sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Aborsi ilegal dan hak memilih bagi perempuan

Pada 2000, menurut riset Guttmacher Institute, di Indonesia diperkirakan sekitar dua juta aborsi terjadi.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 05 Mar 2020 06:30 WIB
Aborsi ilegal dan hak memilih bagi perempuan

Beberapa waktu lalu, polisi menggerebek klinik aborsi ilegal yang ada di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat. Klinik tersebut sudah beroperasi sejak dua tahun lalu.

Menurut penelitian Guttmacher Institute—organisasi riset dan kebijakan yang berkonsentrasi dalam hak seksual dan reproduksi, berpusat di Amerika Serikat—setiap tahun di Indonesia berjuta-juta perempuan mengalami kehamilan yang tak direncanakan.

Sebagian besar dari mereka, memilih mengakhiri kehamilan itu. Pada 2000, masih menurut riset Guttmacher Institute, di Indonesia diperkirakan sekitar dua juta aborsi terjadi.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, pada 2019 kekerasan seksual di ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau relasi personal, terlapor enam kasus aborsi.

Guttmacher Institute melaporkan, sebagian besar perempuan yang melakukan aborsi di klinik atau rumah sakit cenderung sudah menikah dan berpendidikan.

Di dalam riset teranyar, ditemukan 54% pelaku aborsi adalah lulusan sekolah menengah dan 21% dari mereka adalah lulusan universitas. Sebanyak 87% dari pelaku aborsi yang tinggal di kota, berstatus sudah menikah.

Sebagian besar pelaku aborsi berusia lebih dari 20 tahun, 37% berusia lebih dari 30 tahun. Nyaris separuhnya sudah punya paling sedikit dua anak.

Akibat aborsi tidak aman

Sponsored

Salah satu klinik praktik aborsi di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat yang dihubungi reporter Alinea.id mengaku setiap hari selalu ada pasien yang menginginkan pengguguran kandungan.

Menurut salah seorang dari klinik itu, proses aborsi hanya berlangsung lima menit, dengan biaya yang bervariasi. Namun, ia tidak merinci metode aborsi yang digunakan.

“Klinik kami berizin karena ditangani dokter secara medis,” kata salah seorang dari klinik itu saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (4/3).

Masalahnya, terkadang terjadi praktik aborsi yang tidak aman. Koordinator Nasional Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perkumpulan Kelaurga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat Heny Widyaningrum mengatakan, klinik yang tidak mengantongi izin secara otomatis memberikan layanan praktik aborsi ilegal yang tidak aman.

Dokter kandungan dari RS Mitra Keluarga Waru, Sidoarjo, Jawa Timur Eston Aryawan Hadibrata mengungkapkan, praktik aborsi yang tidak aman berbahaya bagi kesehatan perempuan karena bisa menyebabkan robekan dan infeksi kandungan.

Eston mengatakan, metode kuretase untuk menggugurkan kandungan, berbahaya jika tak dilakukan oleh tenaga medis yang berwenang dan tidak ada indikasi medis.

Sebuah klinik di Paseban Raya, Jakarta Pusat, yang digerebek polisi karena praktik aborsi ilegal, Selasa (3/3/2020). Alinea.id/Manda Firmansyah.

“Aborsi dengan cara pijat dan minum ramuan juga berbahaya karena berisiko cedera atau robekan kandungan yang bisa menyebabkan pendarahan,” ujar Eston saat dihubungi, Rabu (4/3).

Ia menyebut, aborsi tidak aman berisiko kemandulan, bahkan kematian. Menurutnya, aborsi yang aman harus ada indikasi medis dan dilakukan tenaga medis yang berwenang.

“Konsultasikan dengan dokter kandungan,” ucapnya.

Menurut riset Guttmacher Institute, pemilihan perempuan untuk aborsi yang digunakan bervariasi, tergantung tempat tinggal. Rumah sakit dan staf pelayanan alat kontrasepsi, dokter spesialis kandungan, dan bidan melakukan sekitar 85% aborsi di tempat layanan kesehatan di kota. Sementara dukun bersalin melakukan sekitar 15% aborsi.

Secara umum, nyaris setengah dari semua perempuan yang melakukan aborsi di Indonesia pergi ke dukun bersalin, dukun tradisional, atau ahli pijat.

Guttmacher Institute menyebut, perempuan yang melakukan aborsi di klinik, hanya 38% yang melaporkan bahwa prosedur yang digunakan adalah aspirasi vakum. Metode aborsi ini merupakan prosedur yang aman.

Sisanya, sebanyak 25% menggunakan pengobatan oral dan dipijat, 13% medikasi aborsi yang disuntikan, 8% memasukkan benda asing ke dalam vagina atau rahim, 8% paranormal, 5% menggunakan jamu-jamuan atau ramuan lain yang dimasukkan ke dalam vagina atau rahim, dan 4% akupuntur.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan, selain dampak fisik, secara psikis aborsi akan menimbulkan dampak perasaan bersalah atau trauma atas kehamilan.

“Istilah aborsi aman merujuk pada aborsi yang dilakukan oleh tenaga medis profesional dengan proses konseling terlebih dahulu,” kata Siti saat dihubungi, Selasa (3/3).

Siti mengatakan, terdapat tiga jenis aborsi. Pertama, aborsi spontan, yang disebabkan semata-mata karena faktor alamiah atau keguguran.

