sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bongkar anggaran tangkal banjir DKI Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak mengalokasikan anggaran pengadaan tanah untuk waduk, situ, embung, kali, dan saluran air pada APBD

Syah Deva Ammurabi Fajar Yusuf Rasdianto
Syah Deva Ammurabi | Fajar Yusuf Rasdianto Jumat, 10 Jan 2020 08:02 WIB
Bongkar anggaran tangkal banjir DKI Jakarta

Pesta Tahun Baru 2020 berubah petaka bagi warga Ibu Kota. Hujan deras yang terus mengguyur Jakarta dan sekitarnya hingga Rabu (1/1) pagi berakibat bencana. 

Ibarat kado Tahun Baru yang tak diharapkan, tak kurang 38 kecamatan di DKI Jakarta terendam air. Setidaknya, banjir Jakarta telah merenggut 21 nyawa dan mengakibatkan 31.232 orang harus mengungsi.

Keseriusan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dalam mencegah bencana banjir pun akhirnya dipertanyakan berbagai pihak. Sorotan itu muncul lantaran anggaran program pengendalian banjir di era Anies kian menyusut.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi pun sempat mengeluhkan minimnya anggaran yang diajukan Pemprov DKI untuk program tersebut.

“Saya juga melihat kemarin biaya banjir diefisiensi, sebetulnya juga enggak betul ini. Makanya, di sini saya minta sekali lagi kepada teman-teman eksekutif, konsentrasi bagaimana ini banjir masih panjang,” tutur Prasetio saat meninjau lokasi banjir di Gunung Sahari Utara, Jakarta Pusat, Kamis (2/1).

Reporter Alinea.id mencoba menelusuri portal resmi apbd.jakarta.go.id milik Pemprov DKI Jakarta untuk mengetahui fakta kebenarannya. Dengan berbagai pertimbangan, kami menyigi setiap detail APBD DKI Jakarta dengan kata kunci “banjir”, “flood”, “tanah”, “kali”, dan “embung”.

Penelitian terbatas hanya pada anggaran Dinas Sumber Daya Air (SDA) atau Dinas Tata Air sejak 2016-2020. Terlepas dari itu, barangkali ada juga program Pemprov DKI Jakarta lainnya yang berkaitan dengan banjir.

Hasilnya, pada 2016 di era kepimpinan Gubernur Basuki Tjahja Purnama (BTP) alias Ahok, dana yang dialokasikan untuk pengadaan tanah, situ, waduk, dan embung adalah sebesar Rp536 miliar. Sementara untuk pengadaan tanah kali dan saluran di Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp392 miliar.

Dana lain-lainya yang berkaitan dengan banjir, termasuk pemeliharaan infrastruktur, pengerukan dan pembangunan tanggul sebesar Rp625 miliar.  Total, dana yang dialokasikan untuk penanggulangan banjir pada 2016 adalah Rp1,5 triliun atau 2% dari total APBD senilai Rp62 triliun.

Tahun berikutnya, di era peralihan Gubernur Ahok ke Djarot Saiful Hidayat sebagai Plt Gubernur DKI, dana pengadaan tanah untuk situ, waduk, dan embung menyusut jadi Rp392 miliar. Di sisi lain, anggaran pengadaan tanah kali dan saluran meningkat jadi Rp571 miliar.

Adapun anggaran lain-lain yang berkaitan dengan banjir, termasuk pembangunan waduk, pengerukan, dan peningkatan kapasitas alat berat merosot drastis ke angka Rp75 miliar. Jika ditotal, alokasi dana penanggulangan banjir 2017 hanya sebesar Rp1 triliun atau 1,4% dari APBD DKI Jakarta yang senilai Rp71 triliun.

Pada 2018, dengan total APBD sebesar Rp83 triliun, Jakarta tampak sedikit lebih serius dalam penanggulangan banjir. Anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan tanah kali dan saluran bertambah signifikan menjadi Rp853 miliar.

