sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Risiko bencana berkurang bila remaja dan orang muda terlibat di media

Setiap tahun, lebih dari 3.000 bencana terjadi yang berdampak pada lebih dari delapan juta orang setiap tahun.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Minggu, 29 Mei 2022 14:13 WIB
 Risiko bencana berkurang bila remaja dan orang muda terlibat di media

Secara keseluruhan, 80 juta anak dan remaja di Indonesia telah terkena dampak langsung dari dampak negatif pandemi yang meluas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Temuan itu ditunjukkan UNICEF terkait Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR).

Setiap tahun, lebih dari 3.000 bencana terjadi yang berdampak pada lebih dari delapan juta orang setiap tahun. Dampak bencana itu merusak infrastruktur dan mata pencaharian, mengganggu layanan yang berdampak negatif pada kesejahteraan dan perkembangan anak-anak.

Di daftar negara paling rawan risiko iklim secara global pada tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-14. Negeri ini dianggap memiliki 'risiko iklim tinggi' untuk anak-anak. Masyarakat agar siap menghadapi bencana yang tidak bisa diprediksi kapan akan datang sebenarnya dapat diedukasi melalui peranan media.

Menurut UNICEF, pelibatan anak-anak dan orang muda merupakan bagian penting dari upaya pengurangan risiko bencana. Tapi, bagaimana mengurangi dampak risiko bencana terhadap kehilangan mata pencaharian?

Avianto Amri dari Predikt menjawab pertanyaan itu dalam webinar series #7 berjudul “Media serta Keterlibatan Remaja dan Orang Muda dalam Pengurangan Risiko Bencana” diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan UNICEF Indonesia, Jumat (20/5).

"Itu ada beberapa, sebatas pemahaman saya. Misalnya, di mana kita bisa menambah keragaman mata pencaharian atau alternatifnya. Contohnya, petani. Kalau tidak bisa bertanam di satu jenis tanaman, mungkin dia bisa berpindah ke tanaman lainnya yang lebih cocok dengan iklim atau cuaca saat tertentu. Atau kemudian dia bisa berganti profesinya dengan pekerjaan lain," kata Avianto, spesialis manajemen bencana dengan pengalaman lebih dari 10 tahun.

"Ada juga komunitas di mana malah saat mereka setelah masa panen itu musim hujan, hujannya cukup deras, biasanya banjir, sehingga mereka berubah menjadi nelayan dan beternak ikan. Itu salah satu pola yang menarik, di mana mereka bisa beradaptasi di saat situasinya cocok di mana mereka menjadi petani maka mereka bertani dan bercocok tanam. Kemudian di saat musim hujan, mereka menjadi nelayan dan beternak ikan," sambung lulusan S3 Macquarie University, Australia.

Menurut Avianto, ada juga skema asuransi, di mana orang membayar premi tertentu, yang biasanya itu disubsidi baik dari kelompok NGO atau swasta ataupun pemerintah. Sehingga kalau mereka terkena dampak banjir atau musim kemarau atau hal lain seperti kebakaran, aset-aset mereka tidak hilang sepenuhnya, melainkan bisa diganti dengan cepat untuk memulihkan mata pencaharian mereka.

Sponsored

"Jadi ada banyak, beberapa pola yang sudah diterapkan dan digunakan orang-orang. Namun yang paling penting itu bagaimana kajian risiko itu terlihat kira-kira ancaman apa yang akan terjadi baik di saat sekarang maupun yang akan datang. Karena situasi iklim berubah, pembangunan infrastruktur yang pesat, degradasi lingkungan yang luar biasa," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid