sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Antisipasi gempa besar di selatan Jawa

Kabar gempa besar diiringi tsunami di selatan Jawa berawal dari pemaparan peneliti tsunami dari BPPT Widjo Kongko. Perlu menyiapkan mitigasi

Armidis
Armidis Rabu, 24 Jul 2019 20:06 WIB
Antisipasi gempa besar di selatan Jawa

Kabar akan ada gempa besar dan tsunami di selatan Jawa belakangan viral di media sosial. Tentu saja, membuat resah masyarakat. Terutama yang tinggal di wilayah selatan Jawa.

Menanggapi hal itu, Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Taufan Maulana tak membantah. Menurut dia, bagian selatan Jawa memang daerah rawan gempa bumi. Akan tetapi, hanya Tuhan yang tahu kapan terjadinya gempa itu.

“Wilayah selatan Jawa memang merupakan kawasan rawan gempa dan tsunami,” kata Taufan saat dihubungi Alinea.id, Rabu (24/7).

Riset soal gempa

Selatan Jawa memang dilintasi lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Subduksi lempeng Indo-Australia yang menghunjam ke lempeng Eurasia adalah generator gempa besar. Pada 16 Juli 2019 lalu, Bali pun diguncang gempa magnitudo 5,8. Rabu (24/7) pagi, Bali kembali diguncang gempa magnitudo 4,9.

BMKG mencatat, pernah terjadi 16 kali gempa bumi di selatan Jawa, yakni tahun 1863,1867, 1871, 1896, 1903, 1923, 1937, 1945,1958, 1962, 1967, 1979, 1980, 1981, 1994, dan 2006. Selain itu, terjadi pula gelombang tsunami sebanyak lima kali, yakni tahun 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006.

Kabar gempa besar diiringi gelombang tsunami di selatan Jawa berawal dari pemaparan peneliti tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko pada 17 Juli 2019. Ia memprediksi, gempa megathrust maksimal magnitudo 8,8 berpotensi terjadi di selatan Pulau Jawa, dan bisa mengakibatkan tsunami dengan ketinggian 20 meter.

“Ada segmen-segmen megathrust di sepanjang selatan Jawa hingga ke Sumba di sisi timur dan di selatan Selat Sunda,” katanya di Yogyakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu (17/7).

Sponsored

Presiden Joko Widodo (kanan) menerima katalog gempa bumi dan tsunami dari Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati (kiri) saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BMKG tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (23/7). /Antara Foto.

Namun, di dalam penelitiannya, Widjo Kongko mengakui, pihaknya tak mengukur secara spesifik tingkat probability (kemungkinan) gempa dengan potensi tsunami.

“Hanya menghitung potensi saja, karena hitungan itu membutuhkan data yang lebih detail. Bahwa ada gempa bumi dan menimbulkan tsunami itu iya,” kata Widjo saat dihubungi, Rabu (24/7).

Sebelumnya, pada April 2018 nama Widjo sempat ramai dibicarakan publik. Ia dipanggil Polda Banten untuk memberikan klarifikasi soal risetnya yang dinilai meresahkan. Pada 3 April 2019, di sebuah seminar, Widjo memaparkan potensi tsunami Jawa Barat. Saat itu, Widjo menyebut, potensi tsunami besar akan terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten, dengan ketinggian 57 meter.

Kabar gempa bumi besar tak hanya sekali ini saja terjadi. Beberapa peneliti pernah memaparkannya.

Pada 2017, pakar geologi dan kegempaan dari Brigham Young University Ronald Albert Harris mengatakan, gempa dan tsunami berpotensi terulang di selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Hasil hitungan penelitiannya itu memperkirakan, pergeseran lempeng tektonik berpotensi menghasilkan gempa magnitudo 9,1 hingga 9,5. Namun, belakangan, Harris meminta maaf kepada masyarakat Nusa Tenggara Barat atas pernyataannya terkait hasil penelitian potensi gempa di selatan Lombok, yang membuat resah.

Pada 2018 lalu, masyarakat di Jakarta pun sempat resah karena ada kabar gempa bumi besar. Para pakar menyebut, Jakarta berpotensi diguncang lindu dari megathrust dengan kekuatan lebih dari magnitudo 8.

Mitigasi adalah kunci

Terlepas dari hasil riset para peneliti tadi, perkara gempa memang niscaya di Indonesia. Taufan Maulana mengatakan, letak Indonesia berada di pertemuan lempeng, membuat ancaman gempa sangat potensial terjadi.

