close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Paul Foot. Foto: Guardian
icon caption
Paul Foot. Foto: Guardian
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 23 Juli 2025 14:00

Kisah depresi 28 tahun komedian Inggris yang hilang sekejap saat mengendarai mobil

Kisah Paul Foot bukan tentang keterpurukan semata. Ini adalah kisah tentang titik balik, tentang kekuatan pikiran dan tubuh untuk menemukan jalan keluar bahkan ketika semuanya tampak tertutup.
swipe

Paul Foot mungkin lebih dikenal sebagai komedian eksentrik asal Inggris yang kerap memancing tawa lewat absurditas dan kejutan tak terduga di atas panggung. Namun, di balik karakter panggungnya yang flamboyan dan surealis, pria berusia 51 tahun ini menyimpan perjalanan batin yang mendalam—dan gelap. Selama hampir tiga dekade, ia hidup dalam bayang-bayang kecemasan dan depresi yang melumpuhkan.

“Saya tidak pernah merasa bahagia. Saya tidak pernah mengalami pasang surut seperti bipolar. Yang ada hanya surut,” ujar Foot dalam salah satu pengakuannya. Ia menggambarkan kondisi mentalnya seperti terkunci di dalam kotak kaca—terlalu depresi untuk keluar, terlalu lelah untuk bergerak.

Namun kisah Paul Foot bukan tentang keterpurukan semata. Ini adalah kisah tentang titik balik, tentang kekuatan pikiran dan tubuh untuk menemukan jalan keluar bahkan ketika semuanya tampak tertutup.

Titik balik di balik kemudi
20 Maret 2022, pukul 16.59. Hari itu, seperti yang diingat Foot dengan detail, ia sedang menyetir sendirian di pinggiran selatan Manchester. Ia baru saja tampil dalam pertunjukan Swan Power di Carlisle dan sempat mampir menemui teman. Tak ada hujan, tak ada musik yang dramatis. Namun di balik kemudi Nissan Micra-nya, terjadi sesuatu yang nyaris tak bisa dijelaskan.

“Saya merasa seperti tersadar dari mimpi,” katanya. “Kesadaran saya meledak. Depresi itu hilang. Semua terasa berbeda.” 

Dalam sekejap, ia merasakan kebebasan dari kecemasan dan kemarahan yang selama ini ia kira adalah bagian dari dirinya.

Tapi yang terjadi di mobil itu tidak bisa dijelaskan secara logis. Ia menyebutnya sebagai "pengalaman spiritual", meskipun dirinya tidak religius dan tidak percaya pada alam gaib.

“Saya tidak tahu apakah itu disebabkan oleh semua kerja terapi dan obat selama ini, atau ada sesuatu yang lain. Tapi saya merasa seperti lahir kembali.”

Sejak saat itu, ia tidak lagi mengalami kecemasan atau depresi. “Saya sudah bebas. Yang saya rasakan sekarang adalah kegembiraan,” katanya sambil tersenyum lebar.

Itu bukan euforia sesaat. Sejak hari itu, Paul Foot berubah. Bagi orang lain, mungkin itu hanya sekilas momen di jalan biasa. Bagi Foot, itu adalah akhir dari penderitaan selama 28 tahun.

Luka lama yang baru disadari
Perjalanan menuju titik itu panjang dan penuh kabut. Pada 2017, Foot akhirnya menemui psikiater atas dorongan temannya, Ruby Wax. Diagnosisnya: kecemasan berat yang menyebabkan depresi kronis. Ia mendapatkan obat yang mulai menstabilkan pikirannya. Dengan kestabilan itu, datang pula kebenaran yang selama ini tersembunyi.

“Saya mulai mengingat apa yang terjadi,” ujarnya pelan. Ia mengungkap bahwa pada usia 11 tahun, ia pernah mengalami pelecehan seksual—sesuatu yang ditekan begitu dalam hingga ia benar-benar tidak mengingatnya. Baru saat pikirannya sedikit tenang, kenangan itu muncul ke permukaan dan menjelaskan luka batin yang selama ini menjadi sumber penderitaannya.

Terapi menjadi jalur penyembuhan berikutnya. Di sana, ia mulai belajar memaafkan—baik pelaku, situasi, maupun dirinya sendiri. “Saya 99% memaafkan. Tapi itu tidak cukup. Anda harus memaafkan 100%,” katanya.

Ia menggambarkan sisa kecil kebencian itu seperti serpihan logam di dalam tubuh—kecil tapi terus terasa. 

Meski kini sudah berhenti minum obat, teman-temannya sempat khawatir ia akan kembali ke titik awal. Namun Foot tahu, sesuatu sudah berubah secara mendasar di dalam dirinya.

Menemukan makna dan komedi baru
Setelah peristiwa itu, kehidupan panggungnya pun ikut berubah. Bersama penulis Aaron Kilkenny-Fletcher, ia menciptakan Dissolve—pertunjukan yang menggabungkan humor surealis dengan kisah pribadi yang menyentuh hati. Dalam satu adegan, ia mungkin melucu tentang makan malam dengan Chuka Umunna, tapi tiba-tiba melontarkan cerita tentang pelecehan masa kecilnya—meninggalkan penonton dalam keheningan mendalam, bukan tawa.

“Keheningan dulu adalah musuh di atas panggung. Tapi sekarang, saya tahu, keheningan juga bisa menyampaikan sesuatu,” katanya. Dalam Dissolve, Paul bukan hanya menghibur, tapi juga membuka ruang refleksi tentang trauma, kesembuhan, dan keberanian untuk berubah.

Tetap lucu, tapi berbeda
Lucu bukan sesuatu yang selalu melekat pada Paul muda. Ia tumbuh sebagai anak pendiam di Buckinghamshire, dan baru mulai melucu di usia 17 tahun. Awal kariernya cepat menanjak, dengan penghargaan BBC New Comedy dan pujian dari tokoh seperti Caroline Aherne. Namun setelahnya, ia melewati masa 13 tahun tampil di panggung-panggung yang dingin dan tak bersahabat.

“Seseorang yang tidak depresi pasti sudah menyerah,” katanya. “Tapi saya terlalu sakit untuk berhenti.” Justru kondisi mentalnya membuatnya bertahan, karena ia tidak tahu cara lain untuk hidup.

Kini, setelah perjalanan panjang, ia menemukan kembali semangatnya—tapi dari tempat yang lebih damai. Ia menyadari bahwa ia bisa memilih untuk bahagia. “Saya selalu merasa gembira sekarang,” katanya dengan senyum. “Kebahagiaan itu bisa menjadi pilihan. Dan sukacita, itu milik semua orang.” (guardian)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan