close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi influencer nutrisi di media sosial. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi influencer nutrisi di media sosial. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 04 Oktober 2025 17:09

Tren diet di media sosial: antara mitos, ilusi, dan bukti Ilmiah

Mayoritas tren diet viral di media sosial tidak ilmiah, kecuali peningkatan serat yang terbukti menyehatkan.
swipe

Sydney Hurley, 27 tahun, mengaku kerap bingung saat scrolling di laman Instagram pribadinya. Feed akun pegawai Departemen Pertahanan AS di Washington DC itu dipenuhi unggahan dari akun Instagram bertema kesehatan perempuan. 

“Informasinya sering saling bertentangan. Sulit menentukan perspektif mana yang bisa dipercaya,” ujar Hurley seperti dikutip dari National Geographic, Sabtu (4/10). 

Hurley mungkin bukan satu-satunya warganet yang merasakan hal itu. Sebuah studi menemukan 86% persen konten gizi di Instagram tak punya rujukan ilmiah. Penelitian lain menunjukkan hampir separuh unggahan soal nutrisi di platform itu ternyata penuh ketidakakuratan. 

Situasi serupa juga terjadi di TikTok. Peneliti Harvard mendapati 97% video populer tentang suplemen penurun berat badan, pembentuk otot, hingga detoks sama sekali tanpa bukti ilmiah.

Fenomena ini bukan sekadar kasus di dua platform besar. Tinjauan atas 64 studi yang mengupas berbagai laman dan media sosial menyimpulkan: separuh di antaranya membagikan informasi gizi dengan akurasi rendah.

“Sering kali informasi yang akurat bercampur dengan misinformasi. Ini membuat pengguna kesulitan memilah mana yang benar,” kata Emily Denniss, dosen nutrisi kesehatan masyarakat di Deakin University, Australia.

Masalahnya, saran menyesatkan itu bisa berujung bahaya. Pola makan ketat semacam diet keto atau puasa detoks, misalnya, bisa menghapus satu kelompok makanan sekaligus nutrisinya. 

Denniss khawatir promosi diet ekstrem semacam itu berisiko memicu gangguan makan. “Belum lagi uang yang terbuang untuk suplemen yang sejatinya tak perlu, bahkan tidak efektif,” tambahnya.

Sebagian besar misinformasi ini lahir dari “sebutir kebenaran”. Diet bebas lektin, misalnya. Para influencer menyarankan menjauhi makanan yang mengandung lektin—protein alami dalam tanaman, hewan, dan mikroorganisme—mulai dari kacang-kacangan, biji-bijian, hingga beberapa sayuran dan buah. 

Lektin dituduh memicu “leaky gut”, menurunkan imun, menaikkan berat badan, bahkan merusak organ. Emadeldin Konozy, peneliti di University of Cape Coast, Ghana, menjelaskan konsumsi lektin tertentu dalam jumlah tinggi memang bisa bikin perut bermasalah: mual hingga diare.

Tetapi, sains berkata lain. "Anggapan bahwa semua lektin berbahaya adalah mitos. Dampaknya bergantung pada target unik masing-masing, layaknya kunci dan gembok,” kata Konozy.

Masalahnya, para influencer kerap mengabaikan satu hal sederhana: memasak. Konozy menegaskan merebus kacang atau biji-bijian hingga lunak bisa mengurai sebagian besar lektin. "Dan menghilangkan sifat toksiknya," imbuh dia. 

Demikian juga pada diet karnivora atau diet keto yang paling ekstrem. Pada topik itu, para influencer menyarankan hanya makan produk hewani—daging, ayam, telur. Tidak ada buah, sayur, biji-bijian, atau karbohidrat lain. Digadang-gadang menurunkan gula darah, mengurangi peradangan, hingga mengobati autoimun. 

Ahli gizi klinis di University of Thessaly, Yunani, sekaligus peneliti di Tufts University, Renata Micha membenarkan bahwa mengganti karbohidrat makanan kaya serat atau lemak sehat memang menyehatkan. Sayangnya, penelitian jangka panjang soal diet karnivora belum ada. 

Selain itu, diet jenis ini menghapus makanan yang terbukti menyehatkan: buah, sayur, kacang-kacangan, biji-bijian. Padahal semua itu kaya serat, antioksidan, dan fitonutrien—pilar utama diet nabati sehat yang menurunkan risiko penyakit kronis.

“Banyak klaim soal ‘kejernihan mental’ atau ‘reset usus’ di media sosial itu hanya berdasarkan pengalaman pribadi, bukan bukti ilmiah,” jelas Micha.

Menurut Micha, asupan serat penting untuk mencegah sembelit, turunkan kolesterol, jaga gula darah, hingga menyehatkan mikrobioma usus. Serat makanan konsisten berkaitan dengan penurunan risiko penyakit jantung, diabetes tipe 2, kanker usus besar, dan perbaikan kesehatan usus.

"Serat bekerja dengan banyak cara: membentuk gel di usus sehingga memperlambat pencernaan, mencegah lonjakan gula darah, bikin kenyang lebih lama, serta menurunkan kolesterol jahat," kata dia. 

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Cara memilah informasi 

Lalu bagaimana memilah mana klaim gizi yang sahih? Para pakar menyarankan sejumlah cara. Pertama, cek keahlian influencer di media sosial. Bio akun penting: dietisien terdaftar atau sarjana gizi dari kampus terakreditasi biasanya lebih kredibel. 

Jangan tertipu pada gelar dokter yang ditampilkan di akun media sosial. Gelar dokter tak otomatis berarti paham gizi—75 persen sekolah kedokteran bahkan tak mewajibkan kuliah nutrisi.

Kedua, cek sains. Situs CDC dan NIH menyediakan informasi berbasis bukti soal vitamin, mineral, suplemen, kolesterol, dan banyak lagi. PubMed juga bisa diakses gratis.

Terakhir, hati-hati dengan red flag. Testimoni personal yang menyembuhkan segala penyakit, diet yang menghapus satu kelompok makanan, akun yang menjual produk, atau klaim mengejutkan nan kontradiktif—semua itu tanda peringatan.

“Misinformasi sering dirancang untuk mengejutkan, menarik perhatian, dan meningkatkan interaksi,” kata Dennis. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan