sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Rahmat Yananda

Resiliensi lawan Covid-19

M Rahmat Yananda Senin, 06 Apr 2020 15:15 WIB

Munculnya resiliensi

Saya mendapatkan informasi yang menguatkan di tengah krisis yang  mendera. Ternyata warga telah bergerak membangun ketahanan di lingkungannya melawan wabah Covid-19. Ketika menyerahkan paket sembako untuk tetangga yang terdampak, khsususnya untuk para pengemudi ojek daring dan pangkalan, sebagai bagian dari kampanye #bantutetanggamu# Iluni UI yang berfokus di lingkungan tempat tinggal, ketua rukun tetangga (RT) menceritakan bahwa beliau bersama warga telah mengumpulkan dan mendistribusikan beragam bantuan kepada tetangganya, bahkan logistik untuk warga dalam status PDP. 

Di ruang lain, aktivis dan influencer yang biasa bersuara di dunia maya memilih untuk terlibat langsung di dunia nyata. Seorang aktivis menggalang donasi dan mendistribusikan makanan untuk komunitas ojek daring. Seorang influencer di media sosial mengumpulkan dan mendistribusikan APD (Alat Pelindung Diri) berkeliling ke banyak rumah sakit mendukung tenaga kesehatan. Bahkan Ismail Fahmi, pakar media sosial dan pencipta aplikasi drone emprit mengolaborasikan beragam pihak untuk memproduksi masker.  

Komunitas perguruan tinggi bergerak secara mandiri dan bersama-sama. Iluni UI bersama-sama Laboratorium Kimia FKUI telah menyalurkan ribuan liter hand sanitizer. FTUI menciptakan tempat cuci tangan portabel dan bilik disinfektan cepat (BDC), dan diharapkan juga dapat memproduksi ventilator. Alumni Departemen Matematika UI melakukan pemodelan skenario puncak penyebaran virus. Alumni Departemen Geografi mengembangkan peta sebaran Covid-19. Model dan peta tersebut dapat menjadi masukan untuk otoritas dalam membuatk kebijakan terkait pandemi. Sedangkan pengumpulan donasi untuk APD dikelola Iluni UI bersama-sama Iluni fakultas.

Di tempat lain, anggota organisasi masyarakat Banser membagikan paket makanan kepada pengemudi ojek daring. Muhammadiah dan Aisyiah menyiapkan 35 rumah sakit untuk merawak pasien Covid-19. PT Paragon Technology and Innovation Internasional, produsen kosmetik asal Indonesia terkenal dengan brand Wardah,  tampil sebagai pelopor di sektor privat menyumbangkan anggaran sebesar Rp40 miliar untuk mendukung alat kesehatan dan alat pelindung diri untuk 40 lebih rumah sakit.  Perancang kebaya kondang Anne Avanti mengalihkan produksi untuk mendukung tenaga medis yang tengah mengalami kelangkaan APD. 

Tentu saja banyak sekali pihak-pihak lain yang belum disebutkan juga telah bergerak membantu  warga terdampak,pasien, tenaga kesehatan dan rumah sakit menghadapi pandemi ini. 

Modal sosial gotong royong dan kesetiakawanan menjadi basis untuk bersama-sama beradaptasi dan tetap kuat (teguh) menghadapi pandemi Covid-19 memunculkan resiliensi. Resiliensi komunitas menjelaskan tentang kemampuan kolektif suatu lingkungan atau area dengan geografi tertentu menghadapi tekanan dan secara efisien dapat menjalani irama kehidupan sehari-hari dengan bekerja sama setelah terjadi guncangan.

Konsep resiliensi komunitas telah diadopsi banyak pihak mengantisipasi dan menghadapi bencana, serta pemulihannya. FEMA (The Federal Emergency Management Agency (US), 2011) merekomendasikan untuk pihak-pihak yang merespons bencana di tingkat lokal dan nasional membangun dan mempertahankan kemitraan antara badan penanggulangan bencana, komunitas, dan organisasi-organisasi; memberdayakan aksi lokal memanfaatkan modal sosial dan aktivitas warga; dan melentingkan dan memperkuat infrastruktur sosial yang tersedia, jaringan dan aset (dalam Aldrich dan Meyer, 2014). 

Sponsored

Swaorganisasi

Ketika banyak pihak bergerak spontan yang memunculkan keteraturan sehingga dapat membentuk jaringan menghadapi bencana, maka terbentuklah swaorganisasi (self-organizing) (Confort, 1994). Swaorganisasi mengenali kebutuhan mendesak yang harus diciptakan dalam komunitas yang tengah dilanda bencana di mana orang-orang merespons bencana secara sukarela mendedikasikan waktu, materi, keterampilan, dan pengetahuan agar kondisi komunitas kembali pulih. Saat ini, pihak-pihak yang bergerak spontan menghadapi wabah Covid-19 telah muncul dari tingkatan warga, lingkungan, ormas dan organisasi privat tetapi belum membentuk kolaborasi jaringan swaorganisasi.

