sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anwar Usman menggugat: Manuver kembali ke tampuk kekuasaan

Anwar Usman berupaya kembali berkuasa di MK dengan menggugat pengangkatan Suhartoyo ke PTUN Jakarta.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Jumat, 24 Nov 2023 17:51 WIB
Anwar Usman menggugat: Manuver kembali ke tampuk kekuasaan

Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, melakukan perlawanan atas putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang mendongkel kekuasaannya. Ini terlihat dari adanya gugatan terhadap Ketua MK, Suhartoyo, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Jumat (21/11), yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT.

MKMK menyatakan Anwar melanggar etik berat dalam memeriksa dan memutuskan Perkara Nomor 90, yang membuat ponakannya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. MKMK memutuskan memecat Anwar sebagai Ketua MK dan memerintahkan hakim konstitusi segera mencari penggantinya.

Gayung bersambut, kata berjawab. Berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 9 November 2023, Suhartoyo ditetapkan sebagai Ketua MK. Salah satu alasannya, berpengalaman 8 tahun menjadi hakim konstitusi.

Selain menggugat ke meja hijau, Anwar juga melayangkan surat keberatan administratif atas pengangkatan Suhartoyo. Surat itu telah diterima MK pada awal peka ini.

Hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, menyatakan, pihaknya telah merespons keberatan Anwar melalui surat pimpinan MK. Isinya, pengangkatan Suhartoyo sesuai putusan MKMK, apalagi Anwar turut hadir dalam pemilihan ketua MK baru.

"Surat jawaban tersebut dikirimkan kepada yang mengajukan keberatan, yaitu kuasa atas nama Yang Mulia Anwar Usman," jelasnya, Jumat (23/11).

Terpisah, eks Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, berpendapat, manuver Anwar itu sebagai bentuk kekecewaan karena kehilangan kekuasaannya. Apalagi, pencopotan Anwar merupakan peristiwa besar lantaran belum pernah terjadi di sejarah peradilan dunia.

Meski begitu, ia berharap, tidak ada lagi pemicu drama lainnya yang membuat gaduh. Sebab, MKMK telah melaksanakan tugasnya dan putusannya diterima.

Sponsored

"Semua sudah selesai, tidak usah dibesar-besarkan. Biarlah cooling down dulu," katanya kepada Alinea.id.

Celah putusan MKMK

Sementara itu, Ketua Bidang Hubungan Legislatif Partai NasDem, Atang Irawan, berpandangan, Anwar menggugat pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK lantaran formulasi Putusan Nomor 2/MKMK/L/11/2023 membuka ruang untuk dipermasalahkan secara yuridis. "Karena memang tercipta kanal bagi Anwar Usman dalam melakukan upaya perlawanan," jelasnya.

Adanya saluran itu, katanya, menunjukkan Putusan MKMK Nomor 2 menabrak norma. Sebab, karena terbukti melanggar etik berat, Anwar mestinya dijatuhi hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sesuai Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2023, bukan dicopot dari jabatannya.

Selanjutnya, hakim yang dijatuhkan PTDH, merujuk Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), diberikan kesempatan membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Banding (MKB). Komposisi anggota MKB berbeda dengan MKMK.

Nahasnya, belum ada PMK tentang mekanisme banding tersebut hingga kini. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum atas putusan MKMK. 

"Kejanggalan dua itu dalam putusan MKMK menjadi 'jalan tol' bagi Anwar Usman untuk melakukan keberatan administrasi dalam rangka memuluskan upaya gugatan pada peradilan tata usaha negara," tuturnya.

"Apalagi, putusan lembaga/organ yang berwenang menegakkan kode etik sangat disadari dan dipahami dapat diajukan keberatan melalui pengadilan tata usaha negara dengan terlebih dahulu dilakukan upaya administrasi," imbuhnya.

Kendati begitu, Atang menyayangkan sikap Anwar mengajukan gugatan ke PTUN. Baginya, demokrasi tanpa independensi kekuasaan kehakiman membuat demokrasi tidak lagi disandarkan pada amanat tujuan bernegara, yang tertuang dalam konstitusi.

Ia juga kecewa apabila nantinya PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Anwar sehingga Putusan MKMK Nomor 2 batal demi hukum. Peluang ini memungkinkan mengingat Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 membuka ruang menggugat putusan lembaga/badan penegak kode etik.

"Inilah sebuah 'drakor (drama Korea)' yang menjadi catatan kritis atas 'orkestrasi yustisial' yang menakutkan bak gelombang tsunami yang memporak-porandakan eksistensi sistem penegakkan hukum di Republik ini. Bahkan, 'meliuk-liuknya' kekuasaan kehakiman dapat mengakibakan 'turbulensi demokrasi' di Republik ini," urai Atang.

Berita Lainnya
×
tekid