close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Taman Eden. /Foto AI-Canva generated content
icon caption
Ilustrasi Taman Eden. /Foto AI-Canva generated content
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 20 September 2025 17:34

Benarkah Taman Eden nyata? Ini kata para arkeolog

Alkitab merinci detail lokasi Taman Eden. Namun, ada banyak kejanggalan dalam penelusuran para ilmuwan.
swipe

Ketika Tuhan mengusir Adam dan Hawa dari Taman Eden, Alkitab menyebut Ia menempatkan kerub dan pedang berapi di pintu gerbang—penjaga agar manusia tak lagi kembali ke surga di bumi itu. Namun, pengusiran yang tegas itu tak menghentikan arkeolog, teolog, maupun peziarah untuk terus mencari jejak jalan pulang.

Alkitab memberi petunjuk geografis yang mencolok ihwal Eden. Pada kitab Kejadian disebutkan Eden berada “di sebelah timur” dan di tengahnya berdiri “Pohon Kehidupan” serta “Pohon Pengetahuan", pohon terakhir yang buahnya dimakan Hawa, memicu pengusiran mereka. 

Dalam sebuah bagian Alkitab menulis, “sebuah sungai mengalir dari Eden untuk membasahi taman itu, lalu terpecah menjadi empat anak sungai.” Dua di antaranya jelas: Tigris dan Efrat di Asia Barat Daya. Dua lainnya—Pison dan Gihon—masih jadi teka-teki bagi para peneliti.

Tingkat detail ini jarang muncul di Alkitab, menambah aura otentik pada kisahnya dan meyakinkan pembaca awal bahwa Eden mungkin tempat nyata. 

“Para sarjana sudah lama berimajinasi untuk menentukan apakah Alkitab benar-benar menunjukkan lokasi aktual tentang Eden, atau setidaknya inspirasi tempatnya,” kata Joel Baden, profesor ilmu ketuhanan dan studi agama di Universitas Yale, seperti dikutip dari National Geographic, Sabtu (20/9). 

Sejumlah penanda geografis Eden bisa masih kita lihat. Sistem sungai Tigris–Efrat mudah dipetakan dan berperan besar dalam lahirnya masyarakat Mesopotamia kuno. Tigris berhulu di pegunungan Taurus, Turki timur, mengalir ke selatan di perbatasan Turki–Suriah, lalu masuk Irak dan bersatu dengan Efrat sebelum bermuara ke Teluk Persia.

Pison dan Gihon lebih sulit diidentifikasi. Kitab Kejadian menyebut Pison “mengalir mengelilingi seluruh tanah Hawila, tempat ada emas,” sedangkan Gihon “mengalir mengelilingi tanah Kush.” Para sarjana menempatkan Hawila di Arabia Selatan—wilayah kaya logam mulia. 

Nama Kush lebih rumit. “Dalam Alkitab, Kush dipakai untuk dua kawasan berbeda: satu di Mesopotamia, satu lagi di Afrika sekitar Nubia,” jelas Baden.

Tradisi Etiopia mengaitkan Gihon dengan Sungai Nil Biru, bersandar pada rujukan “tanah Kush” (yang biasanya diidentikkan dengan Sudan dan Etiopia). Tapi geografi ini tak cocok dengan narasi Kejadian. Baden menyebut teori yang mengidentikkan Pison dan Gihon dengan Sungai Nil dan Gangga keliru. 

“Kedua sungai itu tak pernah disebut dengan nama-nama tersebut, dan secara geografis juga tak nyambung. Gangga berjarak sekitar 3.700 km ke arah yang salah,” kata Baden. Lagi pula, Nil dan Gangga tak terhubung ke Tigris dan Efrat seperti yang digambarkan Kejadian.

Sebagian peneliti menduga Pison dan Gihon adalah sungai musiman atau alur air purba yang kini hanya menyisakan jejak kering. Dalam artikel di Biblical Archaeology, arkeolog James Sauer menghipotesiskan Pison identik dengan Wadi al-Batin—saluran kering yang membentang dari Arab Saudi Barat hingga Kuwait.

Eden di Mesopotamia?

