close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang tanpa rasa takut. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi orang tanpa rasa takut. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 26 September 2025 19:10

Penyakit misterius yang bikin orang tak punya rasa takut

Kisah pasien tanpa amigdala yang tak merasakan takut mengungkap peran otak terhadap rasa takut, panik, dan kecemasan—serta mengapa emosi ini berevolusi pada manusia.
swipe

Bayangkan melompat dari sebuah pesawat dan tidak merasakan apa-apa. Tidak ada ledakan adrenalin atau detak jantung yang berpacu. Itulah kenyataan bagi Jordy Cernik, seorang pria Inggris yang kelenjar adrenalnya diangkat untuk mengurangi kecemasan akibat sindrom Cushing, penyakit langka yang terjadi ketika kelenjar adrenal memproduksi terlalu banyak kortisol, hormon stres.

Perawatan itu bekerja terlalu efektif. Jordy berhenti merasa cemas. Pada perjalanan tahun 2012 ke Disneyland, ia naik wahana roller coaster dan menyadari bahwa ia tidak merasakan takut sama sekali. Sejak itu, ia terjun payung dari pesawat, meluncur di zip-line dari Jembatan Tyne di Newcastle, dan turun abseiling dari gedung Shard di London. 

Pengalaman Cernik memang jarang, tetapi bukan satu-satunya. Ini mungkin terdengar familiar bagi siapa pun yang hidup dengan penyakit Urbach-Wiethe (juga dikenal sebagai lipoid proteinosis), sebuah kondisi genetik yang begitu langka sehingga hanya sekitar 400 orang di dunia yang pernah didiagnosis mengidap penyakit itu. 

Salah satu pasien Urbach-Wiethe yang terkenal, dikenal sebagai SM, telah menjadi subjek studi ilmiah di Universitas Iowa, AS sejak pertengahan 1980-an. Pada awal 2000-an, Justin Feinstein adalah mahasiswa pascasarjana ketika ia bergabung dengan tim tersebut dan mulai mencari cara untuk menakuti SM.

“Kami memperlihatkan padanya setiap film horor yang bisa kami temukan,” kata Feinstein, kini neuropsikolog klinis di Float Research Collective, seperti dikutip dari BBC Futures. 

Namun, film-film seram seperti The Blair Witch Project, Arachnophobia, The Shining, atau Silence of the Lambs tidak menimbulkan rasa takut padanya. Bahkan tur ke Waverley Hills Sanatorium, rumah hantu yang menyeramkan, sama sekali tidak berpengaruh.

“Kami juga memperkenalkannya pada ancaman nyata seperti ular dan laba-laba. Tapi tidak hanya dia menunjukkan kekurangan rasa takut yang nyata, dia malah terdorong untuk mendekati mereka. Dia memiliki rasa ingin tahu yang hampir tak terbendung untuk menyentuh dan berinteraksi dengan makhluk-makhluk itu,” kata Feinstein. 

Penyakit Urbach-Wiethe disebabkan oleh satu mutasi pada gen ECM1, yang terletak di kromosom 1. ECM1 adalah salah satu dari banyak protein penting untuk mempertahankan matriks ekstraseluler (ECM), jaringan penyangga yang menahan sel dan jaringan pada tempatnya. 

Ketika ECM1 rusak, kalsium dan kolagen mulai menumpuk, menyebabkan kematian sel. Salah satu bagian tubuh yang tampaknya sangat rentan terhadap proses ini adalah amigdala, bagian otak berbentuk almond yang lama diyakini berperan dalam memproses rasa takut.

Dalam kasus SM, ia berhenti merasakan takut ketika penyakit Urbach-Wiethe menghancurkan amigdala-nya. “Yang luar biasa adalah bahwa ini spesifik pada rasa takut – kemampuannya memproses emosi lain sebagian besar tetap utuh, baik itu kebahagiaan, kemarahan, atau kesedihan,” kata Feinstein.

Namun, ceritanya lebih rumit. Ternyata amigdala lebih berperan pada tipe rasa takut tertentu dibanding yang lain. Misalnya, amigdala tampaknya penting untuk fear conditioning (pengondisian rasa takut). Eksperimen pada hewan pengerat menunjukkan bahwa hewan yang mengalami sengatan listrik segera setelah mendengar suara belajar untuk "membeku" hanya dengan mendengar suara itu saja.

SM tentu tahu tidak boleh menyentuh panci panas yang baru keluar dari oven, tetapi ia tidak bisa mengalami fear conditioning. Ia tidak merasakan detak jantung berpacu atau adrenalin meningkat ketika menghadapi rangsangan yang sebelumnya diasosiasikan dengan rasa sakit. SM juga tidak mampu mengenali ekspresi wajah ketakutan orang lain, meski ia bisa mengenali ekspresi gembira dan sedih.

Ia juga sangat ramah dan suka bersosialisasi, tetapi kesulitan mengenali dan menghindari situasi berbahaya, yang telah membuatnya beberapa kali diancam dengan pisau dan senjata api. "Ia beberapa kali mendapat masalah akibat ketidakmampuannya merasakan apakah seseorang dapat dipercaya,” kata Feinstein.