Swaorganisasi memanfaatkan sumber daya yang ada secara efisien dan sumber daya baru diintegrasikan ke struktur yang eksis  agar organisasi bertindak efektif merespons bencana di mana seringkali mengubah prosedur operasi dan praktek dalam cara yang fundamental. Perubahan yang berlangsung menjadi bagian dari seleksi sukarela  dari beragam alternatif tindakan dan menjadi bagian dari penyesuaian timbal balik kinerja partisipan organisasi. Kondisi komunitas diharapkan kembali pulih setelah melalui proses kreatif dari pertukaran timbal balik, belajar, adaptasi, dan pilihan dari beragam partisipan untuk beroperasi di beragam tingkatan tanggung jawab, pengalaman dan pengetahuan. 

Swaorganisasi dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan dukungan komunikasi. Di tingkat warga di samping komunikasi tatap muka yang semakin sulit karena protokol jaga jarak, gawai pintar  dengan dukungan aplikasi media sosial menjadi wadah komunikasi warga. Aktivis, influencer, ormas dan banyak pihak juga memaksimalkan pemanfaatan gawai pintar tersebut untuk bergerak. Komunikasi memungkinkan para partisipan dalam jaringan bertukar informasi dan berinteraksi untuk memaksimalkan peran dan tujuan menghadapi bencana.  

Swaorganisasi membuka kesempatan partisipan untuk memaksimalkan kapasistas sistem  beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Mereka berkelompok di klaster yang mewadahi untuk mencapai puncak dari peran dan energi sukarela yang disalurkan. Swaorganisasi mengakui pengaruh atau kontrol unit tertentu terhadap unit-unit lain dalam sistem yang saling bergantung di mana satu unit tidak dapat berfungsi maksimal tanpa bekerja sama dengan unit lain. Swaorganisasi adalah sistem pemrosesan paralel yang masif di mana komponen yang berbeda-beda melakukan berbagai fungsi secara bersamaan untuk mencapai tujuan sistem (Comfort, 1994). 

Komunikasi, seleksi, saling bergantung, dan proses masif paralel adalah komponen dan karakter swaorganisasi. Komponen-komponen tersebut menjadi karakter penting untuk memadukan gerakan berbagai pihak dari unit sosial terkecil sampai yang terbesar, lintas sektor, aktor dan tempat, membangun resiliensi memunculkan swaorganisasi dalam skala besar agar dapat mencapai tujuan bersama menghadapi pandemi Covid-19. 

Butuh kepemimpinan kolaborasi 

Semenjak Covid-19 diumumkan sebagai pandemi oleh WHO, kekacauan (chaos) terjadi. Seketika virus yang berawal di Wuhan, China, menyebar cepat ke seluruh dunia dalam beberapa bulan menjangkiti hampir seluruh permukaan bumi dan korban-korban berjatuhan; pergerakan manusia secara global mendadak terhenti; negara-negara menutup pintu masuk;  nilai tukar mata uang melemah, harga saham berguguran dan harga komoditi strategis melorot; dan berbagai peristiwa ekstrim tiba-tiba muncul yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Ketidakpastian mengemuka tanpa satupun pihak yang dapat memprediksi berakhirnya pandemi. Orang dan organisasi bertindak tanpa panduan informasi. Karenanya, beragam pemodelan dan skenario dikembangkan. Ketidakpastian ini menyebabkan dari individu hingga negara beribut sumber daya pangan sampai alat dan perlengkapan kesehatan. Kekacauan yang datang dari beragam sumber/sektor dan hubungan. Ketakutan atas virus menghentikan orang-orang untuk berpindah yang mematikan ekonomi. Ini semua menciptakan kebimbangan besar karena ketiadaan informasi dan pengetahuan. Akibatnya, kekacauan meluas karena tingkat penyebaran virus melampaui kemampuan mengatasinya.

Apabila seorang pemimpin bereaksi “normal-normal saja” menghadapi krisis ini, maka ia akan mengalami krisis kepemimpinan (Farazmand, 2009). Menteri Terawan sebagai otoritas tertinggi di bidang kesehatan menganggap pandemi ini sebagai situasi biasa, mengabaikan fakta yang terjadi secara global bahkan melakukan penyangkalan atas temuan berbasis pengetahuan. Sang menteri kelabakan menghadapi kenyataan Covid-19 menyebar cepat dan korban berjatuhan karena kementeriannya tidak memiliki perencanaan dan persiapan.

Respons Kemenkes gagal karena kecepatan penyebaran virus dan meningkatnya jumlah orang yang terjangkit tidak diimbangi oleh peningkatan layanan kesehatan publik. Keputusan untuk mengatasi lonjakan pasien dan keterbatasan rumah sakit datang terlambat. Otoritas tidak jelas di mana pemda menunggu keputusan Pemerintah, dan sebaliknya, Pemerintah berharap pemda berbuat lebih banyak. Otoritas baru hadir setelah presiden Jokowi membentuk gugus tugas dan menunjuk kepala BNPB, Doni Monardo, sebagai pimpinannya.