Kebanyakan arkeolog meragukan keberadaan Adam dan Hawa sebagai figur historis. Namun, banyak yang sepakat penulis Kejadian terinspirasi kesuburan rawa-rawa di selatan Irak. Meski Taman Eden mungkin mitos, ia tampaknya berakar pada kekayaan budaya Mesopotamia kuno—kandidat paling kuat bagi lokasi “surga” itu.

Mesopotamia terkenal dengan keluarga-keluarga kaya dan taman kerajaan yang dipenuhi aneka tumbuhan—gambaran yang bisa mengilhami kisah Alkitab. Sungai Tigris dan Efrat mendukung teori ini: keduanya mengairi dataran banjir luas yang dikenal sebagai Bulan Sabit Subur, mencakup Irak, Turki, Suriah, Lebanon, Palestina, Israel, bahkan—kata sebagian pakar—Mesir. Musim hujan membuat sungai meluap dan menyuburkan tanah kering.

Iklim yang relatif stabil dan sumber air andal memungkinkan penduduk awal mengembangkan pertanian, kota, hingga sistem pemerintahan di antara dua sungai ini. Wilayah itu juga dikenal sebagai “tempat lahir peradaban”—istilah yang diciptakan Egyptolog James Henry Breasted pada abad ke-19 untuk menegaskan asal-usul peradaban manusia di Mesopotamia, melawan pandangan dominan kala itu yang memuliakan Yunani dan Romawi kuno.

Ada di bawah laut?

Pada 1980-an, arkeolog kelahiran Jerman Juris Zarins mengajukan hipotesis Taman Eden berada di bawah Teluk Persia. Ia mengaitkan Gihon dengan Sungai Karun di Iran dan Pison dengan sistem sungai kering Wadi al-Batin—lalu mengambil pendekatan baru: menganalisis citra satelit NASA. Hasilnya, ia menemukan jejak dasar dua sungai besar yang dahulu mengalir dari Arabia Tengah dan Selatan menuju kawasan barat daya Teluk Persia.

Perubahan iklim dan naiknya permukaan laut jadi kunci teori ini. Pada akhir Zaman Es terakhir, Laut Merah sebagian besar kering sehingga kawasan yang diidentifikasi sebagai tanah Kush meluas hingga ujung barat daya Jazirah Arab. Saat Kejadian ditulis, pencairan salju dan es gunung membuat sungai-sungai ini jadi alur air besar.

Namun, arkeologi laut belum menemukan bukti mendukung teori Zarins. Pandangannya tetap kontroversial di kalangan arkeolog dan pakar Alkitab. Arkeolog biblika Joel Klenck menilai “teori Zarins bertentangan dengan Alkitab.” Jika Zarins menempatkan semua sungai mengalir ke Eden, Kejadian justru menyebut sungai-sungai itu “mengalir dari Eden.”

Tempat nyata atau simbolik?

Di tengah pencarian itu, tak semua ilmuwan yakin Taman Eden pernah benar-benar ada. Profesor Francesca Stavrakopoulou dari Universitas Exeter melihat Eden sebagai ruang simbolik yang berakar pada taman kerajaan kuno dan secara konseptual ditempatkan di Yerusalem. 

Adapun Mark Leutcher, profesor Yudaisme kuno dan Alkitab Ibrani di Temple University, menyebut Eden bukan satu lokasi tunggal bagi para penulis maupun pembacanya. Bagi Leutcher, taman itu mewakili dunia Asia Barat kuno.

“Ia memuat gagasan-gagasan yang berharga bagi masyarakat manusia untuk dipikirkan, tapi menyampaikannya lewat bahasa simbol dan metafora,” kata Leutcher. “Dengan kata lain, Taman Eden menggambarkan keseluruhan dunia budaya dari pesisir Laut Tengah hingga perbatasan timur Kekaisaran Asyur dan Babilonia.”

Berakar pada lanskap dunia Asia Barat, Taman Eden tetap diliputi misteri. Namun ribuan tahun kemudian, keyakinan pada keberadaannya bertahan—melampaui bukti yang tak kunjung ditemukan.
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan