sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Muhammad Sufyan Abdurrahman

Menjaga bangsa di unicorn dan decacorn Indonesia 

Muhammad Sufyan Abdurrahman Jumat, 27 Des 2019 20:37 WIB

Pada lansiran Alinea.id pada 1 November menyebutkan, Indonesia menjadi 10 besar negara dengan penghasil perusahaan rintisan digital (start up) bervaluasi di atas US$1 miliar atau terbanyak di dunia.

Pertumbuhan Indonesia, sambung firma bisnis Inggris, Bain & Company, cukup signifikan di regional Asia Tenggara. Pada akhir 2018, terdapat 10 perusahaan yang berstatus unicorn di Asia Tenggara. Unicorn artinya perusahaan rintisan digital tersebut mempunyai valuasi senilai satu miliar dolar AS.

Dari 10 perusahaan unicorn di Asia Tenggara itu, Indonesia menyumbang empat unicorn yaitu Gojek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak. Bahkan, dari empat nama tersebut, Gojek telah menyandang label decacorn alias sudah mempunyai valuasi perusahaan sebesar 10 miliar dolar AS/Rp140,020 triliun (US$1 = Rp 14.020 kurs BI, Senin 25 November 2019). 

Raihan Gojek memang masuk akal. Setidaknya jika kita komparasikan dengan data riset ilmiah terpercaya. Misalnya dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FBUI), yang sudah dua tahun berturut (2017 dan 2018) merilis riset bertajuk “Dampak GOJEK Terhadap Perekonomian Indonesia.”

Poin penting riset tersebut adalah kontribusi Gojek ke ekonomi Indonesia selama dua tahun tersebut telah mencapai hampir Rp60 triliun! (Lihat Tabel 1). LD FBUI sendiri melakukan riset metode kuantitatif tema serupa ini terhadap 7.500 responden mitra Gojek di 9 kota besar Indonesia di 2017 serta 6.732 responden di 9 kota besar Indonesia di tahun 2018). Selain kontribusi ekonomi, data-data menarik lainnya bisa disimak berikut ini:

Sumber: Olahan penulis pada dua riset “Dampak GOJEK Terhadap Perekonomian Indonesia”, 2018 dan 2019  

Wakil Kepala LD FEB UI, Paksi C.K. Walandouw menjelaskan, kontribusi yang semakin besar dari Gojek menunjukkan, teknologi informasi komunikasi (TIK) kian mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi. Gojek sebagai salah satu pemain utama industri teknologi di Indonesia telah menunjukkan kemampuan inovasi teknologinya dalam memperluas peluang penghasilan masyarakat.

Sejalan perubahan masyarakat 

Merujuk hasil riset 2017-2018 Lembaga Riset Telematika Sharing Vision (SV) bertajuk “e-Commerce Survey”, pencapaian unicorn dan decacorn memang keniscayaan. Sebab, rata-rata pengeluaran belanja rumah tangga secara daring (online) sudah melampaui alokasi belanja luring (offline). 

Misalnya untuk pula alokasi kosmetik Rp237 ribu dibandingkan yang masih alokasikan secara offline Rp221 ribu. Kuota belanja buku, hobi, dan koleksi Rp316 ribu sementara kuota belanja secara offline Rp239 ribu. Alokasi offline yang masih kuat di garmen/fashion karena harus mencoba dulu dengan perbandingan alokasi offline Rp690 ribu sementara online Rp594 ribu. 

Responden Sharing Vision, yang umumnya di kota besar Indonesia, juga menyebutkan metode online sudah mendominasi keseharian pembayaran (payment) mereka. Misalnya 90% sudah booking pesawat via daring, 87% transportasi daring, serta pembelian pulsa token listrik prabayar 60%. 

Kemudian, dalam estimasi SV, perubahan ini selaras pertumbuhan jumlah official store pada marketplace yang tumbuh 300% dengan angka penjualan selalu naik 3-4 kali lipat setiap tahunnya. Bahkan, salah satu marketplace nasional sudah merilis angka penjualan tahunan mereka hingga puluhan triliun.  

