sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Masih banyak cacat, Presiden diminta terbitkan Perppu pembatalan RUU Kesehatan

Proses pembahasan RUU Kesehatan dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Selain formil, sejumlah aspek materiil belum tuntas dibahas.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Selasa, 11 Jul 2023 15:05 WIB
Masih banyak cacat, Presiden diminta terbitkan Perppu pembatalan RUU Kesehatan

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengecam keras pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang. Pihaknya mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.

Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih mengatakan, ada sejumlah masalah dalam risalah RUU tersebut, seperti penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10% dari APBN dan APBD, beberapa kebijakan yang belum inklusif gender dan kelompok rentan. Adapula, peran kader kesehatan yang belum dilembagakan, hingga belum dimasukkannya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.

“Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” katanya dalam keterangan, Selasa (11/7).

Diah menerangkan, penyusunan RUU Kesehatan dilakukan terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa indikasinya adalah proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan. 

Diah mengatakan, penyusunan RUU Kesehatan tertutup. Ini ditandai absennya informasi publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Selepas Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR, 19 Juni 2023, naskah terbaru masih tak jelas keberadaannya. 

Di samping itu, kata Diah, publik juga belum mendapatkan penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam proses penyusunan rancangan undang-undang ini.

"Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini," kata Diah.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, jelas Diah, disebutkan tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). 

Sponsored

"Platform yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan sementara. Tidak pernah ada platform menetap yang memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapatkan umpan balik dari masukan yang mereka berikan selama proses penyusunan RUU Kesehatan ini. Menurut kami, situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai putusan MK," kata Diah.

Selain soal formil, kata Diah, ada pula isu lainnya yang belum terselesaikan hingga RUU ini menjadi undang-undang, seperti, penghapusan alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBN dan APBD. Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10% pada 2021.

Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah. 

Maka dari itu, hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah.

“Realita di lapangan memprihatinkan,” ujar Diah.

Kedua, RUU Kesehatan belum dengan jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan non-upah secara layak. RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK).

“Tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO,” ucapnya.

Terakhir, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok. 

“Tentunya ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang,” katanya menjelaskan.

Berita Lainnya
×
tekid