sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ketagihan film porno memicu disfungsi ereksi

Mirip kecanduan, pornografi pun tak memberikan pengaruh yang baik untuk kesehatan.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Jumat, 25 Jan 2019 20:03 WIB
Ketagihan film porno memicu disfungsi ereksi

Skandal prostitusi daring yang ikut menyeret nama seorang artis VA, sejak awal bulan menyita perhatian publik. Pada 16 Januari 2019, Kepolisian Daerah Jawa Timur yang menyita foto dan video panas VA, kemudian meningkatkan status artis yang ditangkap di sebuah hotel di Surabaya bersama seorang pengusaha pertambangan pada 5 Januari 2019 itu, menjadi tersangka.

Lantas, foto dan video itu tersebar di jagat maya. Tak sedikit yang penasaran ingin melihat video dan foto itu. Salah satunya Hidayat.

Dia mengaku, sudah menonton video dan melihat foto yang diduga sosok VA. Menurut dia, video itu biasa saja. Tak seseru yang dibayangkan dalam benaknya.

Tia, yang juga sudah melihat video itu mengatakan hal senada dengan Hidayat. “Biasa aja. Standar,” kata Tia saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (24/1).

Ketagihan film biru

Seorang tersangka mucikari dari prostitusi daring artis ketika ungkap kasus di Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Kamis (10/01). (Antara Foto)

Hidayat dan Tia mengaku sebagai penikmat “film biru”. Keduanya punya motif yang mirip saat pertama kali menonton film porno.

“Penasaran sih waktu awal masuk kuliah tahun 2014. Akhirnya keterusan,” kata Tia.

Tia mengaku, mengonsumsi film porno empat kali dalam seminggu. Kebiasaannya itu sempat terhenti selama enam bulan. Tapi, muncul lagi belakangan ini. Jika di rata-rata, Tia menonton porno empat kali dalam seminggu.

Sedangkan Hidayat mengaku, pertama kali menonton film porno secara tidak sengaja. “Jadi waktu itu masih SD, dan kebetulan lihat kakak sama teman-temannya nonton film porno. Ikut gabung deh,” kata pria berusia 23 tahun ini.

Sejak saat itu, Hidayat mulai mencari-cari film porno sendiri. Tak jarang, ketika teman-temannya menginap di rumahnya, mereka akan menonton film porno bersama-sama. Waktu itu, Hidayat masih menonton film porno dari DVD dan CD-R yang dibawakan teman-temannya.

“Pernah ketahuan sih waktu SMP sama ibu, cuma disuruh hapus aja,” kata Hidayat.

Hidayat dan Tia memiliki preferensi waktu masing-masing ketika menonton film porno. Hidayat lebih suka menonton film porno di pagi hari, karena saat-saat tersebut merupakan “morning glory” baginya.

“Karena kalau malam saya biasanya banyak kegiatan organisasi, sudah capai kalau malam. Makanya nontonnya pagi,”ujar Hidayat.

Sementara itu, Tia sendiri memilih menonton film porno pada malam hari sebagai pengantar tidur. Menurutnya, menonton film porno bisa membuatnya mengantuk dan tidur lebih cepat.

Tentang kategori film panas, keduanya pun memiliki selera yang berbeda. Tia mengaku lebih suka menonton film buatan lokal dan tak menyukai kategori dengan adegan kekerasan. Sedangkan Hidayat lebih sering menonton kategori Japan Adult Video (JAV) dan interrasial.

“Kalau lokal kan ada blur-blur atau buramnya gitu, mainlah fantasinya kalau lokal,” kata Tia.

Baik Hidayat dan Tia sama-sama menyukai film porno yang memiliki jalan cerita. “Apalagi kalau ceritanya ada perebut laki orang (pelakor) sama perebut bini orang (pebinor), seru tuh,” ujar Hidayat bersemangat.

Tia sendiri tak menyarankan orang lain untuk menonton film porno. Menurutnya, film porno hanya membuat ketagihan dan mengakibatkan dirinya cepat lupa.

“Takutnya juga sih nanti kalau berhubungan seksual beneran bisa enggak bergairah gara-gara keseringan nonton film porno,” kata Tia.

Indonesia nomor dua tertinggi

Baik Hidayat maupun Tia merupakan generasi milenial yang menonton film porno karena penasaran. Berdasarkan hasil survei “Coming of Age: Millenials”, yang diadakan sebuah situs berkonten porno pada 2015, generasi milenial Indonesia merupakan salah satu penikmat konten pornografi terbanyak di urutan kedua di dunia, setelah India.

Situs tersebut mencatat, sebanyak 74% pengunjung yang datang dari Indonesia adalah generasi milenial. Sementara sisanya, 26% adalah orang Indonesia dari generasi yang lebih tua.

Selain motif penasaran, Robert Weiss dalam artikelnya “Why the Reasons Someone Looks at Porn Matter” di laman Psychology Today, 18 Juli 2016, menyebutkan beberapa alasan lain seseorang menonton pornografi.

“Sebuah riset menemukan beberapa alasan yang paling dominan ketika orang-orang menonton porno,” tulis Weiss.

Indonesia masuk dalam urutan kedua pengakses konten pornografi, setelah India. (Pexels.com)

Weiss menyebutkan, 94,4% orang mencari kepuasan seksual ketika menonton porno, 87,2% mencari rangsangan, dan 86,5% menonton porno agar orgasme.

Meski begitu, tulis Weiss, alasan-alasan lain yang melibatkan emosi negatif juga menyertai orang menonton film porno. Sebanyak 73,8% orang menonton film porno untuk menghilangkan stres, 70,8% menghilangkan bosan, dan 53% ingin melupakan masalahnya sehari-hari.

Bagaimana dampaknya?

Mirip kecanduan, pornografi pun tak memberikan pengaruh yang baik untuk kesehatan. Di laman Psychology Today, 20 Januari 2014, Weiss juga menulis artikel “Is Male Porn Ruining Sex?”

Menurut penulis beberapa buku tentang seks dan gangguan keintiman ini, dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh pornografi adalah disfungsi ereksi dan ejakulasi yang tertunda, atau tak bisa orgasme.

Generasi milenial Indonesia masuk dalam generasi yang paling banyak mengakses konten pornografi.

“Masalahnya, ketika seorang pria menghabiskan 70%, 80%, atau bahkan 90% kehidupan seksualnya bermasturbasi dengan melihat pornografi di internet, dia lama-kelamaan akan melihat pasangannya di dunia nyata kurang menggairahkan daripada gambaran visual pornografi yang ada di pikirannya,” tulis Weiss.

Weiss juga menyebutkan, pornografi bisa berpengaruh terhadap kebahagiaan pasangan. Sebuah riset, lanjut Weiss, menemukan jika perempuan yang suami atau pacarnya sering menonton film porno, merasa kurang bahagia dengan hubungan mereka daripada perempuan dengan pasangan yang jarang menonton film porno.

Dari penelitian Gert Holstege dan kawan-kawan berjudul “High-intensity Erotic Visual Stimuli De-activate the Primary Visual Cortex in Women” di The Journal of Sexual Medicine (2012) menyebutkan, menonton film erotis dengan intensitas tinggi bisa mematikan korteks visual di dalam otak.

Korteks visual adalah bagian dari korteks cerebral yang menerima dan memproses impuls saraf sensorik dari mata.

“Matinya korteks visual saat menonton film erotis dengan intensitas tinggi tersebut, menjelaskan meningkatnya suplai darah ke bagian otak yang terlibat dalam memunculkan gairah seksual,” tulis Holstege dan kawan-kawan.

Berita Lainnya
×
tekid