“Yang mesti dilakukan adalah langkah mitigasi. Mitigasi bisa mengurangi dampak, sehingga bisa aman dan nyaman menghadapi gempa,” kata dia.

Selain itu, kata Taufan, perlu sosialisasi dan adaptasi agar masyarakat siap menghadapi bencana. Keterlibatan aktif masyarakat, menurutnya, menjadi kunci agar dampak yang ditimbulkan saat gempa bisa ditekan.

Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menuturkan, potensi gempa yang akan melanda selatan Jawa memiliki siklus yang berulang kali. Sehingga, memungkinkan akan terjadi lagi di waktu yang lain.

“Iya benar, itu ada siklus pengulangannya,” kata Dwikorita saat dihubungi, Rabu (24/7).

Prajurit TNI memantau kerusakan pada bagian candi yang runtuh akibat gempa di Pura Lokanatha, Denpasar, Bali, Selasa (16/7). /Antara Foto.

Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan, BMKG bersama sejumlah pihak sudah melakukan pengkajian guna memetakan potensi dan bahaya gempa di selatan Jawa. Bahkan, untuk meminimalisir dampaknya, BMKG memasang langkah konkret.

“Langkah mitigasi antara lain dengan pemasangan ratusan sensor pemantau, membangun sistem peringatan dini, dan menyosialisasikan zona-zona bahaya,” ujar dia.

Dwikorita pun mengingatkan, agar konstruksi bangunan dalam tata ruang tertentu perlu memperhatikan konstruksi antigempa.

Di sisi lain, untuk meminimalisir dampak gelombang tsunami, Widjo Kongko menyebut, yang paling penting harus ada langkah antisipatif. Salah satunya dengan menanam pohon-pohon di pesisir atau membangun tembok.

“Menanami pohon di pantai yang lebar itu, cukup mengurangi energi tsunami sampai 50%,” ujarnya.

Selain itu, perlu juga pendekatan-pendekatan struktural yang bisa ditempuh pemerintah. Misalnya, memperkuat regulasi dan melakukan sosialisasi masif kepada masyarakat.

Prakiraan

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto mengkritik sikap BMKG yang tidak menyentuh penjelasan substansial mengenai gempa maupun tsunami. Menurut dia, seharusnya terminologi yang dipakai BMKG adalah prakiraan, bukan potensi.

“Sebab, potensi tidak akan pernah menyentuh waktu kejadian. Padahal masyarakat menginginkan informasi yang terang, seperti waktu kemungkinan terjadi,” ujar Eko saat dihubungi, Rabu (24/7).

Dengan menyebut terminologi prakiraan, gempa maupun tsunami bukan saja bisa disebut sebagai potensi, tetapi waktu kemungkinan terjadinya bisa diberikan kepada publik.

“Peluang terjadi pada rentang waktu sekian tahun sekian persen. Itu yang jarang diungkapkan,” kata Eko.

Eko menuturkan, dalam setiap peta gempa yang dirilis Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen)—lembaga di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat—kerap ditampilkan probabilistic seismic hazard analysis (PSHA) atau analisa kemungkinan bahaya seismik. Hal itu baik untuk meminimalisir dampak yang terjadi.

Untuk mendapatkan probability (kemungkinan) terjadinya gempa, diperlukan kejadian-kejadian gempa sebagai sampel. Semakin banyak sampel digunakan, kata Eko, siklus perulangan akan semakin mudah diukur.

Gempa besar pernah diprediksi sejumlah peneliti.

Maka, dengan acuan kemungkinan atau prakiraan tadi, tutur Eko, bisa menjadi pengingat dan rujukan ketika membangun gedung-gedung bertingkat. Pembangunan gedung di kota-kota besar, akan mengikuti angka prakiraan itu.

“Kalau bangunan di bawah delapan lantai atau rumah penduduk kita tidak ditegaskan bagaimana harus membangunnya, sehingga kampanye rumah tahan gempa digencarkan, tapi petunjuk teknisnya tidak dikampanyekan,” ucap Eko.

Eko mengingatkan kembali terkait penelitiannya beberapa waktu lalu mengenai gempa. Di dalam penelitian yang dilakukan di sepanjang pesisir selatan Jawa, Eko memprediksi ada tsunami besar yang terjadi sekitar 400 tahun silam.

“Lebak, Cilacap, Pangandaran, Kulonprogo, Pacitan, Lumajang, dan Bali, semua terdapat bekas kejadian tsunami. Dengan sampel itu, bisa diketahui pengulangan gempa atau tsunami,” tutur Eko.

Berita Lainnya
×
tekid