Dalam satu studi, peneliti meminta seorang asing mendekati SM, yang diminta menunjukkan jarak paling nyaman baginya. Jarak pilihannya adalah 0,34 meter (1,1 kaki), hampir setengah jarak rata-rata relawan lain, menunjukkan bahwa ia sangat nyaman dengan orang asing berada di ruang pribadi.

“Dalam situasi seperti itu, SM dan individu lain dengan kerusakan amigdala akan berhadap-hadapan sangat dekat dengan peneliti yang relatif asing, sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan peserta sehat dengan amigdala utuh,” kata Alexander Shackman, profesor psikologi di University of Maryland, AS.

Temuan ini menunjukkan bahwa amigdala mungkin berperan dalam mengatur bagaimana kita merespons dunia sosial. Namun, ada beberapa jenis rasa takut yang tampaknya terjadi terlepas dari amigdala. 

Dalam satu eksperimen, Feinstein dan rekan-rekannya meminta SM menghirup karbondioksida yang memicu perasaan takut dan sesak napas pada sebagian orang. Para ilmuwan berharap SM akan tetap tak gentar, tetapi ternyata ia panik. 

Dua pasien lain yang juga mengalami kerusakan amigdala juga mengalami ketakutan hebat selama eksperimen. “Dalam kasus SM, itu memicu serangan panik penuh. Itu adalah rasa takut paling intens yang pernah ia rasakan sepanjang hidup dewasanya,” kata Feinstein. 

Ilustrasi ketakutan. /Foto Unsplash

Dua jalur rasa takut

Temuan ini membuat Feinstein melakukan pencarian selama satu dekade tentang kebenaran peran amigdala dalam rasa takut. Ternyata, ada dua jalur rasa takut berbeda di otak, tergantung ancamannya eksternal atau internal.

Ketika ancaman eksternal, amigdala bertindak seperti konduktor orkestra, mengarahkan bagian otak dan tubuh lain untuk menghasilkan respons. Pertama, ia menerima informasi dari area otak yang memproses penglihatan, penciuman, rasa, dan pendengaran. 

Jika amigdala mendeteksi ancaman, seperti pencuri mendekat, ular atau beruang, ia mengirim pesan ke hipotalamus, wilayah tepat di atas belakang leher. Hipotalamus kemudian berkomunikasi dengan kelenjar pituitari, yang selanjutnya memberi sinyal ke kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol dan adrenalin ke aliran darah.

“Ini akan membuat detak jantung naik, tekanan darah meningkat, dan semua gejala klasik respons takut fight-or-flight muncul,” kata Feinstein.

Namun, untuk ancaman internal, seperti mendeteksi peningkatan kadar CO2 dalam darah, otak mengaturnya dengan cara berbeda. Tubuh menafsirkan CO2 tinggi sebagai tanda sesak napas yang akan datang, karena tidak ada sensor oksigen di otak. 

Penelitian Feinstein menunjukkan bahwa batang otak, wilayah yang mengatur fungsi tubuh tak sadar seperti bernapas, yang mendeteksi kenaikan CO2 dan memicu rasa panik. Amigdala memberi “rem” pada respons ini, mencegah rasa takut; itulah sebabnya pasien seperti SM, yang kehilangan amigdala, memiliki respons berlebihan. 

“Ini hasil ilmiah yang sangat signifikan, karena mengajarkan kita bahwa amigdala tidak penting untuk semua bentuk rasa takut, kecemasan, dan panik,” kata Shackman. 

“Tampaknya amigdala penting untuk mengatur rasa takut akibat ancaman eksternal, seperti perampok, ular, laba-laba, monster di rumah hantu, tetapi tidak bertanggung jawab memicu rasa panik kuat akibat pemicu internal ini.”

Tentu, SM hanyalah satu orang. Jadi, temuan ilmiah berdasarkan pengalamannya belum tentu berlaku untuk semua orang. Keunikan kasusnya adalah penyakitnya hampir sepenuhnya menghancurkan amigdala sambil meninggalkan area otak lain utuh. Namun, orang dapat merespons jenis cedera otak yang sama dengan cara berbeda. Usia saat kerusakan otak terjadi juga berperan dalam pemulihan seseorang.

Namun demikian, kisah luar biasa SM menyoroti mengapa kita berevolusi memiliki rasa takut sejak awal. Semua vertebrata – termasuk mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan – memiliki amigdala, dan jelas itu merupakan bantuan besar untuk bertahan hidup.

“Ketika amigdala rusak dan Anda mengembalikan hewan ke alam liar, hewan itu biasanya akan mati dalam hitungan jam atau hari,” kata Feinstein. “Karena tanpa sirkuit penting untuk menavigasi dunia luar ini, hewan-hewan tersebut menempatkan diri mereka dalam situasi berbahaya.”

Namun, SM berhasil hidup lebih dari setengah abad tanpa amigdala, meskipun pernah berada dalam situasi yang sangat berbahaya. “Salah satu pertanyaan yang kasusnya munculkan bagi saya adalah, mungkin emosi primal berupa rasa takut sebenarnya tidak diperlukan dalam kehidupan modern?" tanya Feinstein. 
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan