Luar angkasa tak sepenuhnya senyap. Ada area-area yang mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
Alam semesta kita penuh dengan nebula yang melayang, planet yang berputar, dan lubang hitam misterius. Tapi, jika kita memejamkan mata dan “mendengarkan”, seperti apa suara benda-benda langit itu? Apakah terdengar desiran lembut? Atau mungkin dengungan rendah?
Faktanya, jika Anda benar-benar pergi ke luar angkasa, kemungkinan besar Anda hampir tidak akan mendengar apa pun. Namun, kesunyian ini bukan karena benar-benar tidak ada suara, melainkan karena cara manusia memahami dan memproses bunyi.
“Suara adalah gelombang kompresi,” jelas Chris Impey, profesor astronomi di University of Arizona, seperti dikutip dari Live Science, Selasa (12/8).
Saat suara merambat melalui udara, yang sebenarnya bergerak adalah energi yang menjalar di dalam suatu medium, di mana molekul gas saling bertumbukan. Getaran inilah yang ditangkap telinga dan diterjemahkan otak menjadi suara.
Artinya, saat suara merambat melalui udara, yang sebenarnya bergerak adalah energi yang menjalar di dalam suatu medium, di mana molekul gas saling bertumbukan. Getaran inilah yang ditangkap telinga dan diterjemahkan otak menjadi suara.
Ada tempat-tempat—seperti atmosfer planet lain atau di dekat cakrawala peristiwa lubang hitam—yang memiliki cukup molekul untuk menghantarkan getaran. Namun, karena densitas medium tersebut sangat berbeda dari atmosfer Bumi, suaranya berada di luar jangkauan pendengaran manusia.
Di Mars, para astronom juga merekam suara angin menggunakan detektor akustik pada wahana penjelajah. "Tetapi, karena atmosfer Mars sangat tipis, frekuensinya pun rendah dan nyaris tak terdengar manusia," jelas Impey.
Peneliti menemukan bahwa lubang hitam supermasif di gugus galaksi Perseus mengeluarkan gas yang mirip “sendawa”. Hal ini menciptakan gelombang tekanan, layaknya gelombang suara. Dengan memotret molekul gas yang beriak di ruang angkasa, para ilmuwan menghitung tekanan yang dihasilkan dan memperkirakan seperti apa suaranya.
“Ada pepatah populer ‘tak seorang pun bisa mendengar teriakan Anda di luar angkasa’—dan itu ada alasannya. Luar angkasa memang cenderung sunyi,” kata Kimberly Arcand, ilmuwan visualisasi untuk Chandra X-ray Observatory NASA
Analisis yang dipublikasikan pada di Monthly Notices of the Royal Astronomical Society menunjukkan nada tersebut setara dengan B flat rendah—tepatnya 57 oktaf di bawah middle C. “Nada ini sangat rendah, jauh di luar jangkauan pendengaran manusia,” kata Arcand.
Sonifikasi
Belakangan, ilmuwan mulai “menerjemahkan” suara-suara samar ini menjadi bunyi yang bisa kita dengar. Proses ini disebut sonifikasi—membayangkan seperti apa suara luar angkasa dengan mengubah data astronomi menjadi audio.
Banyak ilmuwan sonifikasi memiliki latar belakang musik. Mereka memadukan keahlian itu dengan data ilmiah, menghasilkan pengalaman mendengar yang tetap setia pada konteks aslinya.
“Saat mengerjakan gugus Perseus, kami berusaha setia pada data nada B flat itu—dan gagasan lubang hitam supermasif yang ‘bersendawa’ ke gas panas,” kata Arcand. Hasilnya? Representasi lubang hitam yang terdengar seperti makhluk besar yang bergemuruh dan bersendawa.
Sonifikasi data NASA telah membuka pintu audiens baru bagi sains antariksa. Suara membuat ruang angkasa terasa lebih dekat karena berkaitan langsung dengan emosi dan memori.
Masih banyak suara luar angkasa yang belum bisa "diterjemahkan". Venus, misalnya, memiliki atmosfer sangat padat sehingga anginnya mungkin terdengar sangat berbeda dari Bumi atau Mars—walau mendaratkan instrumen di planet panas itu bukan perkara mudah.
NASA pun terus merilis sonifikasi baru, mengubah data sinar-X dari galaksi jauh menjadi dengungan, gemuruh, dan letupan kecil—yang kini bisa kita dengarkan.
“Ada simfoni sunyi yang terjadi di alam semesta,” kata Arcand. “Jadi, mengapa tidak kita coba memecahkannya, menerjemahkannya, lalu mendengarkannya sendiri?”