sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Awas, obesitas mengancam orang dewasa dan anak-anak

Obesitas bisa diatasi dengan menjalankan gaya hidup berorientasi gizi seimbang.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 14 Feb 2019 16:29 WIB
Awas, obesitas mengancam orang dewasa dan anak-anak

Titi Wati, perempuan penderita obesitas di Palangkaraya, Kalimantan Tengah sempat menjadi pemberitaan media pada medio Januari 2019. Bobot tubuh Titi mencapai 220 kilogram, dan sudah tak bisa lagi berjalan.

Untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus Palangkaraya, bahkan dirinya harus dievakuasi sejumlah orang. Di RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya, dia ditangani 16 dokter ahli untuk operasi.

Berjuang melawan obesitas

Sama halnya dengan Titi, Arya Permana dahulu juga punya bobot yang tak biasa. Pada 2016 lalu, saat usianya masih 10 tahun, Arya yang tinggal di Karawang, Jawa Barat sempat jadi sorotan publik. Dia mengalami obesitas, dengan berat badan mencapai 192 kilogram.

Ayah dari Arya, Ade Somantri Kusumah mengatakan, anaknya lahir dengan berat badan normal 3,8 kilogram. Di usianya yang baru 5 tahun, Arya mengalami sakit dan tak nafsu makan. Setelah perawatan, bobot badan Arya lantas meningkat, di usia 6 hingga 10 tahun.

“Dari usia 9 ke 10 tahun itu, Arya bobotnya naik sebanyak 72 kilogram. Sekali makan biasanya porsi 2 piring, sehari makan mie instan 4 bungkus, sama minuman kemasan 20 bungkus,” kata Ade saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (14/2).

Selama sekitar 16 bulan, sejak pertengahan 2015 hingga 2016, Arya lantas mengalami perubahan jam tidur. Dia baru bisa terlelap pada pukul 5 pagi, bangun pukul 3 atau 4 sore.

Karena obesitas, Arya tak bisa melanjutkan sekolah sejak kelas 2 hingga 3 SD. Untungnya dia masih mendapatkan pendidikan dari guru sekolah yang berkenan datang ke rumahnya.

Arya Permana menjalani perawatan di Rumah Sakit OMNI Alam Sutera, Tangerang, Banten. (facebook.com/ade.s.kusumah).

Tak menyerah, Ade lalu berkonsultasi dengan tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Akan tetapi, saran pengobatan dari tim dokter tak berhasil menurunkan berat badan anaknya.

“Sistemnya hanya diet, tidak ada operasi. Cuma jadi naik-turun bobotnya, tidak berhasil,” kata Ade.

Sembilan bulan mendapatkan perawatan di RS Hasan Sadikin, pada 2017 Arya kemudian dirujuk ke RS OMNI Alam Sutera, Tangerang, Banten. Dia dirawat 21 hari di sana, dengan biaya ditanggung sepenuhnya oleh pihak rumah sakit. Tim dokter kemudian menyarankan Arya menjalani operasi penyempitan lambung.

Operasi itu berhasil. Arya mengalami penurunan berat badan. Selain operasi, dilakukan program pemantauan pola makan oleh tim dokter. Dalam waktu 19 bulan, berat badan Arya turun menjadi 87 kilogram.

Masalah obesitas pun menghantui penulis Arman Dhani. Dia berkisah, gangguan obesitas baru disadari enam tahun lalu. Pada 2013, ketika dia baru merantau ke Jakarta, Dhani mengaku menjalani pola hidup yang tak sehat. Selain begadang dan makan makanan cepat saji, dia jarang berolahraga.

“Saya baru sadar rasanya tubuh makin berat, susah gerak, dan sesak napas. Saya jadi enggak punya baju yang cukup,” kata Dhani, yang kini bekerja di salah satu media online di Jakarta saat dihubungi, Kamis (14/2).

Pada 2018, Dhani mengalami gangguan saluran pembuangan atau batu ginjal. Ketika melakukan cek kesehatan, dokter menyarankannya mengurangi berat badan. Kelebihan berat badan membuatnya menderita penyakit itu.

Sejak itu, Dhani mencoba mengurangi konsumsi makanan berkarbohidrat, serta menambah makan sayur dan buah-buahan. Meski sudah mencoba, Dhani mengungkapkan, dia kesulitan mengubah dan mengatur pola hidup.

“Karena saya lebih sering kerja di malam hari, sambil begadang makan dan ngemil. Kurang air minum,” kata Dhani saat dihubungi, Rabu (13/2).

Grafik obesitas sentral pada orang usia 15 tahun ke atas, 2007-2018. (.depkes.go.id).

Grafik obesitas penduduk dewasa 18 tahun ke atas berdasarkan provinsi pada 2018. (depkes.go.id).

Obesitas memang menjadi salah satu masalah kesehatan serius di Indonesia. Menurut data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, jumlah obesitas penduduk Indonesia berusia lebih dari 18 tahun, meningkat dari 14,8% pada 2013 menjadi 21,8% pada 2018.

Sedangkan dilihat dari provinsi, obesitas untuk orang berusia lebih dari 18 tahun tertinggi ada di Provinsi Sulawesi Utara dengan 30,2%. Terendah ada di Nusa Tenggara Timur, dengan 10,3%.

Sementara itu, data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebut, ada 1,9 miliar orang dewasa, 41 juta anak balita, dan 340 juta anak serta remaja mengalami obesitas pada 2016. Jumlah penderita obesitas itu naik tiga kali lipat dibandingkan pada 1975.

Serang anak-anak

Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan balita pun rentan terkena obesitas. Kasus Arya bisa menjadi contoh. Meski menurut Riskesdas 2018 Kementerian Kesehatan angka obesitas pada anak-anak menurun dari 11,8% menjadi 8%, namun masalah kelebihan berat badan ini masih menghantui.

Kencenderungan itu dilatarbelakangi pandangan sebagian masyarakat yang menilai tubuh gemuk identik sehat. Ahli gizi dan nutrisi Rita Ramayulis mengatakan, pemahaman keliru sebagian masyarakat perlu diubah, dengan menjalankan gaya hidup berorientasi gizi seimbang. Perkembangan teknologi, menurut Rita, ikut menimbulkan pergeseran gaya hidup.

“Kita tengah mengalami pergeseran gaya hidup. Kemajuan teknologi misalnya, menjadikan penggunaan gawai dan alat elektronik lainnya makin sering. Akibatnya, aktivitas fisik dan energi yang dikeluarkan untuk bergerak semakin kecil,” kata Rita ketika dihubungi, Rabu (13/2).

Permasalahan tersebut mesti diatasi dengan tindakan aktif, yang bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. Terlebih, kata Rita, orang tua atau orang yang lebih dewasa di dalam keluarga, biasanya menjadi panutan bagi anak-anak.

Menurut Rita, perubahan zaman ikut memengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang cenderung berpotensi meningkatnya penyakit pada anak-anak. Belum lagi, tuntutan pelajaran di sekolah yang semakin tinggi membuat waktu bermain dan aktivitas di luar ruang kelas menjadi berkurang.

“Tuntutan pelajaran anak sekolah lebih tinggi dibandingkan dulu, sehingga mereka lebih sering melakukan les atau kursus, belajar daripada bermain,” kata Rita.

Akibatnya, standar dari pola makan dan asupan gizi seimbang menjadi terganggu, bahkan tak tercapai. Dia menjelaskan, kebutuhan gizi seimbang yang harus dipenuhi setiap anak adalah penyediaan nutrisi makanan yang beragam, diimbangi aktivitas fisik.

Akan tetapi, karena gerak tubuh minim, energi yang dihasilkan dari nutrisi makanan, menumpuk di dalam tubuh dan menjadi lemak berlebih. Kondisi itu diperburuk lagi dengan terbatasnya ruang publik untuk bermain anak, seperti taman kota dan fasilitas olahraga.

“Lapangan atau taman bermain sudah jauh berkurang, karena lahannya banyak dipakai untuk perumahan. Anak-anak terbatas untuk bermain, atau hanya bisa bermain di lapangan kecil,” ujarnya.

Gambaran itu menunjukkan prasyarat bagi tumbuh kembang anak-anak secara optimal belum bisa terpenuhi. Menurut Rita, hal ini adalah tanggung jawab negara dan penyelenggara pelayanan publik terkait pertumbuhan anak.

Titi Wati (37), perempuan dengan berat badan 350 Kilogram ditandu petugas Pemadam Kebakaran dan Tanggap Bencana menuju RSUD Doris Sylvanus di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (11/1). (Antara Foto).

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2014 tentang Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan, dan Gangguan Tumbuh Kembang Anak disebutkan, makanan yang cukup dan bergizi seimbang wajib dipenuhi sebagai bekal perkembangan anak yang optimal.

Permenkes tersebut pun menyebut, pihak yang bertanggung jawab memantau tumbuh kembang anak adalah kelompok profesi, tenaga pendidik, petugas lapangan Keluarga Berencana, petugas sosial, serta organisasi profesi.

Selain itu, orang tua dan lingkungan keluarga punya peran penting untuk menjaga dan menyediakan kebutuhan nutrisi yang baik bagi anak, terutama di usia bayi, balita, dan prasekolah.

Perhatikan kandungan makanan

Dari perspektif kesehatan dan gizi, Rita mengingatkan, tingkat pendapatan masyarakat, perubahan gaya hidup, dan urbanisasi yang cenderung meningkat juga akan meningkatkan potensi obesitas.

Kini, masyarakat dimanjakan beragam tawaran makanan. Hal ini memicu sikap konsumtif yang meningkat, tanpa terkecuali di kalangan anak dan remaja.

“Kini kemajuan industri kuliner berdampak lebih banyak menu yang mengandung karbohidrat, lemak, dan gula yang tinggi. Sayangnya, kandungan serat mikronutrien, yaitu vitamin dan mineral, semakin rendah,” kata Rita.

Rita pun menyarankan, masyarakat harus semakin jeli memperhatikan kandungan gula, garam, dan lemak dalam sajian yang akan dikonsumsi.

Salah satu penyebab obesitas adalah gaya hidup tak sehat.

Kasus Titi Wati dan Arya Permana bisa menjadi bukti bahwa obesitas mengancam siapa saja, baik usia dewasa maupun anak-anak. Selain operasi dan konsultasi dengan tim dokter, Arya pun berhasil sembuh, karena pola hidupnya yang terjaga.

Di samping mengatur pola makan, Arya yang kini bisa beraktivitas normal, dianjurkan olahraga, seperti bermain bulu tangkis, sepak bola, dan berjalan. Dia pun mendapatkan obat-obatan dan multivitamin, yang rutin diminum, untuk kesehatan tulang, kecukupan gizi, dan larutan susu.

“Kini, porsi makan Arya cukup 5 hingga 7 suap sudah kenyang,” kata Ade Somantri Kusumah.

Berita Lainnya
×
tekid