barat, Viktor Yushchenko, dan segera memenuhi jalan-jalan ketika para pendukungnya menolak hasil putaran kedua yang memenangkan rivalnya yang pro-Rusia.

Gelombang massa yang tumpah ke jalan inilah yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Oranye. Tekanan protes yang begitu besar memaksa pihak berwenang membatalkan hasil pemilu dan menyelenggarakan pemilihan ulang. Dalam putaran baru itu, Yushchenko keluar sebagai pemenang.

Bagi Rusia, gerakan ini dianggap sebagai bukti campur tangan Barat dalam politik Ukraina. Namun bagi rakyat, Revolusi Oranye menjadi tanda suara mereka mampu mengubah arah sejarah.

Kaus Kuning dan Merah di Thailand pada 2006

Di Thailand, warna pakaian pernah menjadi simbol tajam perpecahan politik. Dua kelompok besar muncul: kaus kuning dan kaus merah.

Gerakan kaus kuning lahir dari oposisi terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Mereka mengambil inspirasi dari warna kuning, yang erat kaitannya dengan mendiang Raja Bhumibol Adulyadej. Ketika perayaan 60 tahun masa pemerintahan sang raja bertepatan dengan gelombang protes menuntut Thaksin turun karena dugaan penyalahgunaan kekuasaan, warna kuning pun diadopsi sebagai bendera perlawanan mereka.

Sebagai respons, lahirlah kaus merah setelah Thaksin digulingkan lewat kudeta militer pada September 2006. Mereka memilih merah—warna dalam bendera Thailand yang melambangkan bangsa. Warna itu juga memiliki makna simbolis mendalam, berdiri sejajar dengan putih untuk agama dan biru untuk monarki, tiga pilar utama identitas Thailand.

Gerakan Hijau di Iran pada 2009

Gelombang protes terbesar di Iran sejak Revolusi Islam 1979 pecah setelah terpilihnya kembali Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang kemenangannya dipenuhi tuduhan kecurangan. Lawannya, kandidat reformis Mir-Hossein Mousavi, telah memilih hijau sebagai warna kampanye—simbol perubahan di tengah sistem teokrasi Iran.

Hijau sendiri sarat makna: warna yang diagungkan dalam tradisi Islam, sekaligus melambangkan kesuburan dan harapan. Dalam sebuah rapat umum Mousavi, penyair Eqbal Mansourian bahkan menyulut semangat massa dengan baitnya: “Jadikan hidup kami hijau kembali, turunkan hujan kembali, kembalikan harapan kami.”

Tak heran, ketika rakyat turun ke jalan menolak hasil pemilu, warna hijau pun menjadi identitas perlawanan mereka. Namun, gerakan ini berakhir tragis. Aparat keamanan membubarkan demonstrasi dengan kekerasan: puluhan nyawa melayang, ribuan orang ditangkap, dan banyak lainnya mengalami penyiksaan di penjara.

Rompi Kuning di Prancis pada 2018

Selama berminggu-minggu, Prancis diguncang gelombang protes yang dikenal sebagai gerakan rompi kuning. Jalan raya dari Provence hingga Normandia diblokir, sementara kerusuhan pecah di jantung Paris. Situasi ini mengguncang negara hingga ke akar-akarnya, membuat Presiden Emmanuel Macron kesulitan mengendalikan keadaan.

Simbol perlawanan mereka sederhana: rompi keselamatan neon kuning-hijau. Rompi ini wajib dimiliki setiap pengemudi Prancis sebagai perlengkapan darurat. Namun bagi banyak orang, kewajiban itu dirasakan sebagai beban yang dipaksakan pemerintah. Dari situlah rompi kuning berubah menjadi lambang perlawanan—alat untuk menyalurkan kemarahan atas pajak tinggi dan berbagai ketidakpuasan lain.

Di malam gelap dan musim dingin yang suram, rompi kuning menyala di jalan-jalan, menjadi penanda visual bagi siapa pun yang ingin bergabung dengan gerakan. Namun, ketika demonstrasi berubah menjadi bentrokan, warna mencolok itu juga membuat para pengunjuk rasa mudah dikenali—dan sekaligus menjadi sasaran empuk bagi polisi.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan