sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Asa energi nuklir BATAN yang sirna di bawah BRIN

Integrasi BATAN ke BRIN semakin menambah runyam pengembangan PLTN.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 10 Feb 2022 16:45 WIB
Asa energi nuklir BATAN yang sirna di bawah BRIN

Kegelisahan terkait masa depan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia membayangi Hanna Yasmine—peneliti di Pusat Standardisasi dan Mutu Nuklir Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN), sebelum lembaga itu terintegrasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Pasalnya, peneliti yang tengah menempuh studi di Nuclear and Quantum Engineering, Korea Advanced Institute of Science and Technology, Korea Selatan itu mengaku, peleburan BATAN ke dalam BRIN membuat harapan pembangunan PLTN agak suram.

“Karena BRIN sendiri belum jelas arahnya mau ke mana,” kata Hanna saat dihubungi Alinea.id, Senin (7/2).

“Soalnya dibuat satu badan dicampur semuanya, dan semuanya serba tidak pasti.”

Padahal, setelah lulus Hanna ingin mengembangkan reaktor modular kecil di Indonesia karena dinilai lebih murah dan praktis untuk memenuhi pasokan listrik.

Small modular reactor itu sejenis PLTN, tapi kapasitas megawatt-nya lebih kecil dan komponennya sudah dirakit di pabrik asal,” ujarnya. “Jadi, begitu sampai di lokasi, cukup dirakit saja.”

Pesimis di bawah BRIN

Sama halnya dengan Hanna, mantan Kepala BATAN yang kini jadi peneliti ahli utama di Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Djarot Sulistio Wisnubroto pun cemas tentang masa depan PLTN usai BATAN diintegrasikan ke BRIN. Menurut Djarot, upaya membangun PLTN sebagai pengganti energi listrik dari batu bara merupakan impian BATAN sejak lama.

Sponsored

BATAN juga sudah berulangkali melakukan edukasi dan melakukan survei penerimaan masyarakat terhadap nuklir. Ia mengklaim, sudah banyak warga yang mendukung PLTN sebagai pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis batu bara.

“(Survei) terakhir di atas 77% (penerimaan masyarakat) pada 2016,” ujar Djarot, Minggu (6/2).

Bahkan, pada 2019 BATAN pernah melakukan survei di lokasi bakal PLTN di Kalimantan Barat, yang hasilnya 89% masyarakat mendukung pembangunan PLTN di sana.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir. Foto Unsplash.com

Cita-cita membangun PLTN bukan tanpa alasan. Kata dia, Indonesia sudah diwanti-wanti dunia internasional agar bebas dari emisi karbon dioksida (CO2) pada 2060. Solusinya beralih ke energi nuklir.

Rencana itu seakan sirna usai BATAN dilebur ke BRIN. Tanda cita-cita itu lenyap adalah ketika Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menghentikan studi lokasi PLTN di Kalimantan Barat.

"Serta menghentikan kegiatan monitoring (lokasi) di Bangka Belitung dan Jepara," kata Djarot.

Padahal, kata dia, sudah sekitar 40 tahun BATAN menyiapkan program nuklir, mulai dari lokasi, infrastruktur, hingga sumber daya manusia. Lebih jauh lagi, Handoko berencana membangun PLTN dengan konsep bussiness to bussiness, yang menggunakan jasa vendor asing.

“Keterlibatan peneliti dalam negeri nyaris tidak ada,” ucapnya.

Djarot tak sepakat pembangunan PLTN dibuat oleh vendor asing. Pasalnya, hal itu tak ubahnya menggantungkan asa terwujudnya PLTN kepada pihak asing dan membuat kerja keras BATAN selama puluhan tahun sia-sia.

"(Padahal) SDM (sumber daya manusia) kita sudah siap. Saya tunjukkan bukti,” katanya.

“Reaktor Bandung itu beroperasi tahun 1994. Reaktor Yogyakarta beroperasi 1970-an. Lalu reaktor Serpong 1987 mulai beroperasi. Itu kita semua yang mengoperasikan.”

Terlebih lagi, saat ini sudah banyak perguruan tinggi yang membuka program studi ketenaganukliran. Misalnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang punya departemen teknik nuklir dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang punya program nuklir untuk S-2.

"Untuk diploma juga ada Politeknik Nuklir di Yogyakarta," ujar Djarot.

Sejak BATAN tiada, Djarot melihat peran dan fungsi peneliti nuklir hanya diarahkan pada kegiatan riset, tanpa diberi kewenangan mempersiapkan PLTN. Ia menduga, Handoko berpikiran persiapan lokasi PLTN bukan tugas BRIN, melainkan tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Padahal Kementerian ESDM itu selalu bertanya ke kami di BATAN kira-kira yang pas mana,” kata Djarot.

“Karena kami sudah punya pengalaman panjang studi tapak di Jepara dan Kalbar."

Djarot pun mengungkap, sudah banyak keputusan menyangkut energi nuklir diambil sepihak oleh Handoko, tanpa dialog dan pertimbangan yang matang. Contohnya, laboratorium eksplorasi uranium di Kalan, Kalimantan Barat yang ditutup.

"Padahal itu sudah setengah jalan, kami tidak diberi alasan yang jelas,” tuturnya.

“Dunia sains itu dunia yang egaliter. Dalam setiap keputusan yang diambil, harus dua arah.”

Berbeda dengan Djarot, anggota Komisi VII DPR dari fraksi PKS, Mulyanto tak keberatan BRIN menggunakan jasa vendor asing dalam membangun PLTN. Asal tak seluruhnya mengandalkan pihak asing.

“Ini kan idealisme yang selama ini dikembangkan di BATAN,” ujar Mulyanto, Senin (7/2).

Di sisi lain, ia menilai integrasi BATAN ke BRIN memang membuat tata kelola ketenaganukliran menjadi tak keruan lantaran turut menegasikan peran peneliti nuklir eks BATAN.

Ia menegaskan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tentang Ketenaganukliran, BATAN adalah badan pelaksana ketenaganukliran. Sedangkan dalam BRIN, peran itu menciut menjadi sekadar Organisasi Riset Ketenaganukliran.

Selain itu, politikus yang pernah berkarier di BATAN ini mengatakan, peleburan BATAN ke BRIN telah merenggut peran peneliti nuklir, yang selama ini fokus pada keselamatan, keamanan, pengelolaan limbah radio aktif, serta pengujian kelayakan PLTN menjadi hanya sebatas fokus pada kerja riset.

“Akibatnya, fungsi-fungsi ketenaganukliran lain menjadi berkurang dan tidak utuh,” ujar dia.

Mulyanto menyebut, kondisi ini bisa membuat keterlibatan peneliti nuklir dalam merancang PLTN menjadi minim. Sebab tak bisa leluasa mengambil peran seperti ketika di BATAN. Misalnya soal manajemen pembangunan PLTN pertama, yang mensyaratkan adanya Nuclear Energy Programme Implementing Organization (NEPIO).

“Selain Kementerian ESDM, tentunya BATAN sangat berperan dalam pembentukan NEPIO ini,” katanya. “Hari ini, peran itu kurang terlihat.”

Nuklir selalu jadi soal

Lebih jauh, Mulyanto menyarankan agar BRIN tak memaksakan diri menjadi lembaga superbody, yang melenyapkan semua lembaga riset negara. Sebaiknya, kata Mulyanto, BRIN cukup menjadi badan koordinator yang mengintegrasikan program dan perencanaan.

Ia menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek), BRIN adalah lembaga yang mengintegrasikan lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap). Namun, dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan, integrasi yang dimaksud adalah perumusan program, perencanaan, anggaran, dan koordinasi pelaksanaan.

“Bukan integrasi kelembagaan,” ujar dia. “Jadi, sebaiknya pemerintah menjalankan amanat perundangan dengan konsisten, tidak memaksakan sentralisasi dan politisasi iptek.”

Sementara itu, Ketua Program Studi Teknik Nuklir UGM Andang Widi Harto mengatakan, upaya pembangunan PLTN sejak lama terganjal niat pemerintah yang setengah hati.

Plt. Deputi bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito dan Chief Operating Officer PT ThorCon Power Indonesia Bob S Effendi melakukan penandatanganan nota kesepahaman mengenai riset, pengembangan, dan inovasi teknologi molten salt reactor (MSR) di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Senin (7/2/2022). Kerja sama ini dilakukan untuk melaksanakan riset, pengembangan, serta inovasi di bidang ketenaganukliran. Foto BKPUK BRIN-SR/BRIN.go.id

"Saat masih (ada) BATAN dalam kebijakan nasional, itu selalu ada upaya mengecilkan peran nuklir," kata Andang, Senin (7/2).

Andang menyebut, rencana mengganti energi batu bara ke nuklir kerap kandas dengan narasi kalangan antinuklir, yang ingin tetap mempertahankan batu bara atau mendukung energi alternatif panel surya.

"Padahal untuk butuh pasokan listrik yang besar itu tidak semata-mata bisa pakai panel surya,” tuturnya.

Semisal dalam mendukung kebutuhan industri, panel surya tak bisa menjadi tumpuan yang berkelanjutan. “Kalau nanti tiba-tiba mendung, apa industrinya disuruh berhenti?” katanya.

Persoalan tambah rumit karena di antara peneliti nuklir tak satu suara dalam mengonsep teknologi nuklir. Sejak dahulu, kata dia, peneliti nuklir dalam dan luar BATAN sering berselisih saat menetapkan tipe teknologi nuklir yang ingin dikembangkan.

“Saya terus terang saja, waktu BATAN masih ada, juga tidak positif. BATAN bersikap seperti superbody,” ucapnya.

“Dia (BATAN) itu mau mengkooptasi riset nuklir se-Indonesia. Jadi, kalau mau riset nuklir harus lewat mereka. Saya sudah merasakan itu.”

Penggunaan uranium atau torium sebagai bahan baku dalam mengembangkan PLTN pun kerap membuat peneliti nuklir dan BATAN berkonflik. BATAN sendiri menghendaki semua peneliti nuklir memanfaatkan uranium, bukan torium.

Andang lebih cenderung mengembangkan reaktor menggunakan torium. Sebagai gambaran, untuk satu pembangkit nuklir berkapasitas 1.000 megawatt, dibutuhkan 21 ton uranium agar bisa memproduksi listrik selama satu setengah tahun. Dari kebutuhan 21 ton uranium, limbah yang dihasilkan hanya sepertiganya.

Sementara torium dinilai lebih efisien karena 90% bahan bakar akan bereaksi menghasilkan listrik, jika dibandingkan dengan uranium yang hanya 3%-5%, sehingga akan menghasilkan limbah radioaktif yang jauh lebih kecil.

Terkait peleburan BATAN ke dalam BRIN, Andang memandang hal itu belum akan membuka asa masa depan energi nuklir di tanah air. Ia melihat, sejauh ini pemerintah belum berani mengganti energi batu bara.

Andang berpendapat, jika serius mengejar target net zero emission pada 2060, sebaiknya BRIN mempersiapkan teknologi reaktor nuklir terbaru agar lebih ramah lingkungan.

"Supaya kita tidak memberi beban limbah radioaktif ke generasi selanjutnya," kata Andang.

Alinea.id sudah berusaha menghubungi pihak BRIN untuk konfirmasi. Namun, hiingga laporan ini terbit, belum ada respons.

Berita Lainnya
×
tekid