Kalau pasangan sedang tidak bahagia, jarang sekali mereka menyampaikan keluhannya secara terang-terangan. Alih-alih berkata “Aku lagi nggak senang” saat bertengkar, mereka justru jadi lebih sinis, menyabotase pasangan, atau sengaja memancing emosi negatif.
Psikolog sekaligus penulis buku The Anxiety Toolkit, Alice Boyes mengatakan ada banyak pola komunikasi yang secara diam-diam mengindikasikan pasangan kita sedang tak bahagia. Pesan yang ingin disampaikan: "Kalau aku nggak bahagia, kamu juga harus merasakannya.”
Kalau satu-dua perilaku muncul, mungkin hanya tanda adanya keluhan spesifik. Tapi, bila banyak tanda ini hadir sekaligus, biasanya itu sinyal jelas ketidakbahagiaan. Meski perasaan kesal, marah, atau jengkel terasa “beralasan”, bukan berarti kita punya kebebasan untuk bersikap merusak.
Menyentuh titik sensitif pasangan
Orang yang sedang tak bahagia kerap sengaja mengusik titik sensitif pasangannya: membandingkan dengan saudara kandung secara negatif, atau memicu kecemasan soal citra tubuh.
"Di momen yang lebih baik, ia mungkin pernah mendengarkan dengan penuh simpati. Namun kemudian, kerentanan yang pernah diceritakan itu dibawa lagi dengan nada menyakitkan. Di sisi penerima, rasanya seperti ditusuk pisau emosional," ujar Boyes seperti dikutip dari Psychology Today, Senin (15/9)
Mengusik hal yang disukai pasangan
Polanya lebih halus dan tak selalu terlihat berbahaya. Bukan mengejek pribadi pasangan secara langsung, melainkan menyindir kesukaan kecilnya, separti serial TV favorit, olahraga, atau bahkan sahabatnya.
"Contohnya, berkomentar betapa “berbahayanya” sepak bola ketika pasangannya senang menontonnya. Variasi lainnya adalah mengolok teman pasangan dengan sebutan aneh, pecundang, atau sok hebat," kata Boyes.
Mengkritik perawatan diri yang sebenarnya wajar
Ketika seseorang tak bahagia, mereka cenderung mengkritik perawatan diri pasangannya seolah-olah itu tindakan egois, padahal tidak. Kritiknya bisa soal waktu atau biaya: iuran gym, meditasi, hingga kegiatan kecil lain.
Ada dugaan alasan evolusioner di balik sabotase ini. Penelitian menunjukkan orang cenderung berpasangan dengan mereka yang punya “nilai pasangan” serupa.
"Jadi, ketika satu pihak memperbaiki kesehatan, kebugaran, atau penampilan, pasangan yang tak bahagia bisa merasa terancam—seolah-olah itu tanda ia sedang memperindah diri untuk orang lain atau bersiap keluar dari hubungan," tutur Boyes.
Menghitung-hitung jasa
Pasangan yang bahagia biasanya tidak menghitung-hitung apa yang mereka lakukan. Tapi ketika tak bahagia, setiap kebaikan dianggap utang yang harus dibalas sebelum melakukan hal lain. Bahkan pekerjaan rumah tangga bisa jadi ajang hitung-hitungan—misalnya, berapa kali ia memandikan anak minggu ini.
"Jenis lainnya adalah hitung-hitungan dana bersama: “Kamu habiskan Rp1 juta untuk barangmu, jadi aku juga akan habiskan Rp1 juta untuk keperluanku," jelas Boyes.
Menahan pujian
Pasangan yang tak bahagia akan menahan diri untuk tidak memuji meski mereka menikmati hasil jerih payah pasangan. Misalnya, diam saja setelah menyantap makan malam enak, atau pura-pura tak melihat halaman rumah yang makin rapi setelah berjam-jam dirawat.
Pola-pola ini, kata Boyes, umum terjadi sebagai respons terhadap ketidakbahagiaan. Tetapi, yang bersifat umum bukan berarti tak bisa diubah atau dibenarkan untuk jangka panjang. Begitu kita bisa mengenalinya, kita bisa merespons dengan lebih sadar.
"Kalau kita yang jadi sasaran, pemahaman ini membantu kita tidak membela diri atas setiap detail dan melihat bahwa rangkaian perilaku ini biasanya tanda ketidakbahagiaan umum, bukan keluhan tulus tentang hobi atau kebiasaan kita," ujar dia.