Kedua, aborsi yang dilakukan dokter atas dasar indikasi medis atau kehamilan yang tidak dikehendaki, yang jika tidak diambil tindakan aborsi akan membahayakan jiwa sang ibu. Ketiga, aborsi yang terjadi karena tindakan yang ilegal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

Stigma dan pilihan perempuan

Siti mengatakan, kehamilan yang tidak dikehendaki bisa menimpa perempuan yang belum atau sudah menikah. Dalam konteks kehamilan tak dikehendaki, kata dia, perempuan berhak melanjutkan atau tidak kehamilannya.

“Masalahnya, aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki ini belum ada pengaturannya. Kemudian, terjadi aborsi ilegal,” tuturnya.

Kehamilan tidak dikehendaki bisa terjadi karena minimnya pengetahuan dan kesadaran hak reproduksi, baik laki-laki maupun perempuan. Celakanya, ujar dia, dalam struktur masyarakat patriarki seperti di Indonesia, perempuan yang paling dianggap bertanggung jawab jika terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki. Dan, hal ini berujung pada pemaksaan aborsi.

“Perempuan yang dipaksa melakukan aborsi dapat dikategorikan sebagai korban. Pemaksaan aborsi ini belum ada ketentuan hukumnya dan didorong diatur di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Siti.

Ilustrasi aborsi. Ilustrasi Pixabay.com

Dihubungi terpisah, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, persoalan aborsi sebaiknya dilihat dari sudut pandang kesehatan dan pilihan perempuan, bukan moralitas. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak menghakimi perempuan yang memutuskan aborsi.

“Sebab, perempuan yang telah memutuskan aborsi rentan stres karena tekanan beban moral,” kata Mutiara saat dihubungi, Selasa (3/3).

Mutiara menentang logika kriminalisasi perempuan dengan memenjarakannya, terkait pilihan untuk melakukan aborsi. Menurut dia, solusi yang tepat adalah meminimalisir risiko aborsi terhadap perempuan, dengan cara membuka pembicaraan terkait konsep aborsi aman.

“Saat ini, pembicaraan terkait aborsi masih dianggap tabu. Sehingga, sulit untuk mendorong konsep aborsi aman yang memperhatikan pencegahan dan penanganan secara komprehensif,” tuturnya.

Aturan hukum

Menurut Pasal 194 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), orang yang sengaja melakukan aborsi dipidana paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Namun, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yoyakarta Muzakir, berdasarkan UU Kesehatan, korban perkosaan yang hamil dan trauma, bisa mengajukan permohonan untuk melakukan aborsi. Pilihan aborsi tersebut, kata Muzakir, harus murni dari perempuan korban perkosaan.

“Dan janin tersebut masih usia beberapa minggu, yang kalau diaborsi tidak membahayakan nyawa ibu yang mengandung,” ucapnya saat dihubungi, Selasa (3/3).

Oleh karena itu, ia menyarankan korban perkosaan segera melapor polisi, sehingga bisa diminta visum dokter dan dibersihkan rahimnya agar tak terjadi kehamilan.

“Sebaiknya korban perkosaan jangan menunggu adanya tanda kehamilan,” ujar Muzakir.

Namun permasalahannya, kata Siti, tidak semua korban perkosaan melapor kasusnya ke polisi. Mereka juga tidak mendapatkan bantuan medis berupa “pil darurat” untuk pencegahan kehamilan, atau baru tahu kehamilan setelah lebih dari 40 hari.

“Akibatnya, korban perkosaan melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan kehamilannya atau membunuh bayi sesaat setelah dilahirkannya,” ujar Siti.

Muzakir memperingatkan kepada siapa pun untuk tidak memaksa perempuan melakukan aborsi. Sebab, jika tanpa persetujuan perempuan yang hamil tersebut, siapa pun yang memiliki inisiatif pertama untuk menggugurkan kandungan bisa terjerat pidana.

“Pidana berat jika berakibat mati. Pidananya sama dengan pembunuhan,” ucapnya.

Sementara itu, Heny Widyaningrum mengatakan, hukum praktik aborsi di Indonesia legal restricted. Sesungguhnya, kata dia, sudah ada aturannya, tetapi dilarang dengan pengecualian kasus perkosaan dan kehamilan yang berpotensi membahayakan nyawa sang ibu.

“Kalau dibilang ilegal enggak, tetapi kalau dibilang legal juga enggak karena legalnya pun masih legal terbatas,” ujar Heny saat dihubungi, Rabu (4/3).

Infografik aborsi. Alinea.id/Oky Diaz.

Ia menerangkan, aturan terkait aborsi di Indonesia ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kedaruratan Perkosaan. Merujuk peraturan itu, Heny mengatakan, pemerintah seharusnya menunjuk klinik untuk layanan aborsi aman.

“Di luar itu, tidak boleh memberikan layanan aborsi,” ucapnya.

Heny meminta pemerintah mengimplementasikan UU Kesehatan, PMK Nomor 3 Tahun 2016, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi untuk mencegah menjamurnya praktik aborsi tak aman, yang membahayakan perempuan.

Ia pun mendorong pemerintah mensosialisasikan berbagai aturan terkait aborsi. “Tujuannya, agar penegak hukum tidak melulu menggunakan KUHP,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid