sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bertahan hidup di Jakarta di tengah pandemi dan larangan mudik Lebaran

Beberapa orang mesti berjuang demi menghidupi keluarga, meski pendapatan menurun imbas larangan mudik Lebaran.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 11 Mei 2021 14:59 WIB
Bertahan hidup di Jakarta di tengah pandemi dan larangan mudik Lebaran

Sore itu, beralas tikar di trotoar pintu masuk Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Sulyana terlihat gelisah. Matanya terus memantau ke berbagai arah di terminal. Sejak tadi, tak ada seorang pun pembeli cemilan dan minuman ringan yang ia gelar di atas tikar.

Hari itu, kondisi terminal sepi. Hanya ada beberapa orang yang datang mencari angkutan. Bus keluar kota pun terbatas, hanya melayani warga dengan alasan khusus yang harus memenuhi sejumlah syarat.

Tahun ini, melalui Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19, pemerintah meniadakan mudik Lebaran 2021 dari 6-17 Mei 2021.

Selain itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idulfitri 1442 H/Tahun 2021 dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Langkah ini diambil sebagai upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19.

Kemenhub melarang semua operasi transportasi untuk kepentingan mudik, selama berlakunya larangan mudik Lebaran.

Meski begitu, ada orang-orang yang dikecualikan dari aturan larangan mudik ini, antara lain angkutan logistik, mereka yang bekerja atau perjalanan dinas, kunjungan keluarga yang sakit, kunjungan duka keluarga yang wafat, ibu hamil didampingi seorang anggota keluarga, kepentingan persalinan didampingi dua orang, pelayanan kesehatan darurat, dan kepentingan nonmudik tertentu. Mereka harus melengkapi perjalanannya dengan surat izin keluar masuk (SIKM).

Penghasilan merosot

 Suasana di loket pemesanan tiket bus antarkota antarprovinsi setelah ada larangan mudik Lebaran 2021 di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Jumat (7/5/2021). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Sponsored

Sulyana mengaku, kepalanya pening karena selama tiga hari mengalami kerugian, imbas kebijakan larangan mudik Lebaran itu.

“Padahal, kalau musim mudik begini, waktunya kami orang cari uang banyak,” kata perantau asal Tulang Bawang, Lampung berusia 49 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (8/5).

“Kayak tahun-tahun sebelum ada Corona.”

Sudah 22 tahun Sulyana mengais rezeki di Terminal Kalideres. Sebelum pandemi, ia menuturkan bahwa musim mudik Lebaran menjadi hari keberuntungan baginya. Ia bisa meraup untung Rp100.000-Rp150.000 dalam sehari.

Namun, sejak pandemi, diikuti kebijakan pelarangan mudik, Sulyana mengaku nyaris “buntung”. “Nyari Rp50.000 sehari aja susahnya minta ampun,” ujarnya.

“Paling cuma dapat untung Rp20.000-Rp30.000. Kadang-kadang malah enggak nutup modal.”

Meski cekak, Sulyana memilih tetap berdagang. Pasalnya, ia harus tetap menanggung dua anaknya yang masih sekolah. Ia pun mesti bayar kontrakan rumah. Dengan kondisi tercekik, ia mengaku tak sampai kepikiran membeli baju atau kue untuk merayakan Idulfitri nanti.

“Buat beli seliter beras untuk makan kami bertiga aja udah bagus,” kata dia.

Bahkan, ia menyebut, cadangan keuangannya hanya cukup untuk hidup dua hari saja. Maka, ia tetap paksakan berdagang, walau pembelinya sedikit.

Kondisi serba sulit makin diperparah dengan tak adanya bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi. Padahal, ia sudah lama tinggal di Jakarta.

“Untungnya RT di tempat saya nyisain beras 4-5 liter buat pendatang yang enggak kebagian bansos,” katanya.

Sulyana adalah salah satu contoh pekerja informal yang mesti bertahan di Ibu Kota untuk mencari nafkah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), selama pandemi sektor formal kehilangan 453.295 pekerja, tapi hanya 259.597 pekerja yang terserap sektor informal.

Terjadi migrasi penduduk bekerja dari formal ke informal. Pada Agustus 2019, jumlah pekerja di sektor formal sebanyak 3.331.719 orang. Lalu, Agustus 2020 jumlahnya menurun menjadi 2.878.424 orang.

Sementara jumlah pekerja sektor informal pada Agustus 2019 sebanyak 1.521.230. Jumlah tersebut naik menjadi 1.780.827 orang pada Agustus 2020. BPS mencatat, dari 4,65 juta penduduk yang bekerja, sebesar 24,39% bekerja dengan usaha sendiri.

Nasib serupa dialami seorang pedagang asongan yang beroperasi di Terminal Kalideres, Junaidi. Dari siang hingga malam keliling terminal, pria 52 tahun itu hanya mendapat uang Rp15.000. Musim mudik tahun ini ia merasa apes.

“Sekarang kami terpuruk betul,” ujarnya saat berbincang, Sabtu (8/5).

