sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Suara USU dan kebebasan berekspresi pers mahasiswa

Pengurus Suara USU dipecat. Cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang dimuat dinilai mengampanyekan LGBT.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 01 Apr 2019 20:13 WIB
Suara USU dan kebebasan berekspresi pers mahasiswa

Melanggar kebebasan berekspresi

Agung menuturkan, berdasarkan riset yang dilakukan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), sepanjang 2013 hingga 2016 ada 133 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Sebanyak 65 kasus dilakukan pihak birokrat kampus berupa intimidasi, perampasan, hingga penyegelan sekretariat.

“Kasus yang sempat ramai pada 2014 ketika pihak Universitas Negeri Yogyakarta merampas dan melarang peredaran Buletin Expedisi, salah satu media yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi,” tuturnya.

Alasannya, kata dia, Buletin Expedisi memuat pemberitaan mengenai pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) yang dianggap bermasalah. Kasus lainnya, pada 2015 Lembaga Pers Mahasiswa Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga juga mengalami hal serupa.

“Majalah Lentera ditarik dan dilarang beredar oleh rektor dan polisi lantaran laporan mereka tentang sejarah peristiwa 1965 di Salatiga,” kata dia.

Lalu, kata Agung, pada 2016 Lembaga Pers Mahasiswa Poros di Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta sempat dibekukan, karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran di kampus tersebut.

Sponsored

Di tahun yang sama, Lembaga Pers Mahasiswa Pendapa di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa di Yogyakarta juga dibekukan karena menerbitkan berita yang mengkritik kampus.

Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani menilai, apa yang dilakukan Rektor USU sebagai tindakan yang inkonstitusional, karena melanggar Undang-Undang Dasar 1945, yakni nilai-nilai demokrasi dan hak kebebasan berekspresi.

Selain itu, tindakan Rektor USU menurut Asnil juga tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yang mengatur penyelenggaraan universitas yang dilaksanakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan.

“Penyelenggaraan universitas harusnya dilaksanakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Asnil saat dihubungi, Senin (1/4).

Asnil melanjutkan, pihak AJI juga mendesak agar Rektor USU tak lagi mengintervensi setiap kegiatan jurnalistik yang dilakukan pers mahasiswa. Ia menekankan, semestinya keputusan rektor diambil berdasarkan kesepakatan bersama.

Pers mahasiswa kadang kala mendapatkan intimidasi justru dari institusi kampus.

“Kami menuntut dikembalikannya supremasi mahasiswa, yaitu setiap keputusan harus diambil setelah ada keputusan bersama antara pihak mahasiswa dengan Rektor USU. Tidak diambil secara sepihak,” tuturnya.

Asnil mengatakan, tindakan ini sama saja seperti bunuh diri dunia pendidikan. Rektor, ujar dia, seharusnya membuka ruang debat justru melakukan tangan besi.

Sementara itu, ketika akan dilakukan konfirmasi, nomor telepon Rektor USU Runtung Sitepu tak bisa dihubungi.

Berita Lainnya
×
tekid