Peningkatan juga berlaku untuk anggaran pengadaan waduk, situ dan embung, menjadi Rp528 miliar. Pun begitu dengan dana lain yang berkaitan dengan banjir setotal Rp416 miliar. Secara keseluruhan dana penanggulangan banjir pada 2018 menyentuh Rp1,7 triliun atau 2% dari total APBD.

Sayangnya, anggaran besar ini tidak mampu dimaksimalkan Dinas SDA DKI Jakarta. Tercatat hingga September 2018, serapan anggaran SDA baru terealisasi sebesar 28% dari total dana Rp4,3 triliun. Kepala Dinas SDA DKI Jakarta pada masa itu, Teguh Hendrawan berdalih pengerjaan infrastruktur dan kendala pembebasan lahan menjadi alasan mengapa penyerapan anggaran Dinas SDA 2018 berjalan lambat.

“Hampir sebagian besar itu adalah proyek-proyek konstruksi yang progres pekerjaannya sudah berjalan,” kata Teguh.

Rapor merah penyerapan anggaran ini mau tidak mau berdampak pada dikuranginya pagu validasi Dinas SDA tahun 2019. Total dana yang dikucurkan untuk Dinas SDA DKI Jakarta tahun lalu hanya Rp2,1 triliun, turun 50% dari tahun sebelumnya.

Minimnya pagu validasi juga berimbas pada penurunan dana penanggulangan banjir DKI Jakarta tahun 2019. Berdasarkan data yang dilansir Pemprov DKI Jakarta, anggaran pengadaan tanah kali dan saluran turun menjadi Rp500 miliar.

Penurunan juga terjadi pada urusan lain-lain yang berkaitan dengan banjir, termasuk upaya pengerukan, pemiliharaan infrastruktur dan peningkatan kapasitas alat berat yang hanya sebesar Rp379 miliar.

Sebaliknya, anggaran pengadaan tanah untuk waduk, situ dan embung meningkat menjadi Rp583 miliar. Secara total, dana penanggulangan banjir 2019 hanya sekitar Rp1,4 triliun atau 1,6% dari total APBD senilai Rp86 triliun.

Namun lagi-lagi, anggaran yang masih cukup besar ini tidak dapat dimaksimalkan Dinas SDA DKI Jakarta. Per Oktober 2019, Dinas SDA sama sekali tak menyerap anggaran program pengendali banjir dan abrasi senilai Rp1 triliun alias penyerapan nol persen.

Bahkan hingga 8 Januari 2020, dari total alokasi anggaran belanja modal 2019 sebesar Rp1,7 triliun, Dinas SDA hanya mampu menyerap sekitar 52% atau senilai Rp900 miliar. Data ini dapat dilihat di portal publik.bapedadki.net.

Kepala Dinas SDA DKI Jakarta Juaini Yusuf beralasan, rapor merah pada penyerapan anggaran belanja modal itu merupakan imbas dari adanya defisit anggaran 2019 yang berdampak pada efisiensi sejumlah belanja kegiatan. Sebagai contoh, tahun lalu Dinas SDA sudah berencana membebaskan 118 bidang tanah.

Pembayaran, kata Juaini, tinggal menunggu Keputusan Gubernur (Kepgub) soal penetapan lokasi yang akan dibebaskan. Namun pada akhirnya, pembebasan lahan dibatalkan seluruhnya.

“Sebenarnya kami sudah siap bayar. Administrasi semuanya sudah siap, tapi sekarang ini disetop karena defisit,” terangnya.

Kejanggalan APBD 2020

Tidak maksimalnya penyerapan anggaran Dinas SDA 2019, lagi-lagi berdampak pada semakin menyusutnya alokasi dana untuk penanggulangan banjir 2020. Perubahan paling signifikan terlihat pada nilai dana pengadaan tanah untuk waduk, situ, dan embung yang tercatat Rp0. Pun begitu dengan dana pengadaan tanah kali dan saluran yang juga bernilai Rp0.

Alinea.id hanya menemukan program dengan lema “Pengadaan tanah Sumber Daya Air” senilai Rp669 miliar. Namun, tidak jelas ke mana dana pengadaan tanah itu akan dialokasikan. Apakah untuk pengadaan tanah waduk, embung, kali, atau saluran air?

Presiden Joko Widodo akhirnya memanggil Anies Baswedan. Jokowi memerintahkan Gubernur DKI untuk melanjutkan pembangunan sodetan Kali Ciliwung. Presiden menginginkan perbaikan sungai-sungai di Jakarta diteruskan, baik melalui program normalisasi maupun naturalisasi, hingga selesai tahun ini.

"Saya minta sodetan Ciliwung menuju ke BKT (Banjir Kanal Timur) itu tahun ini bisa dirampungkan. Saya kira bisa secepatnya dengan Gubernur untuk menyelesaikan masalah pembebasan lahannya," kata Presiden Jokowi saat menerima sejumlah kepala daerah terdampak banjir di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (8/1).

Hingga artikel ini terbit, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belum dapat dikonfirmasi terkait hal tersebut. Tanggapan hanya datang dari Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah yang menyebut bahwa dana sebesar Rp669 miliar itu merupakan anggaran yang diajukan Pemprov DKI Jakarta untuk pembebasan lahan terkait penanggulangan banjir.

Bahkan khusus nomenklatur pembebasan lahan itu, kata Ida, SDA mendapat tambahan dana sebesar Rp260 miliar dari sisa anggaran Komisi D DPRD DKI Jakarta tahun lalu.

“Jadi pembebasan lahan yang awalnya diajukan Rp600 miliar, Komisi D tambahin jadi Rp860 sekian,” katanya.

Sementara dana lain-lainnya yang berkaitan dengan banjir, termasuk naturalisasi, pemeliharaan dan pembangunan prasarana kali tahun ini adalah sebesar Rp400 miliar. Dengan begitu, total dana yang digelontorkan Pemprov DKI Jakarta untuk penanggulangan banjir 2020 adalah sebesar Rp1,26 triliun atau 1,4% dari total APBD dengan besaran Rp87 triliun.

Dengan total anggaran sebesar itu, Ida mengatakan bahwa dana bukanlah kendala bagi masalah penanggulangan banjir di Ibu Kota. Menurutnya, yang menjadi masalah sebetulnya adalah ketidakseriusan Pemprov dalam menyelesaikan masalah laten ini.

“Anggaran kita besar kok (APBD DKI Jakarta). Jadi, bukan karena anggaran kecil atau tidak. Niat untuk menyelesaikan ini ada atau tidak. Itu dulu,” tegas ia.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat melakukan pembersihan usai banjir di Ibu Kota. / Facebook Anies Baswedan

Era Ali Sadikin hingga Jokowi

Sementara jika ditelisik lebih jauh, kejumudan masalah pengendalian banjir sejatinya tidak hanya terjadi pada era Gubernur Anies. Mantan Gubernur DKI Jakarta ke-7, Ali Sadikin juga sempat mengeluhkan betapa sulitnya mengatasi banjir di Jakarta.

Bang Ali, begitu ia disapa, berpendapat banjir Jakarta hanya bisa diatasi dengan perombakan drainase besar-besaran. Tapi untuk merealisasikan program itu, biaya yang dibutuhkan bukan kepalang besarnya. 

“Untuk mengatasi bahaya itu dengan tuntas biayanya mahal, terlalu mahal. Biaya yang diperlukan waktu itu US$800 juta kalau mau rampung mengatasinya,” kata Ali seperti dinukil dari buku “Bang Ali” karya Ramadhan KH.

Akan tetapi yang terjadi, pemerintah pusat hanya menggelontorkan dana Rp4,2 miliar dari Rp500 miliar yang diajukan untuk proyek penanggulangan banjir tahun 1976/1975. Sementara APBD DKI Jakarta pada masa itu hanya sekitar Rp89 miliar.

Jika dihitung secara persentase, nilai yang digelontorkan Ali Sadikin untuk penanggulangan banjir terbilang cukup besar, yakni 4,7% dari total APBD.

Pada 2002, di era Gubernur Sutiyoso, alokasi APBD untuk penanggulangan banjir menyusut tipis secara persentase. Berdasarkan data yang kami himpun, Sutiyoso hanya menyiapkan dana penanggulangan banjir sebesar Rp294,7 miliar atau sekitar 3% dari total Rp9,4 triliun APBD DKI Jakarta.

Baru pada tahun 2007—masa pengalihan kepemimpinan dari Sutiyoso ke Fauzi Bowo—dana pengendalian banjir ditingkatkan menjadi Rp1,2 triliun. Angka tersebut sama dengan 5,8% dari total APBD DKI tahun 2007, yakni Rp20,68 triliun.

Namun yang perlu diingat, pada awal tahun 2007, banjir besar kadung terjadi di Jakarta. Sehingga, dana penanggulangan banjir yang disiapkan pun tidak hanya digunakan untuk upaya pencegahan saja, tapi juga pemulihan pascabencana.

Lalu pada 2013, di era kepimpinan Gubernur Joko Widodo, alokasi anggaran pengendalian banjir DKI Jakarta ditetapkan sebesar Rp1,5 triliun. Secara persentase, nilai tersebut hanya 3% dari total APBD DKI Rp49,98 triliun. Angka ini terus menyusut dari tahun ke tahun hingga ke era Anies Baswedan.

Walau begitu, angka yang sedikit untuk penanggulangan banjir ini sejatinya bukan hanya tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta belaka. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Sekjen Fitra), Misbah Hasan berpendapat bahwa DPRD DKI Jakarta juga seharusnya bertanggung jawab terhadap masalah alokasi APBD untuk pengendalian banjir itu.

Nah, ini juga DPRD DKI seharusnya ikut bertanggung jawab, karena dia yang membahas dan menetapkan anggaran,” kata Misbah saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Dia menilai, sempitnya waktu pembahasan APBD, serta banyaknya komponen anggaran yang bermasalah, membuat DPRD DKI Jakarta luput mengevaluasi sejumlah anggaran yang justru lebih krusial, termasuk ihwal pengendalian banjir.

“Terlalu fokus pada komponen-komponen bermasalah sehingga (DPRD DKI Jakarta) mengetok anggaran yang justru tidak sesuai (untuk pengendalian banjir), turun secara nominal atau persentasenya,” kata dia.

Infografik anggaran pencegahan banjir DKI Jakarta. Alinea.id/Dwi Setiawan

Antara petaka dan anugerah

Warga Kompleks Bumi Pesanggrahan Mas, Jakarta Selatan, Heru Suadi (62), mengungkapkan banjir yang melanda tempat tinggalnya kali ini paling parah sejak 24 tahun terakhir.

"Kali ini banjir terparah. Dulu paling tinggi 30 centimeter tahun 1996," ujar pensiunan perusahaan swasta itu ketika berbincang dengan Alinea.id pada Selasa (7/1). Dia mengaku rumah dan pekarangannya terendam air hingga 90 centimeter.

Air menggenang rumah Heru sejak Rabu (1/1) pukul 08.00 WIB hingga surut pukul 15.00 WIB. Beruntung, keluarganya sempat menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai atas rumah.

Tidak hanya rumah yang terendam, sebuah mobil Chevrolet Trooper, satu motor Honda CBR, dan satu motor Yamaha NMax milik Heru turut menjadi korban. “Bawa (motor NMax) ke bengkel buka olinya, ngucur air. Udah ngucur air, ganti oli. Starter enggak bisa juga, ternyata filter udaranya rapet sama air. Ganti filter juga. Setelah ganti semua, di-starter isinya air semua,” ungkapnya. 

Untuk motor Honda CBR, bahkan dirinya telah mengganti oli sebanyak tiga kali karena masih terdapat busa air. 

Heru menceritakan air masuk ke mobil Chevrolet Trooper hingga setinggi gagang pintu mobil. Jok belakang mobil hingga ruang mesin terendam oleh air, untungnya valve (katup) mesin hanya terendam sebagian. Meskipun mobil sudah dapat digunakan, lampu mobil masih terlihat berembun. “Yang penting (mobil) sudah lancar lagi. Ini-nya (tungkai pintu mobil kanan depan bagian dalam) rusak, macet, patah,” ujarnya.

Ia mengaku sudah menghabiskan dana Rp900.000 untuk mengganti oli mobil (gardan, mesin, dan transmisi), Rp360.000 untuk oli motor CBR, dan Rp300.000 untuk oli motor NMax. Biaya tersebut termasuk jasa ganti oli. Untuk suku cadang dan interior mobil yang rusak, Heru mengaku sudah menyiapkan dana jutaan rupiah.

“Namanya banjir juga musibah. Saya sih pasrah. Kalau orang kurang tidur, produksi kortisol tinggi sekali, menghasilkan stress,” keluhnya. Biaya yang ditanggung Heru cukup berat mengingat kendaraan dan rumahnya belum diasuransikan. 

Montir memperbaiki mobil bekas terendam banjir, di salah satu bengkel mobil di Cawang, Jakarta, Senin (6/1). Sejumlah pengusaha bengkel mobil mengalami lonjakan permintaan layanan 30%-50% dibandingkan hari biasa, dari layanan derek, pengeringan kabin dan mesin, hingga penggantian suku cadang mobil yang terendam banjir awal tahun. / Antara Foto

Berkah

Bengkel “Bakara Jaya Motor” di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, meraup untung dari kejadian banjir Tahun Baru tersebut. “Alhamdulillah dapat Rp4 juta. Itu kita buka jam 10 (pagi). Rencana tahun baru tutup, eh hujan. Tutup sayang. Mending buka saja. Biasa kita buka jam 8 (pagi),” ujar montir bengkel, Eddy (20). 

Padahal, bengkel tempatnya bekerja rata-rata hanya mendapat omzet Rp1 juta-Rp2 juta dalam kondisi normal. Bahkan pada saat itu, tiga montir dikerahkan sekaligus dari yang biasanya hanya satu sampai dua montir saja. 

Kasir bengkel, Jimmy (22) mengklaim jumlah motor yang dilayani saat banjir meningkat dibandingkan hari biasanya. “Kurang lebih 20 motor. Lain lagi yang kita tolak,” ungkapnya. Rata-rata bengkel tersebut melayani 15 motor per harinya. 

Jasa layanan cuci kendaraan juga kejatuhan “durian runtuh”. Salah satu di antaranya adalah Car Wash Cuci Mobil 24 Jam di Kemang Utara, Jakarta Selatan. “Alhamdulillah makin ramai. Soalnya banyak motor yang kerendem banjir. Ramai terus,” ujar sang kasir, Cahyo (21).

Dia mengungkapkan, sebanyak 140 motor dan mobil berkunjung ke tempat cuci tersebut ketika tanggal 1 Januari. Bahkan pasca banjir, jumlahnya sempat mencapai 180 motor dan mobil per hari. “Ramai biasanya weekend Sabtu dan Minggu, biasanya 120. Selain itu, 80-90 motor,” tambahnya. 

Cahyo mengatakan biaya cuci motor sebesar Rp18.000, sedangkan mobil sebesar Rp30.000 dalam kondisi apapun. Adapun mobil travel dikenai biaya cuci sebesar Rp70.000 dan mobil L300 sebesar Rp40.000. “Paling (omzet) meningkat Rp1,5 juta (selama banjir),” ungkapnya.