Pria asal Palembang, Sumatera Selatan itu sudah merantau ke Jakarta sejak 1990-an. Ia mengadu nasib menjadi pedagang asongan di terminal ini sejak 1992.

Biasanya di musim mudik Lebaran, ia bisa meraup untung Rp350.000 hingga Rp400.000 dalam sehari. “Sekarang duit segitu mustahil kita dapat,” ujarnya.

Pandemi membuatnya kehilangan pundi-pundi uang. Kini, imbas pandemi dan pelarangan mudik ia hanya bisa membawa pulang uang Rp20.000. “Ancur-ancuran saya,” kata dia.

Ia kelimpungan menutup kebutuhan sehari-hari keluarganya. Apalagi Idulfitri sudah di depan mata.

“Ini mau Lebaran. Keperluan bakal makin banyak,” tuturnya.

Ia takut, penghasilannya tak bisa untuk menyambung usaha karena banyak dipakai menutup pengeluaran keluarga jelang Idulfitri.

Wajah kecut pun tak bisa disembunyikan Andre. Ia berdagang pakaian di Blok B, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sudah dua kali Lebaran ini penghasilan Andre seret. Ia menyebut, pendapatannya turun hingga 70% dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

“Sebelum pandemi omzet saya bisa Rp7 juta sehari. Sekarang, cari Rp2 juta aja susah. Bahkan, kadang sering zonk,” ucap Andre, Kamis (6/5).

"Buat bayar karyawan dan lain sebagainya, sama penjualan enggak seimbang."

Menurut Andre, pengunjung sepi karena akses masuk ke Jakarta disekat, dengan segala aturan. Padahal, kata pemuda berusia 30 tahun asal Padang, Sumatera Barat ini, kebanyakan pembeli berasal dari daerah.

Warga berbelanja pakaian yang dijual pedagang di Jalan Jati Baru II, Tanah Abang, Jakarta, Senin (18/5/2020). Foto Antara/Aditya Pradana Putra.

Ingin pulang, tapi tak bisa

Terkadang terbesit dalam pikiran Sulyana untuk pulang ke kampung halaman karena kondisi ekonomi yang serba tak menentu di Jakarta. Namun, Sulyana merasa tak punya cukup banyak uang untuk memulai usaha di kampungnya. Belum lagi ongkos yang mahal dan segala aturan ruwet terkait pelarangan mudik.

Sementara Junaidi mengatakan, sudah banyak rekan seprofesinya menyerah karena khawatir rugi. Mereka lantas memilih pulang kampung, sebelum larangan mudik berlaku.

“Terminal ini sepi banget, udah kayak kuburan. Tahun-tahun lalu sebelum pandemi enggak begini,” kata dia.

Beberapa hari belakangan, Junaidi sempat frustasi. Namun, ia tak punya pilihan lain untuk tetap bertahan hidup.

“Saya ikhtiar aja, yang penting modal tetap bisa muter,” ujar dia.

Junaidi memilih tak mudik seperti kawan-kawannya. Ia mengatakan, tak punya cukup uang untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Terlebih, ongkos mudik menjadi melonjak tinggi sejak ada larangan mudik Lebaran.

“Mending (uangnya) buat bayar kontrakan dan jajan tiga anak saya,” kata Junaidi.

Ia juga masih ingin mencoba peruntungan di hari libur Lebaran. Sebab, ia menduga tempat wisata bakal ramai pengunjung.

“Tiga hari abis Lebaran, kayaknya bakal pindah ke Pantai Tanjung Pasir. Siapa tahu di sana ramai,” katanya.

Sedangkan Andre pun dihadapkan pada situasi sulit. Ia tak bisa pulang ke Padang, tetapi tak bisa pula mengeruk keuntungan maksimal di Pasar Tanah Abang.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo.

“Sebenarnya saya ingin pulang. Dagang juga enggak begitu bagus, omzet turun. Tapi enggak bisa pulang,” katanya.

Sementara itu, di tengah Terminal Kalideres yang sepi, Yovi tengah mencari bus jurusan Pacitan, Jawa Timur. Pria 24 tahun yang bekerja sebagai buruh harian lepas di Tangerang, Banten itu berniat pulang kampung ke Pacitan, Jawa Timur.

Keputusan itu diambil lantaran belum ada kepastian dari tempatnya bekerja, terkait kapan kembali beroperasi. Tempat bekerja Yovi, yakni industri rumahan sikat dan sapu, sedang dibekap masalah finansial. Ia khawatir bakal luntang-lantung di Jakarta kalau tempat bekerjanya itu gulung tikar.

“Saya enggak yakin habis Lebaran langsung kerja lagi. Dari bulan lalu, saya kerjanya sudah digilir,” kata Yovi saat berbincang di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (8/5).

Setelah menunggu beberapa jam, Yovi menyerah. Ia tak berhasil mendapatkan bus yang ia mau. Dengan langkah gontai, ia pun memilih pulang ke tempat kerjanya—yang menjadi tempatnya menginap—di Tangerang.

Berita Lainnya
×
tekid