Akibat tiadanya perencanaan, persiapan dan ketidakjelasan otoritas di awal krisis, publik dan penguasa daerah mulai mengambil langkah sendiri-sendiri. Ketakutan penyebaran virus ke daerah mendorong beberapa kepala daerah yang melakukan karantina wilayah secara sepihak dengan menutup akses bandara, pelabuhan laut dan jalan darat. Bahkan banyak warga juga mulai membatasi/menutup pergerakan orang di lingkungannya. Belakangan pemerintah mengeluarkan aturan karantina wilayah yang harus disetujui oleh kemenkes. Akan tetapi nasi telah jadi bubur. Virus telah menyebar di 32 provinsi dengan 2.273 orang positif, 198 orang meninggal, dan 164 orang sembuh (kemenkes, 5/4/2020).

Pemerintah kewalahan menyediakan ruang isolasi lengkap dengan pendukungnya, seperti APD dan kekurangan tenaga kesehatan. Sebagian masalah yang sensitif hadir di tengah-tengah masyarakat, yaitu ODP dan PDP yang melakukan isolasi mandiri. Dan tidak kalah pentingnya adalah orang-orang yang terdampak secara ekonomi karena kehilangan lapangan pekerjaan dan menurunnya ekonomi. 

Krisis ini terus berlangsung dengan tekanan dan beban yang terus meningkat tanpa kepastian kapan akan berhenti. Sementara itu, kemampuan pemerintah terus menurun. Apalagi ketua Gugus Tugas di depan rapat kerja dengan Komisi IX DPR (2/4/2020), menjelaskan puncak pandemi adalah akhir Juni dan akhir Juli. Menjelang puncak pandemi tersebut, menurut menteri Terawan, Indonesia menemukan hambatan terbatasnya APD dan masker, beban tenaga kesehatan sangat tinggi, kesulitan dalam melakukan mobilisasi tenaga kesehatan, kebutuhan terkait lokasi khusus untuk karantina para tenaga medis, dan belum ditemukan obat atau vaksin untuk mencegah virus corona. 

Kombinasi  keadaan yang tengah menuju puncak pandemi dan hambatan yang dihadapi Indonesa sangat tidak menguntungkan. Keadaan ini akan memperlemah pemerintah dan warga. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain kecuali meningkatkan resiliensi warga dengan menguatkan dan menyelaraskan peran para pihak yang telah bergerak dengan menjadikan gotong royong dan kesetiakawanan sebagai energi dan semangat. Gerakan yang telah dimulai banyak dan beragam pihak secara swakelola dalam menghadapin krisis dapat discale up dan bahkan diselaraskan dengan langkah-langkah pemerintah. Kunci keberhasilannya adalah kepemimpinan kolaboratif yang mendorong resiliensi. 

Keberhasilan mengantisipasi bencana secara kolaboratif melibatkan semua pemangku kepentingan bangsa, publik, privat dan warga yang sangat bergantung kepada kemampuan kepemimpinan kolaboratif. Kemampuan kepemimpinan tersebut  berguna untuk mengorganisasikan  struktur, sumber daya dan interaksi.  Kepemimpinan menjadi attractor membangun pola dan arah kerja bersama para pihak, yang menjadikan gerakan-gerakan  swakelola warga, aktivis/influencer, ormas, korporasi dan pihak-pihak lain menjadi selaras.  Keberhasilan kepemimpinan kolaboratif memiliki syarat, yaitu kepercayaan (trust), berbagi informasi (information sharing), dan akuntabilitas (accountability) (Kuo, Wang, dan Li dalam Jing (ed.), 2015). 

Ketiadaan dan kekurangan kepercayaan bersumber dari persepsi publik terkait kinerja pemerintah menghadapi pandemi. Penyangkalan dan lambatnya respon pemerintah yang berdampak panjang yang terjadi selama ini harus segera diperbaiki. Salah satu langkah perbaikan tersebut telah dimulai Gugus Tugas dengan mengakui perbedaan angka korban yang selama ini diragukan publik.  Hal tersebut sejalan dengan derbagi informasi yang juga akan mendorong kepercayaan publik. Kepercayaan juga akan terus meningkat ketika kinerja kebijakan dan implementasinya sejalan. 

Di tengah kekacauan dan keadaan yang tidak menguntungkan ini, memaksimalkan modal sosial untuk meningkatkan resiliensi memanfaatkan kepemimpinan dan penyelenggaraan kolaboratif dapat saja membuka peluang kebaruan yang menjadi terobosan membawa bangsa ini bersama-sama melewati pandemi.
 

Berita Lainnya
×
tekid