sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

"Bagaimana demokrasi mati" di mata Bagir Manan

Dipirsa dari kanal Youtube, di acara sertijab itu Ketua Dewan Pers 2013-2016 Bagir Manan membagi pengalamannya rapat dengan Komisi 1 DPR.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Rabu, 25 Mei 2022 12:21 WIB

Prosesi serah terima jabatan (sertijab) anggota Dewan Pers dari kepengurusan yang lama ke yang baru digelarkan di Jakarta, Rabu (18/5). Komposisi pengurus periode 2019-2022, kini telah berganti 2022-2025.

Anggota Dewan Pers 2022-2025 dari unsur tokoh masyarakat terdiri dari Azyumardi Azra, Atmadi Sapto Anggoro, Ninik Rahayu. Dari unsur wartawan: Arif Zulkifli, Paulus Tri Agung Kristanto, Yadi Heriyadi Hendriana. Dari unsur pimpinan perusahaan pers: M Agung Dharmajaya, Asmono Wikan, Totok Suryanto.

Sejarah singkat Dewan Pers, pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966. Melalui UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang diundangkan 23 September 1999 dan diteken Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) independen. Visi dan misi Dewan Pers melindungi dan meningkatkan kemerdekaan pers nasional berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.

Dipirsa dari kanal Youtube, di acara sertijab itu Ketua Dewan Pers 2013-2016 Bagir Manan membagi pengalamannya rapat dengan Komisi 1 DPR. Suatu ketika, ada rapat. Bagir bercerita bagaimana melakukan pekerjaan kalau Dewan Pers mempunyai program ke daerah, maka disusun beberapa kegiatan sekaligus di daerah itu. Tujuannya untuk menghemat anggaran supaya sekali jalan beberapa program.

Pak Ahmadi, salah seorang anggota dewan saat itu, langsung protes. "Tidak bisa begitu," katanya. "Anggaran Dewan Pers kok begitu terbatas?" Dia menuntut kepada semua anggota Komisi 1 untuk memperjuangkan agar anggaran Dewan Pers dinaikkan. Itu pesannya.

Bagir mengucapkan selamat kepada Azyumardi (Ketua Dewan Pers periode kini) cs, sahabat lamanya, dan juga terima kasih kepada Pak Nuh (Ketua Dewan Pers periode lalu) yang telah melakukan pekerjaan dengan baik.

Satu catatan Bagir dari pengalaman sejak 2010 sampai hari ini dia masih sering diajak urun rembuk. Dalam pandangannya, bagaimana ikatan profesionalitas sangat menonjol di dalam lingkungan pers. Khusus dalam rangka pembentukan-pembentukan pengurus Dewan Pers ini, selalu dikedepankan unsur-unsur profesionalitas, pendekatan-pendekatan profesionalitas. Tidak berarti, katanya, tidak ada perbedaan. Boleh ada perbedaan. Karena perbedaan itu bagian dari hal yang alamiah.

"Hal ini barangkali dapat kita sebarkan bagaimana dalam mengelola organisasi secara profesional, unsur-unsur saling pengertian, unsur-unsur kesabaran, toleransi, itu menjadi sangat penting. Ini sekadar catatan kecil," kata Bagir.      

Sponsored

Mengutip buku How Democracies Die (Steven Levitsky, Daniel Ziblatt, 2018), yang mempertanyakan mengapa demokrasi Amerika langgeng betul. Levitsky-Ziblatt mengatakan langgeng karena, pertama, memang tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi baik jumlah maupun tingkatannya. Kedua, kuatnya kelas menengah (the middle class). Tapi ada unsur lain, yaitu mengapa demokrasi sangat kuat di Amerikat, ada unsur forbearance (kesabaran), menahan diri. Kemudian unsur lain, dikatakan, adalah unsur tolerance.

"Saya lihat ini hikmat dalam kehidupan pers Indonesia. Kita berharap kita dapat menjadi model dan bisa mengajak hal-hal ini dapat hidup juga di kalangan yang lain," Bagir menyarankan.

Tapi ada unsur lain yang dikatakan oleh Levitsky-Ziblatt. Mengapa demokrasi Amerika sangat kokoh, yaitu kuatnya dan tangguhnya civil society, vibrant of civil society (ketangguhan masyarakat sipil). Bagir pun mengapungkan pertanyaan: "Apakah pers bisa mewarisi ketangguhan model itu atau tidak dalam rangka tanggung jawab kita?"

"Tapi saya ingin menambahkan dua syarat lain, yang musti hidup. Yaitu, pertama, intelektualitas. Kehidupan intelektual. Dalam hal ini, mohon maaf lagi, saya teringat pada almarhum Bung Sjahrir," ujar Bagir.

Dalam surat tahun 1934, dari rumah tahanan Salemba sebelum diberangkatkan ke Boven Digoel bersama Bung Hatta dll, Sjahrir menulis surat ke Negeri Belanda tentang sarjana. Sudah banyak sarjana, tapi apa beda sarjana dengan intelektual? Kata Bung Sjahrir, sarjana intelektual itu adalah orang yang menjadikan ilmu sebagai hati nuraninya.

"Pertanyaannya, apakah kita seperti itu? Dan, yang kedua, saya ingin menambahkan syarat lain, adalah etika. Membangun etika, etika publik, dalam kehidupan kita bersama ini. Barangkali Dewan Pers dapat melakukan hal-hal seperti ini," katanya.

Bagir mengaku sempat berbicara dengan salah seorang anggota Dewan Pers. Harapannya di masa depan, salah satu pekerjaan organisasi pers dan Dewan Pers adalah lebih memperbanyak pelatihan dan pendidikan, terutama pelatihan intelektual, intelektualitas, dan pelatihan ketangguhan intelektual. 

Berita Lainnya
×
tekid