Ketika Malaysia menghadapi tantangan menurunnya angka kelahiran dan berupaya mendorong pertumbuhan populasi, perdebatan tentang arti “keluarga” pun mencuat. Para pakar menyerukan agar masyarakat dan pembuat kebijakan mulai membuka cara pandang terhadap bentuk dan struktur keluarga modern.
Vilashini Somiah, dosen antropologi dari Universiti Malaya, mengatakan bahwa konsep keluarga kini tidak lagi bisa hanya dilihat dari ikatan pernikahan atau hubungan darah semata.
“Bagi banyak anak muda Malaysia saat ini, keluarga bukan hanya sesuatu yang diwariskan sejak lahir, tapi bisa dibangun dari hubungan yang mereka pilih dan maknai sendiri,” ujarnya dalam sebuah forum yang digelar bertepatan dengan Hari Populasi Sedunia.
Munculnya Konsep "Keluarga Pilihan"
Fenomena “keluarga pilihan” kian nyata di kalangan generasi muda: sekelompok sahabat yang tinggal bersama dan saling mendukung, saudara kandung yang tumbuh erat tanpa membentuk keluarga sendiri, atau individu yang memilih hidup tanpa menikah namun tetap berperan dalam komunitas sosial yang kuat.
“Misalnya, seorang wanita muda yang hidup bersama sahabat-sahabatnya, atau seorang pria yang merawat keponakan layaknya anak kandungnya. Mereka tetap menjalani nilai-nilai kekeluargaan meskipun di luar kerangka tradisional,” kata Vilashini.
Namun ia mengakui bahwa institusi formal seperti lembaga pemerintah atau agama masih cenderung memegang teguh definisi keluarga tradisional.
“Kalau lembaga-lembaga ini tidak mau melihat realitas sosial yang berubah, maka kebijakan publik yang dihasilkan pun akan tertinggal,” tegasnya.
Tantangan: Tekanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan
Sebelum membahas gagasan tentang bentuk keluarga yang lebih fleksibel, Vilashini juga menekankan bahwa banyak anak muda di Malaysia sebenarnya masih menginginkan anak. Namun keinginan itu terhambat oleh tekanan ekonomi, biaya hidup yang tinggi, dan ketidakpastian masa depan.
Kondisi ini mencerminkan situasi serupa di Indonesia, di mana generasi produktif juga menghadapi dilema antara keinginan membentuk keluarga dan realitas finansial yang semakin berat.
Perspektif PBB dan pemerintah Malaysia
Perwakilan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) untuk Malaysia, Dr. Julitta Onabanjo, turut mendukung pandangan tersebut. Ia menegaskan bahwa siapa pun yang memilih untuk hidup lajang, tidak menikah, atau tidak memiliki anak tetap harus diakui sebagai bagian dari struktur keluarga.
“Misalnya, seorang paman yang sangat dekat dengan keponakannya juga berhak merasa menjadi bagian dari keluarga, walaupun dia tidak punya anak sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Lembaga Kependudukan dan Pengembangan Keluarga Nasional Malaysia (LPPKN) melalui ketuanya, Datuk Seri Rohani Abdul Karim, mengakui bahwa definisi keluarga kini semakin luas. Namun ia menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai dasar kekeluargaan agar tidak tergerus budaya individualistik seperti yang terjadi di beberapa negara maju.
“Meski seseorang tidak memiliki anak atau tidak menikah, banyak yang tetap menjalani peran sebagai orang tua lewat adopsi atau merawat keponakan. Ini tetap keluarga,” ujarnya.
Dengan prediksi bahwa populasi Malaysia akan mulai menurun pada 2060, Vilashini juga menyoroti perlunya redefinisi peran gender dalam keluarga.
Ia mengkritik pandangan lama yang menempatkan laki-laki hanya sebagai pencari nafkah atau pelindung, sementara tanggung jawab pengasuhan dibebankan pada perempuan.
“Banyak pria juga menjalankan peran pengasuhan, seperti ayah tunggal atau anak laki-laki yang merawat orang tua lanjut usia. Sayangnya, peran-peran ini sering kali tidak terlihat atau bahkan diabaikan,” jelasnya.
Vilashini menyerukan agar masyarakat dan kebijakan publik memberi ruang bagi bentuk maskulinitas baru – yang membolehkan laki-laki menunjukkan kelembutan, empati, dan kerentanan emosional tanpa kehilangan jati diri.
Menuju kebijakan yang inklusif
Ia juga mencontohkan kelompok perempuan dengan kondisi seperti PCOS (Polycystic Ovary Syndrome), yang mungkin tidak bisa punya anak namun tetap memberi kontribusi penting dalam masyarakat dan komunitas mereka.
“Kalau kita ingin membuat kebijakan kependudukan yang efektif, maka masyarakat perlu merasa bahwa mereka adalah bagian dari solusi, bukan sekadar objek dari aturan negara,” pungkasnya. (malaymail)