sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

In memoriam Abdi Satria, suhu jurnalis olahraga

Satu kala, foto profil Abdi Satria di aplikasi WhatsApp, sudah bercerita banyak tentang siapa dia.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Sabtu, 30 Jul 2022 16:57 WIB
In memoriam Abdi Satria, suhu jurnalis olahraga

Akhirnya purna dalam tugas dunia. Dia kini Abdi abadi untuk Satria yang maha kuasa di keheningan nan baka. Abdi Satria, jurnalis olahraga legendaris, telah meninggal dunia di Makassar, Jumat (2/7). Kiprahnya tidak recehan, skalanya mendunia.

"Di komunitas jurnalis olahraga, almarhum dipanggil suhu sekaligus mentor. Yup sebutan itu semacam bentuk penghargaan dan penghormatan teman-teman peliput olahraga karena memandang dedikasi dan pengalaman sosoknya yang tak pernah beranjak dari dunia olahraga," tulis Iwan Taruna, punggawa NetTV Biro Makassar, di platform media sosial.

Satu kala, foto profil Abdi Satria di aplikasi WhatsApp, sudah bercerita banyak tentang siapa dia. Di foto itu, dirinya berada satu lapangan dengan Carlos Tevez. Suasananya tampak pada usai sebuah pertandingan. Tevez berkostum Tim Tango, ajangnya Piala Dunia 2006.

Penyerang lubang Argentina, terkenal amat licin di area sekitar kotak penalti, menakutkan semua penjaga gawang. Abdi, saat itu, memburu berita untuk Tabloid BOLA di Jerman. Mereka berdua dalam satu rangka, berdiri berdekatan di tengah lapangan, di antara sejumlah orang lain.

"Kak Abdi Satria, wartawan olahraga terbaik yang pernah dimiliki Sulawesi Selatan. Pengalamannya begitu lengkap. Porda, PON, SEA Games, Asian Games, Olimpiade, piala dunia, dan pernah menetap di Italia. Arsip fotonya penuh wajah bintang olahraga dunia. Mantan wartawan Harian Fajar, Tabloid Bola, hingga Tabloid Go," kenang Imam Dzulkifli, mantan jurnalis Harian Fajar.

Olahraga fokusnya, sepakbola gairahnya.  Berpulangnya Abdi Satria seperti kehilangan pena emas tak terbilang harganya.

"Sebagai kakak, sekaligus mentor saat ditugaskan meliput PSM era tahun 2003-2006 kak Abdi selalu menuntun saya untuk pas dalam penulisan berita berita olahraga, terutama sepakbola dan terlebih PSM. Mendengar beliau menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyaksikan anak didiknya berlatih di Lapangan Jalan Sunu Makassar....," mantan jurnalis MNC TV Riswansah Muchsin bersaksi.

Juga, kenang-kenangan yang dia tinggalkan buat saya sendiri. Sekali, kami sama-sama meliput di kantor Komite Olahraga Nasional (KONI) Sulawesi Selatan. Berkali-kali, jumpa pula di Lapangan Karebosi dan Stadion Mattoanging. Cerita-cerita seru, selepas laga, sering sampai lupa waktu.

Sponsored

Dia berkesah bahwa putra sulungnya mulai menjejak blantika profesional. Setelah sang sulung mengenakan lambang Garuda U-16 dan U-19. Kemudian, tak disangka, memperkuat klub kebanggaan kampung halaman saya. Lalu, pindah ke tim Pangeran Biru sebelum beranjak ke level senior. Tes senior pertama kali di Brisbane Roar menandai rekam jejak kesayangan Abdi Satria.

Teringat, di warung kopi, Abdi mengajak saya masuk ke perbincangan hangat: Mengupas habis fenomena Leichester City FC, debutan di Premier League, yang tak terkalahkan sebelum bertahta menjadi juara Liga Inggris 2015–16. Diskusi, selalu tak pernah sebentar, dengan dia.

Abdi Satria pernah membentangkan karpet merah. Sayangnya, bentangan itu tidak jadi saya lintasi. Di rumput Karebosi, suatu senja, kami orang terakhir di lapangan. Dia pendengar setia, saya lebih banyak bicara.

Karena suntuk, saya merasa sudah capek mengemban tugas all-round, melaporkan urusan bisnis, ekonomi, hiburan, politik, segala macam. Intinya, ingin fokus di olahraga saja.

Dia menawarkan sebuah majalah elit olahraga, bahkan memberi contoh cetakannya, satu edisi publikasi bulanan. Tugas hanya satu: Meliput golf! Menarik sekali, menambang uang, honor akan pecah rekor, rupiahnya lebih dari lumayan.

Sambil membayangkan lingkungan akan berubah, bergaul di kalangan jetset. Menjalin jejaring di antara tokoh papan atas, berjalan santai dari hole ke hole di padang rumput.

Tapi, saya mengecewakan Abdi Satria. Tawarannya itu terpaksa saya tampik dengan seberat-berat perasaan. Walaupun dia bersikeras sampai berbusa-busa.

Alasan klise: "Saya tidak pernah menulis tentang golf..." Dia membalas, "Kau bisa belajar! Kulihat kau cepat belajar." Masih juga agak sungkan: "Belum lagi lingkungan yang harus saya gauli nanti..." Katanya, "Ya, kalau tak mau..., terserah kau!"

Terakhir kali, kami bertemu di lapangan Kodam Wirabuana (kini: Hasanuddin). Dia sedang menonton putranya berlatih. Di rumput yang sama, di mana saya mewawancarai Alfred Riedl, pada sore gerimis. Tapi, sore itu amat terang matahari.

Seterang itulah kenangan hidup jurnalis Abdi Satria, yang semoga banyak amal dan pahala. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahannya.

Berita Lainnya
×
tekid