Karenanya, dalam hemat penulis, bahwa umumya di Indonesia dan khususnya kota-kota besar di Indonesia telah dan sedang dalam arus kencang perpindahan belanja dan payment dari platform offline ke platform online. A massive crossover

Hal ini pula yang kemudian membuat unicorn yang belum genap beroperasi 10 tahun, Gojek, bisa disemati decacorn karena tumbuh demikian eksponensial. Data 2018 menunjukkan, mereka punya sedikitnya 2.900 employer di 3 negara, 65 juta user, 1,2 juta mitra driver, 300 ribu merchant, serta sudah tersedia pada 75 kota dari Aceh hingga Manado.  

Capaian ini, jelas, sama fenomenalnya dengan apa yang diraih terutama dari Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Maka, fokus kita selanjutnya sebagai anak bangsa adalah memastikan kepentingan merah putih selalu terjaga dalam fenomena dahsyat ini. 

Selain tentunya, kita harus selalu pastikan bahwa usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang diprediksikan minimal 10 juta orang terkait massive crossover ini, mereka tetap terjaga keberlangsungannya. Berdikari di kaki sendiri harus terlindungi di negeri tercinta ini! 
 

War between world

Kita ketahui bersama setelah operator seluler, ranah ekonomi digital melalui jalur start up ini pun menjadi bidikan investor asing. Sebagai negara dengan pengguna internet sudah lewat dari 50% penduduknya (260 juta), pangsa pasar ini sungguh menggiurkan. Simak Gambar 1 tentang investor asing di decacorn dan unicorn tersebut:

Investor asing pada unicorn dan decacron

Dari tabel di atas, kita sudah melihat tendensi betapa ngebet dan ngiler-nya investor asing masuk negeri ini. Inilah wujud konsep yang banyak pakar bisnis sebut sebagai perang mutakhir (war between world) yang harus kita hadapi bersama, manakala rebutan kepentingan di lini TIK semakin ketat saja. 

Apabila investor luar yang tak berseri duitnya ini tak kita batasi, tak dijaga koridor usahanya, maka mereka selalu siap menjadi pemilik mayoritas dari pelbagai unicorn di atas. Itu pula yang selalu mungkin yang menjadi motivasi besar mereka. 

Jika investor asing yang raksasa ini hanya sekedar leluasa berusaha di tanah air tanpa memberi nilai tambah lokal yang benefisial, maka lagi-lagi kita menahbiskan diri sebagai pasar super gemuk yang hanya bisa menonton kejayaan pelaku TIK asing. Cukupkah hal tersebut menyeruak di pangsa bisnis seluler tanah air. Sudah cukup preseden capital flight pada operator seluler. 

Untuk itulah, kiranya ada dua poin penting yang harus dilakukan regulator terkait terutama Kementerian Komunikasi Informatika. Pertama, regulator terkait semestinya menjangkau ranah ini bukan hanya dari sisi penetrasi aplikasi, tapi juga aktif pada pengaturan sekaligus pengawasan secara ketat. Terutama harapannya, agar mayoritas saham dari decacorn dan unicorn kebanggaan Indonesia ini tetap berwarna merah putih tidak sampai pindah negara! 

Tanpa spirit kebanggaan kepemilikan nasional ini, maka kita kembali jadi pasar gemuk seraya selalu gigit jari. Kita harus belajar banyak dari pelbagai kejadian kurang sigapnya antisipasi regulator, sehingga ketika kemudian bergerak, sudah terlambat diprioritaskan guna kepentingan bangsa.  

Kedua, sekira ada tarik kepentingan antar negara, salah satunya melalui diplomasi jalur World Trade Organization (WTO), maka regulator terkait menggunakan pendekatan yang disebut pemikir Inggris,  Anthony Giddens, sebagai The third way. Yakni prinsip penguasan peta masalah secara baik dan benar antara lain dengan memetakan para pihak yang berkepentingan secara detil sehingga dampak terprediksikan jauh-jauh hari. Selepas itu, pengambilan keputusan dilakukan langsung oleh pucuk pimpinan tertinggi di sebuah negeri karena subtansi masalahnya terlanjur meluas ke segala bidang.

The third way juga menuntut posisi regulator harus selalu ajeg (stance) dari awal dengan penuh konsideran, bukan sekedar menentukan sikap setelah terdesak keadaan. Namun di saat bersamaan, harus bisa bersikap visioner dan bisa menyeimbangkan benefit nasional dan peran global. Jagalah selalu menjaga kepentingan bangsa pada unicorn dan decacorn Indonesia!!

 

Berita Lainnya
×
tekid