Beberapa orang tampak terlahir lucu. Selalu siap dengan lelucon atau komentar jenaka yang mengundang tawa. Sementara, beberapa orang kerap kesulitan menemukan kalimat lucu di saat yang pas. Namun, dari mana sebenarnya kemampuan untuk membuat orang tertawa berasal? Apakah bakat alami, pengalaman hidup, atau lingkungan sekitar?
Para peneliti, yang dipimpin Gil Greengross dari Universitas Aberystwyth dalam studinya “Heritability of Humor Production Ability”, terbit di jurnal Twin Research and Human Genetics baru-baru ini menemukan jawabannya. Penelitian ini merupakan upaya ilmiah pertama yang mencoba mengukur seberapa besar pengaruh genetik terhadap kemampuan memproduksi humor.
Para peneliti menggunakan metode klasik dalam genetika perilaku: studi kembar. Mereka membandingkan pasangan kembar identik—yang berbagi hampir seluruh gen—dengan pasangan kembar fraternal—yang hanya berbagi sekitar separuh gen.
Lebih dari 1.300 kembar dewasa dari TwinsUK—sebuah registri kembar di Inggris—ikut berpartisipasi dalam studi ini. Sebagian besar peserta adalah perempuan berusia rata-rata 66 tahun, meski rentang usia cukup lebar: 21 hingga 89 tahun.
Para peneliti mengukur humor dari dua sisi, yakni persepsi subjektif dan kemampuan objektif. Peserta diminta menilai sendiri seberapa lucu mereka, serta menilai kelucuan saudara kembarnya. Untuk menguji kemampuan humor secara objektif, mereka diminta menuliskan teks lucu untuk dua kartun tanpa teks—salah satunya menggambarkan beruang basah yang memesan makanan di restoran, satu lagi menampilkan pasangan yang melihat-limat rumah di luar angkasa.
Teks-teks tersebut kemudian dinilai oleh 40 juri dari komunitas lokal, menggunakan skala lima poin dari “tidak lucu” hingga “sangat lucu”. Penilaian dilakukan secara acak dan adil, dengan pendekatan statistik canggih yang mempertimbangkan perbedaan dalam tingkat kesulitan kartun dan gaya penilaian juri.
Hasilnya, meski persepsi seseorang tentang selera humor mereka sendiri menunjukkan sedikit pengaruh genetik, tetapi kemampuan humor yang dinilai oleh juri, yakni seberapa ucu teks yang ditulis, tidak menunjukkan adanya pengaruh genetik yang signifikan. Artinya, gen tampak tidak banyak berperan dalam kemampuan membuat orang lain tertawa melalui lelucon yang dibuat.
Temuan ini cukup kontras dengan penelitian lain yang menemukan, kemampuan kognitif, seperti IQ dan kreativitas punya komponen genetik yang cukup besar. Bahkan bisa mencapai 80%.
Humor berbeda karena lebih dipengaruhi konteks sosial, budaya, dan lingkungan. Humor sangat bergantung pada waktu, latar belakang budaya, bahasa, serta dinamika sosial—semua hal yang dibentuk oleh lingkungan tempat seseorang tumbuh. Tak seperti soal matematika atau tes IQ, humor bersifat lebih subjektif dan sangat dipengaruhi interaksi dengan orang lain.
Kemungkinan lainnya, cara pengukuran humor dalam studi ini—dengan menulis teks untuk kartun—tidak sepenuhnya mewakili humor sehar-hari yang bersifat spontan dan komunikatif. Apalagi sebagian besar peserta adalah lansia, sementara para juri lebih muda. Perbedaan generasi ini bisa memengaruhi penilaian terhadap apa yang dianggap lucu.
Menariknya, studi ini juga menemukan persepsi seseorang terhadap humor mereka sendiri tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Penilaian subjektif terhadap seberapa lucu seseorang tak terlalu berkorelasi dengan hasil penilaian juri atas teks yang ditulis. Artinya, banyak orang yang merasa dirinya lucu, ternyata tidak menghasilkan lelucon yang benar-benar lucu, atau sebaliknya.
Para peneliti juga mengeksplorasi kaitan antara humor dan kemampuan kognitif menggunakan tes refleksi kognitif—sebuah tes yang menilai kemampuan seseorang untuk menahan jawaban instingtif dan memilih jawaban yang lebih bijak. Tes ini memang menunjukkan heritabilitas tinggi, tetapi hubungannya dengan kemampuan humor sangat lemah.
“Sains itu rumit dan kadang hasilnya tak terduga,” ujar Greengross, dikutip dari PsyPost.
“Hasil studi kami justru berlawanan dengan literatur sebelumnya. Bisa jadi ini kebetulan, atau mungkin kami benar-benar menemukan sesuatu yang baru. Tapi untuk memastikannya, studi replikasi sangat dibutuhkan.”