Presiden Direktur Mobil88, Halomoan Fischer Lumbantoruan melihat momen banjir menjadi kesempatan bagi para pengusaha mobil bekas untuk meraup keuntungan. Hal ini dikarenakan pemilik banyak yang menjual mobilnya setelah terendam banjir. 

Mobil bekas banjir biasanya diperbaiki terlebih dahulu, kemudian mobil dijual dengan harga yang tinggi. “Kita enggak pernah beli mobil bekas banjir,” tegasnya melalui sambungan telepon pada Rabu (8/1). 

Berdasarkan pengalaman, dia beralasan kondisi mobil bekas banjir tak pernah normal lagi meskipun sudah diperbaiki. 

Fischer memprediksi akan ada peningkatan penawaran mobil bekas hingga 20% dibandingkan dengan kondisi normal pascaterjadinya banjir. Peningkatan mulai terjadi sekitar tiga pekan pascabanjir setelah pemilik melakukan reparasi mobilnya. 

Ia mengaku perusahaannya memilik Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam membeli mobil bekas yang ditawarkan. Di sisi lain, penjualan mobil bekas selama banjir di Jakarta masih normal.

Fischer menuturkan komponen elektrik dan interior mobil merupakan hal yang paling dikhawatirkan terdampak jika mobil terendam banjir. Menurutnya, kerusakan pada komponen elektrikal mobil menyebabkan performa mobil tidak akan kembali normal. 

Di sisi lain, interior mobil bekas banjir yang diganti estetikanya akan berkurang. “Kebanyakan pedagang mobil yang jam terbangnya cukup, bisa lihat kok yang pernah terendam banjir. Masalahnya, punya moral enggak untuk tidak menipu customer?” terangnya. Ia mengimbau konsumen agar lebih jeli untuk melihat bekas karat dan air sebelum membeli mobil bekas.

Sejalan dengan temuan tersebut, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Rizal Taufikurahman mengamini bahwa jasa reparasi kendaraan meraup keuntungan selama banjir di Jakarta. 

“Perbaikan mobil dan kendaraan yang justru sekarang terdampak sangat signifikan. Orderannya makin banyak karena mobil dan motor tenggelam,” bebernya.

Petugas keamanan mengevakuasi tamu hotel saat banjir menggenangi Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Rabu (1/1). Hujan deras yang mengguyur DKI Jakarta membuat sejumlah wilayah di Ibu Kota terendam banjir. / Antara Foto

Mengungsi ke hotel

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Krishandi mengakui memang ada pemesanan kamar dari para korban banjir, namun jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan dengan pembatalan pemesanan dari luar Jakarta. 

“Iya, secara overall (okupansi) tidak nambah, tapi berkurang. Orang yang kebanjiran itu saya pastikan jarang ke hotel bintang lima. Mereka cari hotel-hotel bintang tiga ke bawah,” ungkapnya melalui sambungan telepon. 

Krishandi mengatakan tingkat okupansi hotel di Jakarta rata-rata di bawah 50% selama peristiwa banjir yang lalu. “(Okupansi) Antara 10%-30% karena awal tahun Jakarta bukan tujuan wisata,” ungkapnya. 

Selain itu, pihaknya melihat para pengunjung hotel mempersingkat waktu bermalam lantaran prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyatakan hujan dengan intensitas tinggi masih akan terjadi dalam beberapa pekan ke depan. 

Pihaknya mengaku belum mendata jumlah hotel yang tutup akibat banjir di Jakarta. “Kami tetap mengkhawatirkan cuaca seperti ini (hujan ekstrem) sampai seberapa jauh. Cuma bisa berdoa toh. Mudah-mudahan enggak berlanjut terus, supaya business as usual kembali lagi. Mestinya minggu kedua Januari sudah tampak,” jelasnya.

Sesuai pernyataan Krishandi, peningkatan okupansi nampaknya terjadi pada hotel berbintang tiga ke bawah. Country Marketing Director RedDoorz Indonesia, Sandy Maulana mengklaim adanya lonjakan pemesanan hotel selama peristiwa banjir yang melanda Jakarta. 

Sebagai Virtual Hotel Operator (VHO), pihaknya hanya melayani pemesanan pada segmen hotel bintang tiga ke bawah. “Jumlah penginapan RedDoorz di Jakarta dan sekitarnya berjumlah lebih dari 300 penginapan. Terjadi lonjakan pemesanan di hampir semua penginapan RedDoorz di Jabodetabek,” ungkapnya secara terpisah. 

Tahun Baru, kata dia, memang menjadi musim puncak pemesanan kamar. Namun, adanya banjir di Jakarta menyebabkan lonjakan pemesanan semakin tinggi.

Bahkan, pihaknya menawarkan diskon sebesar 25% hingga tanggal 5 Januari 2020 untuk mengakomodir kebutuhan warga Jakarta yang terjebak banjir. RedDoorz mencatat bahwa para pemesan didominasi oleh warga Jakarta selama periode promo tersebut. 

“Tidak banyak pembatalan, justru banyak penginapan RedDoorz yang full-booked di masa tersebut,” ujarnya. 

Sandy membantah penuhnya kamar hotel disebabkan oleh banyaknya penginapan mitra RedDoorz yang tutup. Namun, pihak RedDoorz belum dapat memberi angka lebih detail terkait lonjakan tersebut.

Pekerja membuang air yang masuk ke dalam toko saat banjir menggenangi kawasan Pasar Baru di Jakarta, Kamis (2/1). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 2 Januari 2020, terdapat 63 titik banjir di wilayah DKI Jakarta dan secara keseluruhan terdapat 169 titik banjir untuk Jabodetabek dan Banten. / Antara Foto

Terpukul

Peneliti Indef Muhammad Rizal berpendapat sektor jasa merupakan sektor yang paling terpukul akibat banjir di Jakarta. Hal ini lantaan kontribusinya yang besar bagi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan III-2019, kontribusi jasa memang cukup besar terhadap PDRB Jakarta yang terdiri dari perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (17,40%), jasa keuangan dan asuransi (10,49%), jasa perusahaan (8,92%), jasa pendidikan (4,98%), penyediaan akomodasi makan dan minum (4,74%), transportasi dan pergudangan (3,67%), jasa kesehatan dan kegiatan sosial (1,67%), dan jasa lainnya (3,94%). 

Menurut dia, banjir yang melanda Jakarta juga berimbas melemahkan daya beli konsumen, meskipun dalam jangka pendek. “Tentu dalam konteks struktur ekonomi DKI Jakarta, apakah secara signifikan menurunkan PDRB DKI Jakarta? Karena short term, dampaknya terhadap PDRB Jakarta tidak signifikan dan angkanya sangat kecil menurunkan pendapatan DKI Jakarta,” terang pengajar Univertas Trilogi tersebut.

Pengusaha ritel turut mengalami kerugian akibat banjir di Jakarta dan sekitarnya. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin mengungkapkan sebanyak 300 toko ritel se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) terpaksa tutup selama banjir yang dianggapnya lebih parah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. 

“Ada yang satu hari banjir, lalu bersih-bersih dan sebagainya. Enggak semua toko tutup besoknya buka, enggak semua,” ungkapnya.

Solihin menjelaskan pihaknya belum bisa memastikan kerugian yang dialami peritel lantaran masih dalam proses rekapitulasi data. Meskipun demikian, Ketua Aprindo Roy Nicholas Mandey dalam pernyataannya mengatakan bahwa potensi kerugian yang dialami anggotanya dapat mencapai Rp960 miliar. Nilai kerugian tesebut berasal dari asumsi belanja per orang Rp100.000 dikalikan dengan jumlah penduduk yang terdampak sebanyak 32.000 orang dan 300 toko ritel yang tutup.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dody Dalimunthe mengatakan kejadian banjir yang terjadi saat Tahun Baru kemarin berdampak sangat besar bagi properti dan kendaraan bermotor di wilayah Jabodetabek. Sehingga, klaim asuransi risiko banjir kali ini meningkat dibandingkan dengan banjir-banjir sebelumnya. 

