close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bibir seseorang./Foto Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi bibir seseorang./Foto Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 06 Oktober 2025 13:00

Ukuran bibir bisa mengubah persepsi terhadap daya tarik wajah seseorang

Penilaian terhadap penampilan seseorang dapat memengaruhi banyak hal, mulai dari pemilihan pasangan dan keputusan perekrutan.
swipe

Temuan yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Toyal Society B memberikan wawasan baru tentang bagaimana otak memproses persepsi wajah dan memiliki implikasi penting dalam memahami tren prosedur kosmetik.

Studi yang diterbitkan pada April lalu itu menemukan, satu fitur wajah, yakni ukuran bibir, dapat memengaruhi cara kita menilai daya tarik seseorang. Preferensi ini sangat bergantung pada jenis kelamin wajah yang dilihat, serta jenis kelamin orang yang menilai, dan standar daya tarik ternyata bisa berubah dengan cepat tergantung pada apa yang baru saja kita lihat.

Penilaian terhadap penampilan seseorang dapat memengaruhi banyak hal, mulai dari pemilihan pasangan, keputusan perekrutan, hingga hasil kasus hukum. Meski begitu, cara kerja otak dalam menentukan daya tarik belum sepenuhnya jelas.

Kenyataannya, orang sering mencoba meningkatkan penampilan dengan fokus pada satu fitur tertentu, misalnya lewat riasan, operasi plastik, atau suntik filter. Para peneliti dari Universitas Sydney dan Universitas Queensland terdorong menguji apakah mengubah satu fitur lokal saja, dalam hal ini bibir, cukup untuk memengaruhi persepsi daya tarik wajah secara keseluruhan.

Untuk membuktikannya, para peneliti melakukan serangkaian eksperimen. Pertama, 32 partisipan yang terdiri dari 16 pria dan 16 perempuan, diperlihatkan 24 wajah berbeda, yakni 12 wajah pria dan 12 wajah perempuan semuanya dengan ekspresi netral.

Setiap wajah dimodifikasi secara digital menjadi tujuh versi dengan ukuran bibir yang bervariasi, mulai dari jauh lebih tipis, ukuran asli, hingga jauh lebih penuh. Total ada 168 gambar unik, yang ditampilkan dalam waktu singkat. Partisipan kemudian diminta menilai daya tarik tiap gambar menggunakan bilah geser.

Hasil penelitian menemukan, pola yang konsisten berdasarkan jenis kelamin wajah. Rata-rata, wajah perempuan dinilai paling menarik ketika bibirnya sedikit lebih penuh daripada ukuran asli. Sebaliknya, wajah laki-laki dinilai paling menarik ketika bibirnya justru sedikit lebih tipis.

“Temuan ini mendukung gagasan bahwa ciri-ciri wajah tertentu terkait erat dengan maskulinitas dan femininitas, dan ciri-ciri tersebut dapat membentuk persepsi kita terhadap kecantikan,” tulis PsyPost.

Para peneliti kemudian menganalisis data dengan memisahkan penilaian partisipan pria dan perempuan. Hasilnya, memberikan gambaran yang lebih jelas. Dalam studi ini, partisipan perempuan memberi nilai tertinggi pada wajah perempuan dengan bibir yang diperbesar. Sebaliknya, partisipan pria tak menunjukkan preferensi untuk bibir yang lebih penuh. Bagi mereka, wajah perempuan dengan ukuran bibir asli justru dinilai paling menarik.

Pola serupa juga terlihat pada wajah pria. Preferensi terhadap bibir yang lebih tipis pada wajah pria paling kuat muncul di kalangan partisipan pria. Menariknya, baik pria maupun perempuan cenderung memberikan penilaian yang lebih tinggi dan konsisten pada wajah dengan gender yang sama. Hal ini menunjukkan, orang lebih yakin ketika mengevaluasi wajah dari kelompok sosialnya sendiri.

Dalam percobaan kedua, para peneliti menggunakan teknik yang disebut adaptasi visual, yakni kondisi ketika menatap suatu gambar dalam waktu lama dapat memengaruhi cara kita melihat gambar berikutnya. Peserta diperlihatkan wajah dengan bibir yang lebih lebar atau lebih tipis selama 15 detik. Setelah itu, mereka menilai daya tarik wajah lain dengan variasi ukuran bibir yang sama seperti sebelumnya.

Hasilnya, ada efek adaptasi yang kuat. Setelah melihat wajah dengan bibir yang diperlebar, preferensi peserta bergeser ke arah bibir yang lebih penuh. Sebaliknya, setelah melihat wajah dengan bibir yang dipersempit, mereka cenderung lebih menyukai bibir yang lebih tipis.

Artinya, “standar” internal otak tentang ukuran bibir yang menarik dapat berubah hanya karena pengalaman visual terbaru. Efek ini paling kuat jika wajah adaptasi dan wajah uji adalah orang yang sama, tetapi tetap muncul meski keduanya orang berbeda. Dengan kata lain, adaptasi ini dapat meluas dan memengaruhi persepsi daya tarik secara lebih umum.

Eksperimen terakhir dilakukan untuk menguji batas efek ini sekaligus mempertanyakan teori kalau wajah hanya diproses secara holistik. Hasilnya, paparan pada gambar bibir yang terisolasi saja sudah cukup untuk mengubah penilaian daya tarik wajah berikutnya.

Studi ini sejalan dengan riset sebelumnya tentang faktor yang membuat bibir tampak menarik, namun menambahkan dimensi baru. Dari perspektif evolusi, bibir penuh pada perempuan sering dikaitkan dengan tanda-tanda kemudaan, kesehatan, dan kesuburan.

Para peneliti memperingatkan, mekanisme adaptasi visual, meski biasanya bermanfaat untuk membantu sistem sensorik kita menyesuaikan diri dengan lingkungan, juga bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan dalam kehidupan modern.

“Paparan berulang terhadap bibir yang diperbesar secara artifisial hingga melampaui batas alami dapat memicu siklus di mana hanya bibir yang semakin besar yang dianggap menarik oleh orang yang sudah terbiasa melihatnya,” tulis para peneliti.

“Akhirnya, hal ini bisa berujung pada dismorfia bibir.”

Proses ini mirip dengan dismorfia tubuh, di mana paparan terhadap tubuh yang sangat kurus dapat mengubah persepsi seseorang tentang apa yang dianggap normal dan menarik. Studi ini menunjukkan, efek adaptasi tidak hanya terjadi pada tubuh secara keseluruhan, tetapi juga pada fitur wajah tertentu. Artinya, ketika seseorang menjalani prosedur kosmetik, pandangan mereka tentang daya tarik bisa menyesuaikan dengan penampilan barunya—yang berpotensi mendorong perubahan lebih lanjut.

“Penelitian kami menyoroti betapa subjektifnya kecantikan dan bagaimana faktor sosial serta budaya sangat memengaruhi persepsi itu,” kata salah seorang peneliti, David Alais, dikutip dari PsyPost.

“Seiring semakin mudahnya akses terhadap prosedur kosmetik, penting bagi kita untuk memahami bagaimana intervensi ini dapat membentuk cara pandang kita, bahkan menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan