close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi simbol @. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi simbol @. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 25 September 2025 11:11

Asal muasal simbol @: Dari era Yunani kuno hingga zaman internet

Simbol @ yang kita kenal di email ternyata memiliki sejarah panjang dari amphora Yunani Kuno hingga mesin ketik dan internet. Kini @ bukan sekadar tanda alamat surel, tapi juga simbol identitas digital dan inklusivitas bahasa.
swipe

Paola Antonelli—kurator senior bidang arsitektur dan desain di Museum of Modern Art (MoMA), New York—membuat keputusan yang tak lazim. Ia menyiapkan pameran yang isinya bukan karya-karya besar nan monumental, melainkan benda-benda kecil yang berseliweran di laci kantor kita sehari-hari.

“Saya ingin membuat pameran yang menunjukkan bahwa setiap orang bisa punya pameran kelas museum di dalam laci mereka,” kata Antonelli seperti dikutip dari BBC Futures, Rabu (25/9). 

Post-it Note, M&M’s, penjepit kertas, peralatan dapur OXO Good Grips yang direkayasa sedemikian rupa dipajang dalam pameran bertajuk “Pirouette: Turning Points in Design” hingga 15 November 2025 di MoMA. Pameran itu pun jadi wadah tepat untuk menempatkan simbol yang paling diam-diam memengaruhi dunia digital: tanda @.

Bagi Antonelli, @ bukan sekadar karakter papan ketik, melainkan lambang dunia yang dirancang. “Yang ingin saya sampaikan tentang @ adalah rasa gembira, momen eureka, kebanggaan menjadi bagian dari dunia yang dirancang, yang saya rasakan saat menyadari betapa banyak hal terkandung dalam simbol kecil itu.”

Simbol @—si “a” mungil dengan ekor melingkar—hari ini kita kenal sebagai “at”. Ia merekat di alamat surat elektronik (surel), menandai username kita, bahkan memanggil nama kita di linimasa media sosial. Namun, ternyata sejarah simbol itu jauh lebih tua.

“@ itu sebenarnya singkatan,” kata Keith Houston, penulis buku Shady Characters: The Secret History of Punctuation. “Yang diperdebatkan adalah: singkatan dari apa?”

Houston menelusurinya hingga ke kebiasaan niaga di Mediterania. Bangsa Yunani Kuno menggunakan wadah tanah liat ramping bernama amphora untuk menyimpan anggur, biji-bijian, hingga minyak zaitun. Lama-kelamaan, amphora menjadi satuan ukur standar.

“Para pedagang harus sering menulis, ‘Saya akan menjual sekian amphora barang tertentu dengan harga tertentu’,” jelas Houston. Dari situ, mereka menggambar huruf “a” berekor panjang yang mengelilinginya—singkatan visual dari kata “amphora”.

Kutipan tertua yang mendekati makna modern ditemukan dalam surat pedagang Francesco Lapi pada 4 Mei 1536, yang menyebut harga anggur di Seville untuk dikirim ke Roma menggunakan simbol @. Lebih tua lagi, ada manuskrip Bulgaria tahun 1375 yang memuat @ sebagai hiasan huruf awal “amin”, meski belum bermakna.

Meski amphora menghilang, @ bertahan di buku-buku akuntansi untuk menandai harga. Masuk abad ke-19, ledakan katalog pesanan lewat pos di Amerika Serikat menciptakan kelas profesional baru: juru ketik.

“Mesin ketik adalah cara meminimalkan risiko tulisan tangan yang buruk dan meningkatkan efisiensi administrasi kantor,” kata Gerry Leonidas, profesor tipografi di University of Reading, Inggris. 

Mesin ketik generasi awal begitu mahal dan rumit sampai-sampai tak punya angka satu dan nol—diganti huruf “O” dan “I”. Namun, simbol @ dianggap cukup penting untuk disertakan.

“Karena mesin ketik terhubung dengan proses bisnis dan akuntansi, @ bertahan di setiap generasi mesin ketik, tepat karena fungsinya yang krusial,” kata Leonidas.

Ilustrasi kendi berjenis amphora. /Foto Unsplash

Era internet dan simbol lokal

Simbol ini menemukan rumah barunya pada 1971. Ray Tomlinson, ilmuwan komputer di proyek ARPANET—cikal bakal internet—mencari tanda pemisah antara nama pengguna dan lokasi jaringan. Ia melirik papan ketik, melihat @, dan memindahkannya dari dunia bisnis ke dunia digital. Ia mengirim email pertama dengan tanda itu di tengah alamat.

Seiring internet menyebar ke seluruh dunia, @ ikut menumpang. Namun di setiap budaya, simbol ini mendapat nama lokal: “chiocciola” (siput) di Italia, “strudel” dalam bahasa Ibrani, “zaviná?” (rollmops) di Ceko, “sobaka” (anjing) di Rusia, hingga “apenstaartje” (ekor monyet) di Belanda. 

“Beberapa hari lalu saya bicara dengan orang tua yang belum terpapar era digital, saya otomatis kembali menyebutnya (simbol @) ‘apenstaartje’ tanpa berpikir,” kata Nick Fransen, konsultan manajemen asal Belgia.

Dalam bahasa Inggris, @ tetap “at”—atau kadang “commercial at” karena akar bisnisnya. “Alasannya, definisi awalnya yang jelas terbawa terus,” ujar Leonidas. “Tapi ketika orang menyesuaikannya dalam bahasa lokal, mereka mencari cara mengingatnya. Orang diberi komputer, melihat simbol itu, lalu mendeskripsikan bentuknya.”

Di Spanyol dan Portugal, @ disebut “arroba”—istilah terkait amphora yang juga satuan berat. Kini @ bahkan dipakai sebagai karakter netral gender dalam bahasa Spanyol, menggantikan huruf “o” (maskulin) dan “a” (feminin), misalnya “amig@s” untuk kata “amigos/amigas”.

“Yang menarik dari @ adalah apa yang terjadi setelah simbol itu,” kata Leonidas. Ia memaksa nama pengguna ditulis dalam satu kata tanpa spasi, mendorong kita menciptakan kata unik untuk diri sendiri. Ini memengaruhi cara kita membentuk identitas digital.

Penelitian tentang budaya daring menunjukkan nama pengguna sangat terkait dengan identitas diri; menggantinya bisa terasa intim seperti mengganti nama atau penampilan di dunia nyata. “Tentu saja kita punya perasaan kuat terhadap @,” kata Leonidas. “Ia terikat pada pemahaman kita tentang keberadaan kita sendiri.”


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan