sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Banyak korban corona karena kesehatan publik diabaikan

Salah satunya karena lamban membuat PP turunan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 03 Jun 2020 18:22 WIB
Banyak korban corona karena kesehatan publik diabaikan

Pakar epidemiologi dan biostatistik Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, menyatakan, banyaknya korban coronavirus baru (Covid-19) imbas terabaikannya kesehatan publik. Sektor ini terganjal hasrat dokter mencari uang.

Ketidakberpihakan terhadap kesehatan publik juga tecermin dari kekosongan hukum. Pangkalnya, tidak pernah dibuat peraturan pemerintah (PP) turunan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Bayangkan, dua tahun tidak ada PP-nya. Negara ini mau ke mana? Hanya membuat PP saja tidak bisa," ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu (3/6).

"Betul, pada saat mereka harus membuat PP PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dua hari selesai. Jadi, sebenarnya kalau mau, niatnya baik, pasti cepat," sambungnya.

Dirinya pun beranggapan, sistem pelayanan kesehatan Indonesia tidak siap dan rapuh. Ditandai dengan rendahnya tingkat pengetesan Covid-19. "(Padahal) sudah diperingatkan sejak awal ada pandemi."

"Akhirnya apa yang terjadi? APD (alat pelindung diri) tidak ada, banyak yang jadi korban. Berapa banyak loss ekonomi, kehilangan tenaga medis, dan tenaga perawat? Dan berapa harga untuk membayar keterlambatan kita merespons,” papar dia.

Pandu turut mengkritik sikap penyangkalan pemerintah terhadap ancaman pandemi. Padahal, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, telah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan mekanisme tanggap darurat melawan Covid-19.

Dirinya juga mengingatkan, pernah mendorong pemerintah melakukan 1.000 tes cepat molekuler (TCM) untuk mengatasi tuberkulosis (TBC) di setiap puskesmas sebelum pandemi. Pertimbangannya, Indonesia berada di peringkat ketiga kasus tertinggi sedunia.

Sponsored

Sayangnya, impiannya mengakhiri penyakit yang "membunuh" Jenderal Sudirman dan BJ Habibie ini terganjal pandemi. TCM dialihkan untuk penanganan Covid-19.

"Sekarang layanannya terlambat, hampir semua mengalami disrupsi. Imunisasi, ibu hamil, keluarga berencana, hingga program esensial lainnya. Nanti bakalan banyak masalah-masalah itu," paparnya mengingatkan.

Buruknya penanganan Covid-19 di Indonesia, menurut Pandu, juga dipengaruhi transparansi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) sukar diakses publik, padahal bisa untuk membenahi pelayanan kesehatan publik di Indonesia. 

Antisipasi, sambung dia, juga buruk. Belum ada satu pun laboratorium handal untuk mendeteksi Covid-19 pada Januari 2020.

"Kenapa terlambat? Kasus pertama pada 1 Maret dan sudah menular pada Pertengahan bulan Februari. Kasus 1, 2, dan 3 (terdiri dari satu) keluarga. Itu saja hampir tidak terdeteksi," bebernya.

"Saat itu, Juru bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, bilang, 'Mengapa enggak lapor? Saya tidak tahu di mana'. Saya memperkirakan dari data Dinas Kesehatan Jakarta yang telah melaporkan ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan)," imbuhnya.

Berita Lainnya
×
tekid