close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi wanita karier. /Pixabay
icon caption
Ilustrasi wanita karier. /Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 13 September 2025 17:35

Efek tersembunyi di balik "dress for success"

Berpenampilan baik bukan sekadar menunjukkan kesombongan. Tapi, ada banyak manfaat positif yang tak disadari.
swipe

Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar ungkapan “dress for success”? Mungkin kamu menganggapnya hal sepele—pakai jas yang pas badan atau sepatu mengilap supaya lebih dihargai orang lain. Atau kamu justru menganggapnya sebagai bentuk kesia-siaan.

Tapi kenyataannya lebih kompleks. Cara kita menampilkan diri tak hanya memengaruhi pandangan orang lain. Itu juga mengubah cara kita memandang diri sendiri—dan perubahan ini bisa berdampak besar pada perilaku kita.

Sebuah studi baru yang dimuat di International Journal of Research in Marketing menunjukkan hal ini. Saat orang merasa dirinya terlihat lebih baik, mereka bukan cuma lebih percaya diri. Mereka juga lebih baik hati—bahkan menyumbang untuk amal dua kali lebih besar dibanding mereka yang tak mendapat “dorongan” penampilan ini.

Peneliti menemukan bahwa ketika seseorang merasa lebih menarik, ia percaya dirinya lebih terlihat oleh orang lain—dan profil sosial yang lebih menonjol ini mendorong mereka untuk bersikap dermawan dan prososial.

“Upaya memperbaiki penampilan itu sangat umum, tapi sering dipandang negatif—dianggap sebagai kesombongan atau hal yang superfisial. Kami penasaran, apakah perilaku yang umum ini sebenarnya punya dampak positif yang jarang diperhatikan,” jelas Natalia Kononov, penulis studi sekaligus peneliti pascadoktoral di Wharton School, University of Pennsylvania.

Kononov dan timnya melakukan tujuh studi yang melibatkan total 2.895 partisipan untuk mengeksplorasi apakah perbaikan penampilan fisik bisa memengaruhi perilaku prososial, seperti berdonasi untuk amal atau memilih produk-produk etis. Penelitian mereka memadukan eksperimen laboratorium, survei daring, hingga percobaan lapangan di dunia nyata.

Dalam setiap studi, partisipan diminta melakukan aktivitas yang meningkatkan penampilan atau aktivitas lain yang tidak terkait. Peneliti lalu mengukur perilaku prososial melalui berbagai indikator: kesediaan berdonasi, jumlah uang yang benar-benar diberikan, hingga preferensi terhadap merek yang bertanggung jawab sosial.

Kononov dan kawan-kawan juga menilai public self-awareness—sejauh mana partisipan merasa tindakan dan penampilannya terlihat orang lain—sebagai mekanisme yang mungkin mendorong perilaku tersebut.

“Meski laki-laki mungkin mendekati perbaikan penampilan dengan cara berbeda dibanding perempuan, mereka juga peduli pada penampilan mereka dan terpengaruh dengan cara yang mirip. Ini menantang asumsi umum bahwa laki-laki lebih cuek terhadap penampilan,” kata Kononov.

Temuan ini serupa konsep psikologi yang disebut halo effect: kecenderungan orang menganggap seseorang yang menarik punya kualitas positif lain. Orang yang menarik lebih sering diperlakukan baik, lebih mudah diterima kerja, atau dipercaya dalam negosiasi.

“Yang menarik di sini, efeknya juga bekerja ke dalam. Saat kita merasa menarik, kita bukan hanya menuai bias positif orang lain—kita juga mulai berperilaku dengan cara yang memperkuat bias itu,” ujar Nick Morgan, presiden Public Words Inc., sebuah perusahaan konsultan komunikasi, seperti dikutip dari Psychology Today. 

Pola tersebut, kata Morgan, bahkan mulai sejak dini. Riset menunjukkan anak-anak lebih ramah kepada teman sebaya yang “imut” atau “good-looking”. Saat dewasa, bias yang sama bertahan. Orang yang berpakaian rapi lebih mungkin dibantu orang asing dibanding mereka yang tampil berantakan.

Studi-studi lain juga menemukan bahwa kita kadang berperilaku prososial—menyumbang, membantu, jadi relawan—justru karena itu meningkatkan daya tarik kita sendiri, terutama di ruang publik. "Singkatnya, citra diri dan kedermawanan saling terkait erat, membentuk seberapa banyak kebaikan yang kita beri dan kita terima," imbuh Morgan. 

Bukan sekadar optik

Bagi pemimpin, pembicara, dan eksekutif, menurut Morgan, implikasinya besar. Penampilan bukan sekadar “optik”. Ini soal psikologi. Ketika kamu meluangkan waktu untuk tampil tajam, menarik, atau selaras dengan versi terbaik dirimu, kamu bukan hanya meningkatkan peluang memberi kesan baik. 

"Kamu juga memprogram dirimu sendiri untuk bersikap lebih dermawan, hangat, dan penuh keluwesan sosial—kualitas yang jadi inti kepemimpinan," jelas Morgan. 

Seseorang, kata Morgan, harus membayangkan berdandan rapi sebagai lingkaran feedback jas, gaun, sepatu mengilap, bahkan aksesori yang tepat meningkatkan rasa percaya diri. Kepercayaan diri itu membentuk perilaku—membantu kamu berbicara lebih jelas, terhubung lebih hangat, dan bertindak lebih murah hati. 

"Orang pun merespons lebih positif, memperkuat citra diri yang kamu bangun sejak awal. Ini bukan tentang kesombongan. Ini tentang menyelaraskan “luar” dan “dalam” agar kamu hadir dengan dampak yang lebih luas," ujarnya. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan