sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Milenial jadi generasi burnout, benarkah karena tuntutan orang tua?

Sifat milenial ini terbentuk salah satunya akibat faktor kecemasan ekonomi dan tuntutan yang terlalu banyak dari generasi sebelumnya.

Nadia Lutfiana Mawarni
Nadia Lutfiana Mawarni Rabu, 09 Mar 2022 17:08 WIB
Milenial jadi generasi burnout, benarkah karena tuntutan orang tua?

Penulis Anne Helen Petersen baru saja merilis buku berjudul Can't Even: How Millennials Became Burnout Generation.

Buku ini mengulas soal generasi milenial yang akrab dengan burnout atau kondisi kelelahan fisik dan mental secara terus-menerus. Petersen mengidentifikasi karakter ini juga tumbuh akibat pola pengasuhan generasi sebelumnya, di mana orang tua mereka –para generasi baby boomers- terjepit dalam himpitan ekonomi setelah perang dunia kedua dan melahirkan generasi baru pada rentang 1980-1996.

Seperti ditulis The Atlantic, dia juga menggambarkan milenial sebagai generasi yang merasa telah mengoptimalkan kemampuan padahal hanya berfungsi sebagai robot pekerja. Menekankan bahwa sifat milenial ini terbentuk salah satunya akibat faktor kecemasan ekonomi dan tuntutan yang terlalu banyak dari generasi sebelumnya. Meski tak menggambarkan keseluruhan anak 1980 hingga 1990-an, gaya pengasuhan dengan mendikte tuntutan kepada anak secara intensif menjadi penyebab burnout. Gaya pengasuhan ini diterapkan di semua lapisan kelas sosial masyarakat saat itu.

Ekonomi memang memiliki andil besar dalam pola pengasuhan di Amerika. Apalagi jika orang tua harus bekerja keras untuk melunasi hutang.

“Lilitan ekonomi memaksa anak-anak menjadi orang dewasa dalam tubuh mini. Mereka dipaksa memiliki keterampilan dini terkait dengan hal-hal yang dipikirkan orang dewasa,” ujar Petersen dalam wawancaranya bersama The Atlantic.

Contoh paling mudah, imbuh dia, adalah mendoktrin anak sejak dini agar bisa menjangkau kampus-kampus top demi memperoleh pekerjaan impian, yang didefinisikan dengan kemapanan dan gaji besar. Paparan ini tak jarang membuat anak belajar keras untuk menuntaskan tuntutan orang dewasa alih-alih belajar dengan gembira.

Sebagian dari mereka juga tidak menikmati menjadi anak-anak karena dijejali orang tua mereka dengan segudang pengalaman orang dewasa yang tidak relevan, serta mengikuti les dan tambahan mata pelajaran yang tidak mereka butuhkan.

Masa kanak-kanak yang demikian justru berdampak buruk karena anak kehilangan ruang untuk membentuk kepribadian, kemandirian, dan kepercayaan diri. Apapun yang tidak berorientasi pada tujuan pendidikan tinggi, dan bermuara pada pekerjaan akan dihilangkan. “Salah satu hal paling menyedihkan yang terdengar dari milenial adalah mereka mencapai titik kelelahan dengan pekerjaan. Namun tidak tahu tentang apa yang benar-benar mereka sukai,” imbuh dia.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid