sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kurangnya riset media di era jurnalisme viral

Berbagai penelitian Irwansyah di ranah media digital dan pemberdayaan media digital, sudah sangat banyak dan dikenal.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Minggu, 29 Mei 2022 14:07 WIB
 Kurangnya riset media di era jurnalisme viral

Irwansyah, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, membagikan pokok pikirannya yang belum tersampaikan dalam kondisi setelah puncak pandemi Covid-19. Pemikirannya bukan bernada sebuah kekhawatiran, tapi tantangan dan peluang, untuk bisa memberikan cara yang terbaik ke masyarakat, komunitas, maupun bangsa dan negara.

Berbagai penelitian Irwansyah di ranah media digital dan pemberdayaan media digital, sudah sangat banyak dan dikenal. Itu menurut moderator Indah Santi Pratidina, pengajar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI.  

Mereka berdua, Irwansyah dan Indah, telah muncul dalam seminar nasional simultan diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI di sesi pertama bertema 'Media Daring dan Jurnalisme Lambat pada Masa Pandemi' pada Jumat (13/5).

"Saya mengambil istilah yang sebenarnya sudah dipopulerkan di tahun 2002, yaitu jurnalisme viral (viral journalism). Kondisi ini sebenarnya memberikan gambaran bahwa memang kajian jurnalisme itu masih sangat terbatas," kata Irwansyah.

Digamblangkannya, di tahun 2002 ini saja kajian tentang surat kabar dan media online memang masih terbatas. Ia mengacu karya-karya akademik dalam publikasi ilmiah yang dilihat di Index Scopus, dan khusus di Indonesia dari Indeks Shinta.

Namun, katanya, keterbatasan ini perlu disadari bahwa tidaklah salah karena program studi jurnalistik di Indonesia hanya ada 14 untuk yang umum dan 8 yang jurnalistik khusus. Maka kalau bicara tentang kesehatan, dan beberapa tahun ini trennya tentang SDG's (Sustainable Development Goals). Faktanya, tidak ada satupun Prodi Jurnalistik tentang kesehatan ataupun SDG's.

"Jadi, wajar saja kalau ada yang mengatakan kita seolah gagap. Bukan lagi seolah gagap, karena memang bibit untuk mendapatkan bagaimana kekhususan tentang kesehatan tentang SDG's tidak ada sama sekali," ungkapnya.

Menurut Irwansyah, program studi jurnalistik hanya dijadikan sebagai sebuah keterampilan, bukan bagian untuk membentuk atau mengkonstruksi narasi, salah satunya adalah tentang kesehatan melalui jurnalistik.

Sponsored

"Itulah kenapa ada kesan kalau jurnalis itu hanya tahu tentang membuat tulisan, tetapi tidak memahami tentang disiplin dan perkembangan seperti kesehatan, apalagi dalam kasus pandemi Covid-19," singgungnya.

Menurut Irwansyah, dosen-dosen (Prodi Jurnalistik) saja lebih banyak tidak teridentifikasi, walaupun daftar nama mereka sudah tercantum di PD Dikti (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi). Tapi menyangkut latar belakang pendidikan S1, S2, atau S3 mereka tidak terperinci. Apalagi setelah melihat data dari PD Dikti, cuma 30 mahasiswa yang terdata sebagai mahasiswa Prodi Jurnalistik.

"Ini sebuah keprihatinan. Kita bicara tentang karya-karya jurnalistik, bagaimana sumber daya manusia jurnalistik itu bekerja, tapi bibit yang kita ingin berikan kepada bangsa dan negara ini ternyata tidak memiliki dasar yang kuat," katanya.

Irwansyah mengibaratkan Indonesia hanya menyoroti bagian tengah, tapi di bagian depannya, yaitu orang-orang yang perlu mendapatkan pendidikan atau edukasi tentang jurnalistik malah terlupakan.

Selanjutnya, dia berkata, di Indeks Shinta, salah satu indeks yang dibangun oleh Kemendikbud Ristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), baru ada sekitar 156 karya ilmiah terkait dengan jurnalistik dan tentang Covid-19 jumlahnya jauh lebih di bawah.

"Artinya karya jurnalistik, katakanlah kita sudah bicara jurnalistik dari tahun 60-an, yang terdata dalam publikasi ilmiah, tapi yang terindeks di Shinta hanya 156. Artinya karya ini yang terbit di jurnal-jurnal terakreditasi ataupun terindeks di Shinta," ujar Irwansyah.

Menariknya, disingkapkannya, di dunia ini sekitar 27.500 karya ilmiah tentang jurnalistik dan sekitar 360 karya jurnalistik tentang Covid-19. "Artinya kita memang under studied, jadi memang benar-benar karya jurnalistik itu tidak menjadi bagian yang menarik untuk didiskusikan," cetusnya.

Digambarkannya perbandingan bagaimana pengalaman di Amerika bisa menceritakan bahwa ada sekitar 286 college, kemudian di situ mereka juga punya 14.000 jurusan, dan gaji (untuk lulusan) agak lumayan tinggi.

Irwansyah pun menyarankan forum agar bertanya ke Irwan Nugroho gaji per bulannya apakah mencapai Rp32 juta beserta dengan gaji ke-14. Perhitungan gaji per bulan dalam setahun sama dengan 12 kali, ditambah gaji ke-13, dan di ulang tahun media biasanya dikasih lagi gaji ke-14. Kondisi itu yang ideal untuk lulusan jurusan jurnalistik di Amerika.

Jadi, Irwan bertanya soal gaji lulusan Prodi Jurnalistik di Indonesia apakah sebanding dengan Amerika.

Sebelum Irwansyah berbicara, diketahui Irwan Nugroho lebih dulu didaulat menjadi panelis seminar ini. Nugroho lulus di Pascasarjana Manajemen Komunikasi UI tahun 2022. Dari tahun 2007 hingga kini bekerja di Detikcom. Sekarang Master Irwan menjadi redaktur pelaksana indepth content.

Berita Lainnya
×
tekid