“Saat ini AAUI sedang mengkompilasi data-data klaim dari perusahaan-perusahaan asuransi umum,” ujarnya. Dody menjelaskan banyak perusahaan asuransi telah melakukan proses klaim proaktif dengan memberikan informasi pengajuan klaim sekaligus persyaratan-persyaratan yamg harus dilengkapi. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan identifikasi obyek pertanggungan yang mengalami kerusakan, serta mencegah kerugian yang lebih besar.

Senada dengan Dody, Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Asuransi dan Dana Pensiun, Herris Simanjuntak berpendapat jumlah klaim terbesar berasal dari asuransi properti dan kendaraan bermotor. 

Ia memprediksi akan terjadi kenaikan nasabah pemegang polis asuransi pascaterjadinya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi. “Peningkatan nasabah saya rasa berkisar 10%,” ungkapnya. 

Herris berpendapat jumlah klaim nasabah individu lebih banyak dibandingkan dengan badan usaha. Namun, dari klaim badan usaha nilainya lebih tinggi dibandingkan klaim individu. 

“Saya rasa (banjir) tidak mengganggu karena kejadiannya sudah diantisipasi dan ada dukungan reasuransi. Selain itu, tidak semua kerugian yang terjadi merupakan insured losses,” jelasnya.

Pemenang Pertama Sayembara Gagasan Desain Kawasan Ibu Kota Negara, desain dengan judul ‘Nagara Rimba Nusa. / Facebook @KemenPUPR

Pemindahan pusat bisnis

Banjir kerap menjadi salah satu alasan pemindahan pusat administrasi pemerintahan dari Jakarta. Namun, Peneliti Indef Rizal berpendapat pemindahan pusat bisnis dari Jakarta bukanlah solusi tepat untuk meminimalkan dampak banjir yang terjadi di Jakarta. 

“Justru sekarang itu challenge-nya adalah antisipasi dulu karena DKI Jakarta jadi center of business level dunia. Di Indonesia ada empat yang besar, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan, sebagai kota yang jadi hub bisnis yang besar,” urainya. 

Alih-alih memindahkan pusat bisnis dari Jakarta, Rizal menyarankan pengembangan pusat-pusat ekonomi baru untuk mengurangi beban Jakarta, sehingga “kue ekonomi” akan semakin merata. Sebenarnya pemerintah sudah mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai pusat ekonomi baru, namun keberadaannya masih perlu dioptimalkan. 

“Misalnya KEK Sei Mangkei (Sumatera Utara) basisnya industri kelapa sawit dan turunanannya seperti oleokimia, bioenergi, dan sebagainya. Mengapa itu tidak dikembangkan dan difokuskan investasinya,” tegasnya. 

Di sisi lain, Rizal mengaku pesimistis Ibu Kota baru di Kalimantan Timur akan mampu menggantikan posisi Jakarta sebagai pusat ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian Indef, pemindahan ibu kota negara hanya memberi dampak peningkatan PDRB terhadap provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru sebesar 0,24%, Kalimantan Utara sebesar 0,02%, dan Kalimantan Selatan sebesar 0,01%. 

Provinsi lain praktis tidak mengalami pertumbuhan PDRB yang berarti akibat pemindahan ibu kota, sehingga belum mampu “memindahkan kue ekonomi” dari Jakarta. Bahkan, beberapa provinsi akan mengalami penurunan PDRB melalui pemindahan ibu kota, meskipun angkanya sangat kecil.  

“Malaysia sampai sekarang meskipun urusan tata kelola administrasi negara dipidah ke Putrajaya, tapi tetap Kuala Lumpur sebagai pusat bisnisnya. Putrajaya tidak seperti yang diharapkan,” pungkas peraih gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid