sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Alasan masyarakat sipil tak banyak komentari putusan MK No.141

MK menegaskan, pemaknaan baru melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/202 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Hermansah
Hermansah Kamis, 30 Nov 2023 21:11 WIB
Alasan masyarakat sipil tak banyak komentari putusan MK No.141

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/11), mengeluarkan putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023 soal batas usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan pemaknaan baru melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hasilnya, MK menegaskan, pemaknaan baru melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/202 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut MK dalam keterangan resminya, upaya menyesuaikan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, atau upaya menyepadankan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara (public official)-termasuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan jabatan yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official), masih tetap merupakan dan berada di ranah pembentuk undang-undang.

MK juga menegaskan ada hierarki dalam jenjang pemerintahan, maka syarat batas usia untuk menjadi presiden, gubernur, bupati/wali kota pun dibuat secara berjenjang. Di mana, untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yakni berusia paling rendah 40 tahun (Pasal 169 huruf q UU 7/2017), calon gubernur/wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun, dan calon bupati/wakil bupati serta calon wali kota/wakil wali kota berusia paling rendah 25 tahun [Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang].

Desain politik hukum pembentuk undang-undang membuat tingkatan batas usia seperti ini, menurut MK, dimaksudkan untuk mengakomodir apabila ada kemungkinan seseorang menjalani jenjang karier sebagai kepala daerah dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yakni kota, kabupaten, dan provinsi.

Merespons putusan tersebut, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute dan dosen hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani mengatakan, putusan No.141 memang bukan untuk dimaksudkan menganulir putusan No.90. Sebab, keduanya merupakan suatu proses litigasi konstitusi yang berbeda

Karena menurutnya, penolakan hakim MK itu bukan sebagai konfirmasi kebenaran dari putusan No.90. Di mana, putusan No.90 memang seharusnya dianulir dan putusan kotroversial itu bertentangan dengan prinsip konstitusi pada Pilpres 2024. 

"Jadi yang dilakukan MK pada hari ini harus ditafsirkan karena hakim konstitusi tidak mau masuk perdebatan putusan No.90. Apalagi, putusan MK adalah final dan mengikat. Dan itu harus dipatuhi. Maka tidak heran jika pada hari ini, MK menolak pengujian yang dilayangkan yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Brahma Aryana," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Kamis (30/11).

Karena itulah, dia memastikan yang dilakukan MK pada kasus ini bukan sebuah afirmatif. Melainkan tetap sebagai upaya uji materi konstitusional yang harus diperiksa MK. Hanya saja, argumentasi dari empat hakim konstitusi pada saat putusan No.90 tidak lagi bisa dilakukan karena adanya persamaan dalam pertimbangan hukum.

Sponsored

Di sisi lain, apapun putusan MK, dianggap kurang menarik perhatian masyarakat sipil. Karena masyarakat sipil tahu, jika pun MK menerima permohonan pemohon, sudah tidak bisa lagi menghentikan proses kandidasi yang kontroversial. Terlebih, KPU telah mengesahkan pasangan calon peserta Pilpres 2024.

"Sehingga kami menduga, salah satu pertimbangan terbesar MK dalam putusan No.141 adalah juga buat menjaga stabilitas nasional. Bisa dibayangkan kegaduhan yang muncul jika MK menerima putusan tersebut. Jadi memang ada pertimbangan di luar hukumnya," ucap dia.

Hampir senada, pengamat hukum tata negara Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Wicipto Setiadi mengatakan, kalau putusan No.141 sesuai dengan perkiraan banyak orang. Mengingat, putusan MK adalah final dan mengikat. Sehingga MK harus konsisten pada putusannya agar tidak menimbulkan kontroversi seperti pada putusan No.90.

Untuk mencegah terulang keluarnya putusan MK yang kontroversi, Wicipto mengusulkan agar ada peninjauan ulang pada sifat putusan MK yang final dan mengikat. Di antaranya dengan mengecualikan pada putusan yang dianggap kontroversial dan menjadi perhatian masyarakat. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari situasi dan kondisi seperti sekarang.

"Persyaratan itu memang belum ada di UU MK. Mungkin bisa menjadi perhatian oleh anggota legislatif hasil Pemilu 2024," ucap dia.

Seperti apa tanggapan TKN Prabowo-Gibran soal putusan No.141?

Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman mengaku, telah berulang kali menegaskan dalam putusan MKMK tidak ada pembahasan dan juga pembuktian adanya intervensi yang hal itu kemudian menjadikan alasan hukuman pelanggaran kode etik berat kepada hakim konstitusi Anwar Usman. 

"Seluruh saksi, temasuk sembilan hakim konstitusi dan empat saksi fakta, tidak satupun menyampaikan keterangan yang menyebutkan terkait intervensi. Begitu juga dengan alat bukti. Sehingga patut dipertanyakan alasan Anwar Usman dihukum karena dianggap membuka ruang intervensi. Inilah kekonyolan MKMK," papar dia dalam keterangan resminya yang dipantau online, Kamis (30/11). 

Ha itu diperkuat lagi dengan putusan No.141 yang menyebutkan dalil pemohon soal adanya intervensi tidak dapat dibenarkan. Dibuktikan dengan tidak adanya hakim konstitusi yang melakukan dissenting opinion dan concurrent opinion. Padahal, putusan No.90 selalu dikaitkan kepada TKN Prabowo-Gibran dan selalu dianggap cacat hukum dan cacat etika.

Berita Lainnya
×
tekid